PersonaVeritas

Rosihan Anwar, Dia Yang Berpulang di Hangat Beranda

Pada 14 April 2011 wartawan garda depan, seorang tokoh dunia jurnalistik nasional, Rosihan Anwar, berpulang. Pada hari almarhum dimakamkan, sehari kemudian, tulisan ini terbit. Kami unggah ulang dengan harapan ada manfaat yang masih bisa dipetik.

— Ah, betapa bahagia cara Pak Tua itu kembali pada Illahi. Seolah tak hendak kehilangan ritual yang sekian puluh tahun ia jalani. Beranda itu mencatat kehadirannya tiap pagi. Dengan sarapan, lembar koran serta matahari pagi. Ada yang hilang memang, sang istri, Siti Zuraida Sanawi, yang tahun sebelumnya telah mendahuluinya pergi.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Entah pada sendok keberapa Atika menghentikan suapannya. Perawat pribadi Rosihan Anwar itu melihat tangan sang majikan mengibas pelan, mengisyaratkan minta berhenti sarapan. Lebih setengah bubur havermut masih tersisa di mangkuk.

Darmawan Sepriyossa

Atika masih melihat Rosihan yang memilih menikmati sarapan di beranda itu batuk-batuk. Ia berlari ke dalam rumah, mengambil peralatan oksigen, setelah sebelumnya pun dari sana mengambilkan bantal yang kini menahan pundak wartawan lima zaman itu.  “Pas saya kembali, Bapak sudah tidak bergerak,” kata Atika kepada wartawan Republika, Qommarria Rostanti, di rumah duka Jalan Surabaya 13, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/4/2011). Ketika pagi itu Rosihan dibawa ke Rumah Sakit MMC, pihak RS memastikan wartawan ulung itu telah berpulang.

Ah, betapa bahagia cara Pak Tua itu kembali pada Illahi. Seolah tak hendak kehilangan ritual yang sekian puluh tahun ia jalani. Beranda itu mencatat kehadirannya tiap pagi. Dengan sarapan, lembar koran serta matahari pagi. Ada yang hilang memang, sang istri, Siti Zuraida Sanawi, yang tahun sebelumnya telah mendahuluinya pergi.

Seolah, Tuhan ingin menegaskannya sebagai ‘Allah yarham’, ‘yang Allah cintai’. Baru sehari ia kembali ke rumah tempat sekian dekade ia menyemai cinta, menyuburkan dan memeliharanya itu. Sore sebelumnya Rosihan datang usai menuntaskan operasi jantungnya dari Rumah Sakit Harapan Kita.

Juru Bicara Wapres, Yopie Hidayat, masih mengingat saat-saat tatkala ia menemani Wapres Boediono menjenguk Rosihan di RS Harapan Kita, 30 Maret lalu. Kunjungan pribadi, karena begitu lekatnya hubungan Boediono dengan almarhum. Yopie yang tak pernah merasa keluar dari dunia wartawan itu tak sedikit pun menyangka sang senior tengah menghitung hari-hari terakhirnya. 

“Almarhum bercerita pengalaman pribadi, saat-saat berpacaran dengan istri, Siti Zuraida,” kata Yopie. Pacaran yang dipisahkan perang di awal kemerdekaan. Rosihan di Jakarta, bekerja di surat kabar Asia Raya. Sementara bakal istri yang akrab disapa Zus Ida adalah penyiar Radio Republik Indonesia di Yogyakarta. Ida mengasuh acara Voice of Free Indonesia yang mengampanyekan kemerdekaan Indonesia dan disiarkan mendunia.

Saat itu Rosihan bercerita. Manakala kerinduan akan Ida mengerontangkan hatinya, ia akan menyalakan radio dan meresapi suara si kekasih. “Bukan berita yang dibutuhkan, namun suara Ida yang kemudian menjadi istri almarhum,” kata Yopie. Lihatlah, seorang lelaki tua yang ditinggal istri tercinta. Bahkan di saat terbaring gering, masih disiraminya cinta itu dengan kenangan yang kian menyuburkan.

Bukan semata kisah cinta yang membuat Wapres Boediono terkesan. Tekad Rosihan menuliskan kisah cintanya itu dalam bentuk buku yang direncanakan terbit Mei mendatanglah yang menurut Yopie membuat perasaan Boediono saat itu ikut tergetar beresonansi. “Judulnya ‘Belahan Jiwa, Memoar Rosihan Anwar dengan Siti Zuraida’,” kata Yopie. Sayang, sebelum tanda cintanya itu jadi, Rosihan lebih dulu pergi.

Dalam soal menulis, Rosihan memang wartawan sejati. Tidak hanya berkarya lewat tulisan sehari-hari di berbagai koran yang ia hidupi. Entah sudah berapa puluh buku mengalir lewat jemarinya selama ini. Mulai dari ‘Ke Barat dari Rumah’, ‘India dari Dekat’, ‘Dapat Panggilan Nabi Ibrahim’,’Kisah-kisah Zaman Revolusi’, hingga  empat seri buku yang ditulisnya di masa tuanya, ‘Sejarah Kecil  (Petite Histoire)’ yang diterbitkan Penerbit Kompas, November tahun lalu (2010).

