Veritas

Sikap ‘Netral’ Indonesia dalam Invasi Rusia Dipertanyakan Guru Besar Ilmu Politik UI

Menurut Prof. Maswadi, ‘netral’ mencerminkan pilihan sikap dari pihak yang tidak punya prinsip. ‘Netral’ pun cenderung dipilih mereka yang tak punya pegangan untuk bersikap, terutama saat menghadapi kesulitan memilih di antara dua alternatif.  “Apa mentang-mentang karena Indonesia jadi presiden G-20?” tanya Prof Maswadi, cenderung retoris.

JERNIH—Sikap Indonesia yang menyatakan diri ‘netral’ dalam persoalan invasi Rusia ke Ukraina dipertanyakan Prof. Maswadi Rauf. Guru besar ilmu politik Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, sejatinya dalam politik luar negeri Indonesia, terma ‘netral’ adalah istilah yang tidak dikenal.  

“Bisa saya katakan, kata ‘netral’ adalah istilah yang tidak dikenal dalam politik luar negeri Indonesia,”kata Prof Maswadi. Ia mengatakan hal itu dalam acara peluncuran buku “Cinta Keduaku Berlabuh di Ukraina” karya mantan Duta Besar Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia, Prof Dr Yuddy Chrisnandi, yang berlangsung di Aula Harian Umum ‘Pikiran Rakyat’, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Selasa (21/6) sore. Selain dihadiri puluhan tokoh Jawa Barat, seperti Tjetje H. Padmadinata, Memed Hamdan, Aceng Natsir, Happy Bone Zulkarnain, Uu Rukmana, Obsatar Sinaga, Avie Taufik Hidayat, Andri Perkasa Kantaprawira dan sebagainya, acara juga diselenggarakan via Zoom dan streaming YouTube. Hal itu memungkinkan acara dipirsa lebih dari 500 penonton, termasuk para staf KBRI Kyiv, Ukraina.   

Prof Maswadi menegaskan, negara kita memiliki istilah tersendiri yang lebih cederung menegaskan sikap proaktif. “Kita memilih memakai terma bebas aktif dalam politik luar negeri,”kata dia. Karena itu, kata Prof Maswadi, dirinya mempertanyakan mengapa Indonesia memilih dan menyatakan sikap ‘netral’ dalam sengkarut kemanusiaan yang tengah berlangsung di Ukraina tersebut.

“Mengapa Indonesia mengambil sikap tersebut? Mengapa menyatakan ‘netral’, sementara jelas-jelas politik luar negeri Indonesia adalah bebas-aktif,”kata Prof Maswadi, yang didaulat memberikan sambutan pertama mengomentari buku yang membahas sisi-sisi budaya dan kemanusiaan yang dialami Dubes Yuddy selama bertugas di Ukraina.

Menurut Prof. Maswadi, ‘netral’ mencerminkan pilihan sikap dari pihak yang tidak punya prinsip. ‘Netral’ pun cenderung dipilih mereka yang tak punya pegangan untuk bersikap, terutama saat menghadapi kesulitan memilih di antara dua alternatif.

“Apa mentang-mentang karena Indonesia jadi presiden G-20?” tanya Prof Maswadi, cenderung retoris. Bagi guru besar ilmu politik tersebut, apa salahnya bersikap ‘bebas-aktif’, termasuk bebas untuk menyatakan dengan tegas siapa yang bersalah dalam sengkarut tersebut.

Bagi Prof Maswadi, ‘netral’-nya Indonesia juga cenderung mengingkari komitmen terhadap Dasa Sila Bandung yang dihasilkan bangsa-bangsa dunia ketiga dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955. Menurut Prof Maswadi, dari 10 poin hasil pertemuan KAA tersebut, setidaknya empat di antaranya relevan dengan persoalan perang Ukraina-Rusia saat ini.

Keempat sila itu adalah sila kedua, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa; sila keempat yakni tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain; sila kelima menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB; sila ketujuh, tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara; serta sila kedelapan, yakni menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.

Sementara itu, berkenaan dengan peluncuran buku Yuddy Chrisnandi, Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (UNPAD), Widya Setiabudi, mengakui besarnya pengaruh Yuddy dalam kehidupan masa mudanya. Agak hiperbolis Widya mencontohkan perkataan Imam Hanafi (Abu Hanifah) soal pengaruh Imam Ja’far Ash-Shadiq dalam hidupnya.

“Kalau Imam Hanafi mengatakan,”Celakalah Nu’man—nama muda Imam Hanafi—kalau saja tak pernah bertemu Ja’far Ash-Shadiq, maka saya boleh juga mengatakan,”Celakalah Widya bila tak sempat bertemu Yuddy Chrisnandi,”kata dekan FISIP UNPAD tersebut, disambut tepuk tangan hadirin yang memenuhi Aula HU Pikiran Rakyat itu.

Mengomentari perjalanan karier Yuddy sebagai duta besar, Widya mengatakan, cukup sulit untuk menjadi seorang diplomat yang sukses. Namun, menurut dia, lebih sulit lagi menjadi seorang diplomat legendaris.

“Untuk menjadi diplomat legendaris itu, ada syarat lain yakni perlunya kemampuan berjejaring yang tinggi atau dalam bahasa agama, memiliki antusiasme yang tinggi dalam bersilaturahmi,”kata Widya.

Dalam dunia diplomatik, Widya mengatakan, dirinya percaya bahwa orang Sunda memiliki idiosyncrasy (kekhasan karakter atau temperamen) yang pas untuk menjadi seorang diplomat. “Dalam bahasa saya, pada diri ‘urang Sunda’ itu mengalir DNA diplomat,”kata Widya. Karena itulah, di dunia diplomasi Indonesia–dalam hal ini Kementerian Luar Negeri– orang Sunda menjadi bagian yang menonjol.

Widya menunjuk nama-nama diplomat besar Indonesia, seperti Juanda Kartawidjaya, Mochtar Kusumaatmadja, Nurhasan Wirayudha, hingga Marty Natalegawa. [ ]    

Back to top button