Veritas

Revolusi Iran, Konflik Tak Berujung Menggoyang Negeri

Jakarta – Hari ini tepat 41 tahun lalu, tepatnya pada 16 Januari 1979 pemimpin Iran Shah Reza Pahlevi meninggalkan negaranya. Pada hari itu boleh disebut sebagai tonggak kemenangan revolusi Iran.

Sebenarnya banyak tanggal bersejarah pada awal 1979 bagi negeri Iran. Setelah ditinggal Shah Reza Pahlevi, pemimpin besar kaum revolusi, Ayatullah Khomeini kembali ke Iran dari pengasingannya di Paris. Kemudian pada 11 Februari 1979 terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh Khomeini, sekaligus dinyatakan pula sebagai ‘Hari Revolusi Islam’. Khomeini kemudian memproklamirkan ‘Republik Islam Iran’ pada 12 April.

Bagaimana perkembangan revolusi di Iran? Pasca-revolusi ini, Iran sering memiliki hubungan yang tegang dengan dunia Barat. Kerap kali muncul konflik salah satunya perang dengan tetangganya Irak selama 8 tahun.

Akhir-akhir ini ketegangan Teheran-Washington memuncak setelah pemimpin tertinggi Pasukan Quds, sayap eksternal Garda Revolusi Iran, Jenderal Qasem Soleimani dibunuh oleh serangan militer AS di dekat Bandara Internasional Baghdad, Irak, pada Jumat (3/1/2020). Kematian Soleimani mengejutkan dunia lantaran dia dikenal sebagai sosok yang dihormati di Timur Tengah.

Iran pun siap melakukan mengatakan balas dendam dan mengancam mengusir pasukan AS dari Timur Tengah. Sejumlah rudal Iran berturut-turut menghajar pangkalan militer udara Irak yang juga menjadi basis tentara Amerika Serikat di utara Bagdad.

Isu Revolusi Iran ini akan terus berlanjut di masa-masa mendatang. Respons dari sejumlah negara memang beragam. Ada yang positif terutama dari kalangan negara sahabat Iran, sementara kubu yang lain Amerika dan sekutunya bersikap sebaliknya. Propaganda sering menyelimuti kasus Iran ini tetapi seringkali fakta dan kenyataan berbeda.

Revolusi Iran memang telah melakukan banyak kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia serta penindasan kebebasan berbicara. Namun ada beberapa isu yang beredar yang seringkali adalah propaganda negatif.

Misalnya, banyak warga di berbagai belahan dunia dengan mudah menyimpulkan hasil Revolusi Iran adalah pemerintahan diktator. Memang suasana politik di Iran terlihat mencekam namun sistem pemerintahan sebenarnya cukup demokratis.

Parlemen Iran memiliki kekuatan yang relatif besar. Presiden Iran, yang terpilih dari daftar calon yang dinominasikan oleh berbagai kelompok politik di negara itu, dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Namun demikian, jelas terdapat beberapa pembatasan. Dewan Wali Iran (The Council of Guardians), memeriksa semua kandidat dan dapat mendiskualifikasi dengan alasan apapun yang mereka inginkan.

Ada juga Majelis Para Ahli (The Assembly of Experts), sebuah badan pemimpin agama, politik, dan militer yang tidak dipilih juga bertanggung jawab untuk memilih pemimpin tertinggi, yang berbeda dari presiden, tidak dipilih oleh rakyat dan menjabat seumur hidup. Tetapi pada akhirnya, sebagian besar keputusan yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih akan dihormati oleh para Imam.

Banyak yang mendapatkan kesan bahwa Iran tertutup bagi pengunjung internasional, yang fakta sebenarnya tidak demikian. Meski pemerintah Iran mempertimbangkan aplikasi untuk mengunjungi Amerika Serikat berdasarkan kasus per kasus, warga AS benar-benar bebas masuk ke Iran kapan saja.

Amerika Serikat memang tidak memiliki kehadiran diplomatik yang mapan di negara tersebut dan dijalankan di luar kedutaan Swiss, di mana warga AS dapat pergi untuk mencari bantuan jika diperlukan. Namun, semua warga AS yang melakukan perjalanan ke Iran harus menjalani proses lebih ketat.

Iran kini mengalami beragam persoalan klasik sebuah negara. Misalnya terjadi lonjakan penduduk dari 36 juta orang pada awal revolusi Iran melonjak dua kali lipat menjai 81 juta warga. Ekonomi negara juga menyusut. Pertumbuhan penduduk, bersama-sama dengan akibat perang dan sanksi dunia, membawa pengaruh besar bagi sumber daya negara.

Negara kering ini, sangat tergantung pada ekspor minyak. Iran mengalami penurunan kondisi kehidupan dalam 40 tahun terakhir. PDB-nya turun dari US$10.200 atau Rp143 juta di tahun 1976 menjadi US$6.900 atau Rp97 juta di 2017. Sekarang, negara itu terutama mengekspor produk minyak dan turunannya, sementara mengimpor sebagian besar makanan.

Tetapi meskipun tidak memiliki kondisi kehidupan terbaik di dunia, Iran bukan negara terbelakang seperti yang diyakini kebanyakan orang. Terlepas dari kenyataan bahwa 20 persen dari populasi memang hidup dalam kemiskinan, angka itu relatif ringan dibandingkan dengan negara tetangga seperti Irak, di mana lebih dari 53 persen warganya hidup dalam kemiskinan.

Di peringkat internasional Global Finance 2016 mengenai kekayaan internasional tertinggi hingga terendah, Iran berada pada peringkat ke-70, lebih tinggi dari Brazil, Afrika Selatan, Yordania, India, dan Ukraina.

Pasokan air di negara ini juga bermasalah. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 228 mm, seperlima rata-rata dunia. Tambahan lagi, negara ini menggunakan sekitar 90% air untuk pertanian, sementara rata-rata dunia adalah 69%.

Kondisi sosial kemasyarakatannya juga ikut terganggu. Angka perceraian meningkat. Tingkat pernikahan nasional memang meningkat secara berarti setelah tahun 1979, tetapi secara perlahan menurun pasca 2009. Sementara itu, tingkat perceraian berlipat empat kalinya sejak 1978.

Sejak 1970-an akses perempuan pada pendidikan universitas meningkat, tetapi keikutsertaan mereka dalam angkatan kerja tetap rendah. Pada tahun 1978 hanya 2,9% perempuan mendaftar ke universitas, di tahun 2016 terdapat 65,5%. Tetapi secara keseluruhan akses ke universitas bagi kedua jenis kelamin sangat meningkat dalam 40 tahun terakhir, pengangguran di antara perempuan saat ini dua kali dibandingkan pengangguran pria. [Beragam Sumber]

Back to top button