Setelah Anne, Kini Anna Pun Menyusul….
Tapi orang-orang baik memang sejatinya tak akan pernah meninggalkan kita. Sebab kita semua pun tak akan pernah mau mereka tinggalkan. Pada Anna, kami yang pernah bersama-sama berkiprah entah di Masjid Salman-ITB, di Masjid UNPAD, di RS Islam Bandung, antara lain, tak pernah merasa telah ditinggalkan. Bagaimana bisa kami menanggalkan benak dan hati, sementara di dalamnya telah bertumbuh banyak kebaikan yang dulu dan kemarin hari senantiasa Anna tanam?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Seberapa sering dalam hidup kita menemukan orang-orang yang tak hanya memberi impresi, melainkan juga menginspirasi? Dari sebuah majalah “Zaman” bekas saya menemukan Anne Rufaidah. Di Masjid UNPAD (MUP) pada era 1990-an itu, saya bertemu Anna Anita Widyarti. Keduanya kini telah berpulang, kembali ke Kampung Halaman, menjumpai Kekasih yang Senantiasa Mengasihi. (Lihat:https://jernih.co/veritas/anne-rufaidah-pejuang-yang-bersenyawa-dengan-jilbab/).
Tapi orang-orang baik memang sejatinya tak akan pernah meninggalkan kita. Sebab kita semua pun tak akan pernah mau mereka tinggalkan. Pada Anna, kami yang pernah bersama-sama berkiprah entah di Masjid Salman-ITB, di MUP, di RS Islam Bandung, antara lain, tak pernah merasa telah ditinggalkan. Bagaimana bisa kami menanggalkan benak dan hati, sementara di dalamnya telah bertumbuh banyak kebaikan yang dulu dan kemarin hari senantiasa Anna tanam? Kehilangan, ya, tentu saja. Ditinggalkan? Mungkin hanya sejenis kecemburuan, mengingat Anna lebih dulu mengerti arti kehidupan semu dunia yang telah ia tinggalkan, dan mulai menapaki kehidupan sejati nan abadi. Kemungkinan besar pula (akan) meraih janji Sang Kekasih untuk berjumpa, dalam nikmat dan ektase yang tak terkira.
Saya merasa hari-hari saya kuliah di UNPAD, di awal 1990-an itu adalah 24 jam kali tujuh hari pembelajaran. Bertahun-tahun, dan tak usai meski raga tak lagi di sana. Tampaknya karena saya tak hanya terkait dengan UNPAD untuk urusan kuliah. Saya pun hidup di UNPAD, di masjidnya. Saya bangun, bersama-sama marbot dan pekerja menyiapkan masjid layak menerima jamaah subuh, ikut membersihkan setiap senti ruang, halaman, juga peturasan. Tentu, tidak pada setiap kegiatan saya terlibat. Tapi karena kami tinggal d MUP, saya dan beberapa teman mahasiswa– Shihab, Hadi Sucipto, Sadi, Totok Soekarno, di antaranya—selalu merasa harus ikut dan mengerti degup demi degup masjid itu.
Pada mayoritas degup keseharian Masjid UNPAD itu ada Anna Anita Widyarti. Almarhumah adalah pengurus Keputrian MUP, bahkan sempat beberapa kali menjadi pimpinannya. Pada posisi Anna, pada tempat saya sebagai penumpang hidup di masjid, tentu dalam sepekan sudah susah kami menghitung perjumpaan.
Nyaris di setiap perjumpaan itu saya terpukau. Oh tidak, jangan berpikir terlampau dangkal! Tidak ada kisah romantisme, meski jebakan itu begitu kuat di awal-awal. Saya datang ke Bandung, setelah lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) 1990, dengan mental seorang Muslim kampung. Tapi pada masa-masa SMA pun lingkaran pertemanan membuat dada saya pepak dengan ghirah. Kepala saya dipadati lyrik lagu Bimbo, “Aisyah Adinda kita, yang sopan dan jelita”… Benak saya sesak dengan sekian banyak kisah anak-anak SMA berjilbab yang dikeluarkan, setidaknya mendapat diskriminasi di sekolah. Otak saya dipenuhi gambar Anne Rufaidah, yang potretnya saya gunting dari majalah bekas Zaman, saudara kandung TEMPO saat itu. Pada saat seperti itulah saya menemukan Anna, kakak angkatan satu tahun di Fakultas Ekonomi. Berjilbab, cerdas, aktif di sekian banyak wadah keislaman, penolong dan ringan tangan, penuh senyum. Langsung di semester pertama!