Rosihan juga sempat menulis sendiri otobiografinya, ‘Menulis dalam Air’, bahkan sebuah novel sejarah, ‘Radja Ketjil: Badjak Laut di Selat Malaka’, masih dalam ejaan Van Ophuysen.  Padahal, setelah menyerah walau terbiasa dengan mesin tik, Rosihan beralih mengetik dengan komputer yang justru membuatnya trauma. “File-nya hilang. Saya panik dan sesak nafas,” katanya saat diwawancarai majalah Tempo, Februari lalu.

Soal ‘kegilaan’ Rosihan menulis, bos tabloid Cek & Ricek, Ilham Bintang, bisa menjadi saksi.  Di masa tuanya,  selain menulis obituari di satu koran nasional setiap kali seorang tokoh berpulang, almarhum merupakan salah seorang kolumnis tetap di tabloid hiburan itu.

“Bapak itu jagoan betul,” kata Ilham, menceritakan pesan singkat seorang anak Rosihan. “Ketika terbaring di rumah sakit, siuman setelah dioperasi jantung, almarhum minta kacamata dan tabloid Cek & Ricek terbaru untuk mengecek,” kata Ilham. Menurut Ilham, hanya menjelang operasi jantung itu Rosihan meminta izin untuk istirahat menulis. “Hari-hari lainnya, setiap tulisannya lancar, tak pernah telat.”  Padahal kita tahu, usia Rosihan nyaris 90 tahun.

Kenyataan itu sebenarnya terasa ganjil bila mengingat awal mula masuknya almarhum ke dunia jurnalistik yang terkesan kebetulan. Di awal 1940-an itu, setamat AMS bagian A, Rosihan baru saja menamatkan kursus singkat untuk menjadi jaksa. Ia bahkan sudah siap-siap masuk asrama saat bertemu kakak almarhum Usmar Ismail, sastrawan dr Abu Hanifah. Dari orang yang telah dianggapnya abang sendiri itulah, Rosihan mendapatkan kabar lowongan di surat kabar Asia Raya. “Kau mau masuk tidak?” tanya Abu. Ajakan itu segera disambar Rosihan tanpa pikir panjang.  Batallah pemuda kelahiran Kubang Nan Duo, Solok, Sumbar, itu jadi jaksa.

Dan kita tahu, guliran hidup Rosihan selanjutnya tak pernah lagi lepas dari dunia kewartawanan.  Sejatinya, bahkan tiga perempat bagian hidupnya dihabiskan di dunia jurnalistik. Mengawali karier sebagai reporter di Asia Raya, Rosihan kemudian menjadi redaktur Merdeka yang saat itu dipimpin BM Diah. Pecah kongsi, Rosihan kemudian mendirikan majalah Siasat yang di era 1950-an itu terbilang fenomenal dengan menembus tiras hingga 12 ribu eksemplar.

Rosihan juga sempat membangun koran Pedoman, yang menurut tokoh pers Atmakusumah, merupakan media kritis dengan penggunaan bahasa yang terpelihara baik. Dan meski seringkali dituding rekan sesama orang pers sebagai kompromistis, Rosihan jelas punya sikap. Itu dibuktikan dengan dua kali ‘pembunuhan’ yang dialami Pedoman, di rezim Orde lama dan saat awal Orde Baru.

Yang menarik, pemberangusan itu dilakukan tak sampai setahun setelah Presiden Soeharto memberinya Bintang Mahaputra III bersama Jakob Oetama. Tetapi karier Rosihan tak meredup. Ia bahkan sempat menjabat ketua umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selama enam tahun lamanya.

Setelah hilangnya Pedoman, Rosihan sempat menjadi wartawan free lance. “Tak ada enaknya,” kata dia, terangkum dalam buku ‘Apa dan Siapa Orang Indonesia 1985-1986’, terbitan Grafiti Pers. Rosihan sempat mengeluhkan honornya yang dibayar berdasarkan panjang tulisan. “Saya diukur sebagai penulis sentimeteran,” kata Rosihan saat itu.

Tetapi itu sama sekali tak mencerminkan kesulitan hidup. Di akhir 1980-an itu, ia masih belum bisa menghentikan kebiasaannya mengisap cerutu bermerk Schimmel Penning, lima batang sehari. Barangkali kebiasaan itu kemudian dihilangkannya. Tetapi yang pasti, asap dan nikotin telah lama melemahkan jantungnya.  

Belakangan, Rosihan mengisi waktu dengan menulis artikel dan buku. Apalagi sebuah koran nasional selalu memintanya menulis semacam memoar tiap kali ada tokoh nasional meninggal. ‘Wartawan senior spesialis memoar’, ‘penulis obituari kawakan’ kemudian lekat sebagai julukan.

Hingga hidup yang seolah permainan injit-injit semut pun terus berproses.  Ada saatnya kita menggantikan siapa. Pada Rosihan, lewat sudah waktu ia menuliskan kepergian orang. Pada 14 April kemarin tiba giliran jejak penulis obituari itu dituliskan.

Hari kemarin, banyak wartawan menunduk muka. Untuk lekaki tua itu mereka berdoa.  Mereka menjadi Sutardji Calzoum Bachri yang mengerang,”Hari ini aku berdarah. Kapak hitam menakik almanakku.” [ ]

Back to top button