Veritas

Rumah Demokrasi: Pilkada Ulang 2025 Melanggar Norma Keserentakan

Rumah Demokrasi menyoroti bahwa Pilkada serentak yang seharusnya berlangsung pada 27 November 2024 kini berada di ambang pelanggaran norma hukum akibat adanya potensi pelaksanaan Pilkada ulang pada 2025, jika kotak kosong kembali menang.

JERNIH– Terkait kesepakatan yang dihasilkan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada 10 September 2024, yang melibatkan Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, Rumah Demokrasi menyampaikan keprihatinan. Dalam rilis yang disampaikan pendiri Rumah Demokrasi, Ramdansyah, disebutkan bahwa kesepakatan tersebut dinilai melanggar norma yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada terkait keserentakan pemilihan kepala daerah.

“Kesepakatan yang dihasilkan dalam RDP Komisi II DPR RI dengan penyelenggara Pemilu/Pilkada tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan hukum,” ujar Ramdansyah dalam rilis tersebut. Rumah Demokrasi menyoroti bahwa Pilkada serentak yang seharusnya berlangsung pada 27 November 2024 kini berada di ambang pelanggaran norma hukum akibat adanya potensi pelaksanaan Pilkada ulang pada 2025, jika kotak kosong kembali menang.

Dalam pandangan Rumah Demokrasi, situasi ini menimbulkan dilema besar. “Buah simalakama kotak kosong ini ibarat memakan buah yang akan mengakibatkan kematian di kedua sisinya. Terpilihnya kotak kosong memang menjaga kedaulatan rakyat, tetapi di sisi lain, pembangunan akan terhambat tanpa adanya kepala daerah definitif yang dapat membuat kebijakan strategis,” ujar Ramdansyah.

Rumah Demokrasi mengusulkan tiga opsi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dan DPR untuk mengatasi masalah ini. Opsi pertama adalah penerbitan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden yang merevisi ketentuan terkait Pilkada jika kotak kosong menang. Opsi kedua, DPR RI periode berikutnya dapat merevisi UU Pilkada agar lebih adaptif dengan situasi semacam ini. Opsi ketiga, revisi UU Pilkada juga harus mencakup aturan yang mengakomodir gerakan pemilih yang memilih di luar calon yang tersedia, sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional.

“Kami perlu mengingatkan kembali bahwa norma keserentakan dalam Pemilu dan Pilkada adalah bentuk efisiensi dan menjadi politik hukum kita yang tidak bisa diubah-ubah semaunya,” jelas Ramdansyah. Ia juga menambahkan bahwa partisipasi pemilih dan minimnya keberadaan kotak kosong harus menjadi perhatian serius, di mana partai politik wajib mendengarkan aspirasi publik dalam pencalonan tokoh lokal.

Rumah Demokrasi juga mendorong penguatan konvensi internal partai untuk mencari calon pimpinan daerah yang sesuai dengan aspirasi rakyat, termasuk melakukan survei independen untuk menjaring nama-nama populer di daerah. “Partai politik tidak boleh hanya dianggap sebagai milik ketua umum atau elit tertinggi, tetapi harus menjadi lembaga politik yang benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat,” kata Ramdansyah.

Dengan demikian, Rumah Demokrasi berharap langkah-langkah ini dapat diambil untuk menjaga integritas Pilkada serentak 2024 dan memastikan tidak adanya pelanggaran terhadap norma hukum yang ada. [rls]

Back to top button