Tapi pada mereka yang baik hati, saya pribadi yang tahu diri. “Kacamata Anna itu uang kuliahmu berapa semester, Wan, ”kata Hadi Sucipto, rekan sesama ‘penghuni’ MUP, pada suatu pagi di halaman masjid. Saya tak ingat bagaimana awalnya hingga sampai pada obrolan tersebut. Di antara para ‘penghuni’, memang ada dua anomali: Cipto dan Totok Soekarno. Lain dari kami, keduanya datang dari keluarga berada di kampungnya.
“Beliau orang yang saya kenal rapi, punya selera yang sangat baik atau tinggi dalam berpenampilan,”kata Ahmad Juwaini, ketua pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika, mahasiswa manajemen FE UNPAD 1989, merespons permintaan saya untuk memberikan kesan tentang almarhumah, via pesan WA. “Tutur katanya jelas, sopan dan memiliki kekuatan kedalaman rasa dalam berbicara. Namun tidak emosional. Teh Anna adalah salah satu perempuan yang enak diajak bicara dan bertukar pikiran.”
Puluhan tahun sebelumnya pun saya telah mengamini Ahmad Juwaini, pra-pernyataannya itu datang tiga hari lalu. Sejak lama saya terbiasa mencatat, hingga saat ini pun tahu, pada Mei 1991 itu saya mulai berkorespondensi dengan almarhumah. Tidak banyak. Dengan catatan Mei 1991 itu pun kurang dari jumlah jemari di satu tangan. Memang tak bisa saya pastikan karena diary-diary lama itu telah penuh sobekan. Bahkan pada catatan 13 Maret 1992, yang ada lebih merupakan obrolan antara saya dengan Ahmad Juwaini tentang Teh Anna. Tentu, soal kebaikan yang perlu kami contoh.
Korespondensi yang terbatas itu kebanyakan seputaran isu jilbab. Sebagaimana Anne (Rufaidah), Anna saat itu pun terlibat aktif dalam gerakan pembebasan jilbab yang memang berpusat di masjid-masjid kampus di Bandung. Atau hal-hal yang lebih remeh, misalnya soal kebersihan dan keamanan Ruang Keputrian. Jangan salah, saat itu banyak pencuri memanfaatkan sikap baik sangka (husnuz dzan) jamaah masjid kampus. Pernah kami pernah membekuk seorang pencuri, laki-laki, yang beroperasi mengutil dompet-dompet jamaah perempuan dari tas-tas mereka, manakala shalat. Bagaimana mungkin laki-laki bisa masuk shaf perempuan di Masjid UNPAD yang punya ruang khusus tersendiri? Si pencuri—yang sekilas berwajah manis—itu mengenakan jilbab, menyembunyikan wajahnya dengan rapi. Kami tak berhasil menyelamatkan wajahnya dari babak belur dihajar jamaah, meski berupaya “selumayan-lumayan”nya. Apalagi saat itu banyak jamaah mahasiswa yang baru keluar ruang ujian!
Mengapa korespondensi kami terbatas? Dalam pergaulan di masjid kampus saat itu, saling menjaga diri telah menjadi etiket yang ketat. Tetapi selain itu pun, meski belum ada Yahoo!groups atau grup WA seperti sekarang, di masa itu kami telah menemukan ‘teknologi’ BUKOM—Buku Komunikasi. Sebuah buku tebal kami sediakan di sekretariat. Fungsinya untuk menulis apa pun: dari pesan antaraktivis hingga curhat aktivis “Bucin”. Itu jauh lebih efektif dibanding memo atau sticky notes yang dtempel di papan informasi sekretariat! Alhasil, lebih banyak urusan bisa diwadahi BUKOM, tak usah pakai-–istilah sekarang—japri.
***
Dari sekian banyak kebaikan yang Anna miliki, sikap penolongnya begitu kental dan menonjol. Dikkie Mukoddas, alumnus Fisip UNPAD angkatan 1992, mengakui Anna tak hanya “ramah dan hangat”, melainkan juga memiliki sepasang tangan yang senantiasa terbuka. Dikkie mengaku ekonomi rumah tangganya sempat babak belur dihajar Pandemi COVID-19.
“Sejak itu saya berjualan apa saja, dengan menjadi reseller,”kata Dikkie. Anna adalah salah satu pelanggan yang sering membeli ayam kampung dan bebek beku yang ia jual. “Teh Anna seringkali mentransfer melebihi jumlah yang harus dibayar,”kata Dikkie. Selalu pula menolak saat kelebihan itu akan dikembalikan. Dikkie mencatat, pesanan terakhir yang ia kirim untuk Anna bertanggal 4 April 2024. Agak telat karena padatnya pengiriman menjelang Lebaran. Tak ada keluhan apa pun yang Dikkie terima, kecuali pesan bahwa paketnya yang dua hari telat sudah diterima. “Alhamdulillah sudah sampai kemarin siang. Nuhun ya,” kata Anna saat itu, dalam pesan WA.
Tak sekadar membeli barang dagangan, menurut Dikkie, Anna juga ikut memperbaiki riwayat hidup (CV) putra Dikkie saat akan melamar kerja, menyemangatinya ketika ia ‘curhat’ setelah kelayapan,”Mencari-cari peluang kerja sebagai MC untuk bayar uang kuliah (UKT) Fatih”, dan tak jarang memperkenalkan Dikkie sebagai MC perayaan-perayaan pernikahan di jaringan pertemanan yang Anna miliki.
Bukan cuma di saat senggang, Anna bahkan bisa kami ‘ganggu’ di tengah malam. Mantan wartawan Pikiran Rakyat, generasi awal ‘penghuni’ MUP, Achmad Setiyaji, bercerita ia pernah mengontak Anna lewat tengah malam, menjelang dini hari. Tetangga Setiyaji, seorang ibu hamil tua yang kurang mampu, sulit untuk mendapatkan peluang menjalani Cesar. “Sebentar ya, Anna telponin temen di RS Al Islam,”kata Setiyaji menirukan jawaban Anna di telepon. “Besok pagi bawa ibu tersebut langsung ke UGD.” Anna memang pernah berkiprah di RS Al Islam Bandung. Bahkan sempat berada di jajaran direksi.
Tidak hanya baik hati, Anna juga cergas dan terampil. Sekretaris Umum Keluarga Alumni Masjid (Kalam) Salman ITB, Buroqi Tarich Siregar, bercerita, pada sekitar 1990 dirinya pernah berada dalam satu kepanitiaan dengan Anna, yakni panitia pembangunan Gedung Serba Guna (GSG) Masjid Salman ITB. Saat itu Anna yang tak pernah meninggalkan Masjid Salman meski aktif pula di Masjid UNPAD, tengah aktif di Keluarga Remaja Islam Masjid Salman (Karisma).
Anna saat itu diamanahi posisi bendahara, sementara Buroqi di bidang dana. “Alhamdulillah, panitia berhasil mengumpulkan dana yang ditargetkan untuk pembangunan GSG,”kata Buroqi. Jumlah yang terkumpul setelah sekitar dua tahun mencapai kira-kira Rp500 juta. Menurut Buroqi, itu nilai yang sangat besar bagi panitia yang semuanya masih mahasiswa. Belum lagi saat itu nilai tukar 1 dolar Amerika di 1990 itu masih sekitar Rp1.800.
Buroqi bercerita, waktu aktif di Masjid Salman itu Anna sering meminjamkan vila milik orang tuanya bila “anak-anak” Salman menggelar rapat kerja. “Lokasi rumah itu di Ciwidey, di tengah sawah dengan suasana sejuk,”kata Buroqi. Rumah itu pula yang beberapa kali menjadi lokasi rapat kerja pengurus MUP.
“Teh Anna itu, meskipun sedang sakit selalu sempat mengurusi orang-orang lain yang sakit dan ditimpa musibah, apalagi kematian,”kata Ahmad Juwaini. “Kepeduliannya kepada sahabat begitu tinggi. Beliau sangat “gercep” mengontak teman, menyapa, memberi informasi, mengapresiasi teman yang tengah mendapat sukses atau meraih prestasi, mengumpulkan dukungan, menggalang sumbangan….”
Tentang hal itu, senior Anna di FE UNPAD, Endang Abdul Jabar (Manajemen 1985), punya pengalaman. Ia mengirimi saya tangkapan layar pembicaraannya dengan almh. Anna, lewat pesan WA tertanggal 12 Maret 2023. Saat itu, baik Kang Endang maupun Anna tengah dirawat di rumah sakit dengan penyakit serius masing-masing. Saya sertakan verbatim, apa adanya.
[12/3/2023 12:58] Endang A Jabbar: Asslm, bunda Anna.. Katanya lg krg sehat juga yaa?
[12/3/2023 13:00] Endang A Jabbar: Ya Allah berikanlah kekuatan dan kesembuhan buat teh Anna, pulihkanlah kesehatannya spt sedia kala..
[12/3/2023 14:22] Anna Mup: Wa’alaikumussalaam wr wb. Dikasih kesempatan istirahat sama Allah… nurutan Kang Endang rupina mah 😁(Ikut Kang Endang, tampaknya—Redaksi.)
[12/3/2023 17:05] Endang A Jabbar: Sehat, sehat, sehat.. Teh Anna
[12/3/2023 17:06] Endang A Jabbar: 👆Ki Reyhan sdh semakin pulih sdh bs berenang (walau hrs hati2 gerakannya)
[12/3/2023 17:09] Anna Mup: Alhamdulillaah…. seneng lihat perkembangan kesehatan Kirey 👍😊 Semoga sehat terus ya Kirey….. 🙏
[12/3/2023 17:09] Endang A Jabbar: Tong betah2 di RS mah, margi tatanggi sareng wargi kangen cenah.. Tong lami2 muhun? 🤭🤩🤓
[12/3/2023 17:12] Anna Mup: Selasa pagi mau dibiopsi dulu 😊. Diambil sumsum tulang belakangnya, terus specimennya diteliti. Karena Hb turun terus walau udah ditransfusi dan disuntik EPO/ESA. Jadi ini sedang dicari penyebabnya.
[12/3/2023 17:14] Endang A Jabbar: Semoga Allah SWT sllu melindungi teh Anna dan keluarga.. Biiznillah, kembali sehat..
Menurut Kang Endang, baru belakangan dirinya tahu kalau Anna telah menderita penyakit yang mengantarnya pulang ke haribaan Allah itu sejak 2018.
Saya terkejut dengan angka tahun 2018 yang dikabarkan Kang Endang. Pada Mei 2018, karena urusan tulis-menulis saya harus mendekam di sel Lapas Cipinang. Sekitar sepekan setelah menjadi penghuni Lapas, istri saya mengabarkan dirinya dikontak Teh Anna. Keduanya kemudian bertemu di Bogor. Lewat Teh Anna pula, teman-teman lama di MUP urunan membantu urusan keseharian keluarga saya lewat bantuan mereka setiap bulan. Istri saya bilang, meski bisa ditransfer, tidak hanya sekali mereka berdua bertemu. Alhasil, berdasarkan kabar terakhir dari Kang Endang, boleh jadi sebenarnya Anna telah menderita sakit serius pada saat sendirian berkendara dari Jakarta untuk menemui istri saya di Bogor itu!
Pada 2019, beberapa pekan setelah saya bebas bersyarat, bersama istri dan anak bontot saya mengunjungi Anna di rumahnya, sebuah kawasan di Jakarta Selatan. Kami tak menemukan raut wajah duka seorang yang harus menjalani cuci darah dua kali sepekan. Yang ia ceritakan kepada kami justru hanya hal-hal yang terang benderang dan positif. “Alhamdulillah, sekarang di badan saya sudah terpasang alat. Ya..semacam keran, sehingga tidak harus selalu ditusuk saat akan menjalani cuci darah,”kata Anna saat itu. Wajahnya berbinar. Namun tak urung, mendengar cerita itu saya yang penakut akan jarum suntik, merasa miris.
Ahmad Setiyaji mengatakan, menjelang Ramadhan lalu, di tengah sakit yang sangat ia sempat berkontak dengan Anna. “Suhu badan saya sudah mau 41, trombosit 30 ribu,” kata Setiyaji mengulang pembicaraannya dengan Anna saat itu.
“Anna bilang,”Kok kuat ya?” kata dia. “Saya hanya menjawab, nggak tahu. Mungkin Allah ngasih dispensasi agar saya bisa bertobat. Anna hanya tertawa saat itu.”
Rekan seangkatan Anna di Masjid UNPAD, Soffie Gusniza bercerita tentang kepedulian Anna untuk menjaga silaturahmi yang telah berjalan melewati dekade di antara sesama aktivis MUP itu terus terjaga. “Walau dalam keadaan sakit, Teh Anna-lah yang sering ngajak para akhwat (aktivis perempuan) jalan-jalan,”kata Soffie, alumnus FMIPA angkaan 1987. Ada empat usulan Anna, yang sebagian telah ia persiapkan dan terlaksana, yakni rencana traveling ke Geopark Ciletuh, Sukabumi (2018); perjalanan ke Taman Wisata Bougenvil (2022), rihlah ke Villa Casadirania, Ciumbuleuit (2023), dan “Trip to Lombok” (2024).
Saat rihlah ke Geopark Ciletuh, Anna yang sudah menyiapkan mini bus, menyewa villa, berkoordinasi dengan pemandu wisata, di hari H tak bisa ikut berangkat. “Tiba-tiba harus opname di rumah sakit,”kata Soffie. Perjalanan itu pun berlang-sung tanpa kehadiran penggagasnya.
Untunglah, pada acara jalan-jalan kedua, yakni ke Taman Wisata Bougenvil, Pangalengan, pada 2022 lalu, Anna bisa ikut. Tak sekadar ikut, Anna juga yang mempersiapkan dengan detil sebuah buku saku tentang lokasi dan segala tetek bengek perjalanan itu buat para sahabatnya.
Kondisi kesehatan Anna yang turun-naik, membuat rencana jalan-jalan ke Villa Casadirania diubah menjadi acara Halal Bihalal (HBH) mantan aktivis MUP. Rencananya digelar 20-21 Mei mendatang. Dua hari karena sekalian menginap. Anna, dengan caranya, membuat pertemuan itu juga akan berisikan sesi kursus bikin roti, kursus kreasi Decoupage, dan kursus kreasi Kokedama—saya tak sempat meng-googling apa itu semua. Biaya semua itu, termasuk menginap, hanya Rp 300 ribu.
Soffie mengirim saya tangkapan layar pengumuman rencana HBH para akhwat Masjid UNPAD itu di laman maya. Saya ubah seperlunya:
“Teteh2 Akhwat MUP. Teteh2, udah lama banget kita gak ketemuan, kita HBH yuk, insyaa Allah tgl 20-21 Mei acaranya nginep di Villa Casadirania, Ciumbuleuit 😍. Acara insyaa Allah sudah dikemas dengan apik dan epic ❤️ ada sesi kursus bikin roti, kursus kreasi Decoupage, dan kursus kreasi Kokedama.
Jadi ukhuwahnya dapet, nambah ilmu dan keterampilan juga dapet 👍. Untuk ikutan acara ini, biayanya 300 rb/orang, udah termasuk nginep, konsumsi 4 x makan, dan perlengkapan kursus yang diperlukan.
Ayo cepetan daftar yaa…. krn pesertanya dibatasi 22 orang saja (sesuai jumlah bed yg tersedia). Yuk cek IG @casadirania dan jangan lupa izin suami dulu yaa… bilangin mau me time sebentar sama ibu2 MUP 😊”
Manusia berencana, Allah yang Maha Berkehendak. Beberapa pekan sebelum berpulang, Anna berkirim permintaan maaf di grup para akhwat.
“Assalaamu’alaikum wr wb,
Teteh2 shalihah… 😍
Saya mohon maaf yg sebesar-besarnya krn sepertinya rencana HBH di Casadanira yg rencananya dilaksanakan 20-21 Mei tidak bisa diwujudkan 🙏🙏
Di samping krn belakangan ini saya sakit, dan sekrg qadarullaah ibu saya kena stroke, jadi saya sedang berfokus ke sana dan gak sempet ngurusin acara HBH tsb.
Maafin yaa… Semoga kapan2 kita bisa ngadain acara healing pengganti yg formatnya bukan HBH.”
Mungkin, itulah permintaan maaf Anna yang terakhir secara umum. Menurut Iwan Kahfi, suami Anna, pada 24 April Anna kembali harus masuk rumah sakit. Selama 19 hari itu Anna harus menjalani perawatan di tiga rumah sakit: RSPI Pondok Indah, ICU RSPI Bintaro Jaya, dan ICU RSUP Fatmawati.
Pada Ahad (5/5) lalu, senior Anna di MUP, Heru Subroto, membezoeknya bersama beberapa mantan aktivis. Hari itu Kang Heru berkabar di grup WA, Anna menjalani perawatan dengan bantuan ventilator. Untuk komunikasi dengan keluarga, ada papan tulis yang disediakan pihak RS. Kami tak lagi mengenali tulisan yang ada sebagai tulisan Anna yang kami kenal di BUKOM.
***
Barangkali ini tulisan saya yang terpanjang tentang seseorang yang telah berpulang. Itu pun setelah dengan tak mudah menyisihkan sekian banyak kesaksian dari sekian banyak sahabat mendiang, yang bersaksi tentang begitu baiknya almarhumah. Tak gampang untuk tega meniadakan kesaksian teman-teman Anna di RS Islam, atau mungkin juga di Medco yang tak saya upayakan.
Mungkin hanya kematian yang akan membuat Soffie Gusniza melupakan percakapan WA-nya dengan Anna, di hari-hari menjelang HBH mantan aktivis MUP, 14 Mei 2022. Saat keduanya sama-sama berharap mendapatkan izin suami untuk acara tersebut.
[9/5/2022, 17.13] Anna Anita – MUP: Okay Uni…Semoga kota berdua diizinkan yaa… udah kangen 2 tahun gak ketemu temen2
[10/5/2022, 05.30] Anna Anita – MUP: Iyaa… suami kita sibuk2 yaa… untungnya kita masih dikasih izin buat ngumpul sama temen2, jadi secara sosial kita tetap sehat dan selalu semangat 😍
[10/5/2022, 05.33] Anna Anita – MUP: Insyaa Allah jam 10an sampai sana ya Uni… Saya dijemput sama Lia Yuliati 91 krn rumah dia di Parongpong, deket sama rumah ibu saya di Sarijadi. Terus mau mampir dulu di Sari sari toko kue, judulnya mau ambil pesanan kue tampah buat nambah2in snack
[12/5/2022, 17.47] Anna Anita – MUP: Udah bikin spanduk acara 2 😊
[12/5/2022, 17.48] Anna Anita – MUP: Kita berdua jadi penerima tamu ya Uni…. jadi datengnya sekitar jam 9an. Ntar saya yg siapin buku tamunya. Inginnya sih ada stiker label ya, mungkin ada yg belum saling kenal, dan kalau pake masker agak gak jelas juga identifikasi wajahnya
[13/5/2022, 07.58] Anna Anita – MUP: Saya juga bawa taplak 2 utk meja tamu (ikhwan dan akhwat mejanya dipisah).
(Sengaja saya sertakan semua. Lihatlah, adakah kita melihat seorang gering dalam percakapan itu?)
Soffie sendiri mungkin baru sadar di hari H itu, 14 Mei 2022, bahwa Anna adalah seorang yang tengah menderita sakit. Sejak 2018.
[14/5/2022, 09.10] Soffie: Teh Anna, maaf kt kang soleh sdh sampe mana?
[14/5/2022, 12.25] Anna Anita – MUP: Uni, saya ganti cairan dulu ya, minjem kamar atas
(Saya teringat percakapan saya, istri dan Anna di 2019 itu. “Alhamdulillah, sekarang di badan saya sudah terpasang alat. Ya..semacam keran, sehingga tidak harus selalu ditusuk saat akan menjalani cuci darah.” Saya dan istri menyaksikan wajah yang cerah, mata yang berbinar terang. Tak ada keluh kesah.)
Kita tahu, Anna tak pernah berhasil membawa teman-temannya rihlah ke Lombok dalam perjalanan bertema “Exotic Gili Nanggu”. Namun di lokus nurani terdalam, kita yakin ada keindahan yang Anna raih jauh lebih elok dari sekadar Lombok.
Kita tahu, semua hari sama di mata Allah. Hanya, mungkin saja ada arti lain manakala Allah memanggil Anna pada hari Senin, hari yang serupa dengan saat Ia memanggil pulang Nabi-Nya yang utama, Muhammad SAW. Ah, mungkin tak ada salahnya juga bila kita menghubungkannya dengan sabda Nabi,”Nabi ditanya soal puasa pada hari Senin, beliau menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (HR Muslim: 1162). Senin, konon juga merupakan hari saat amal perbuatan manusia dilaporkan kepada-Nya. Senin—juga Kamis—pun disebut-sebut sebagai hari saat pintu-pintu surga menguak terbuka. “Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis,”sabda Nabi pada hadits beliau.
Yang paling kita tahu, Allah meminta Anna pulang, tak lain karena perjalanan hidup Anna di dunia telah paripurna. [dsy]