Veritas

Tanggapi Seruan Biden untuk Respons Multilateral Atas Ulah Cina, Prancis Kirim Kapal Perang ke Laut Cina Selatan

Prancis telah mengerahkan kapal selam serang nuklir “Émeraude” bersama kapal pendukung “Seine” ke wilayah Laut Cina Selatan. Kata Menhan Parly, semua itu tak lain untuk menegaskan,” Bahwa hukum internasional adalah satu-satunya aturan yang valid, laut mana pun akan siap kami arungi.”

JERNIH–Angkatan Laut Prancis mengerahkan kapal selam serang nuklir ke Laut China Selatan yang disengketakan, sebagai tanggapan atas seruan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk meluncurkan tantangan multilateral kepada Cina.

Asia Times melaporkan, sebagai isyarat nyata dari meningkatnya internasionalisasi sengketa Laut Cina Selatan, Prancis baru saja mengonfirmasi pengerahan kapal selam dan kapal angkatan laut serang nuklir ke perairan yang diperebutkan itu.

Dalam unggahan di Twitter awal pekan ini, Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengumumkan bahwa Prancis telah mengerahkan kapal selam serang nuklir “Émeraude” bersama dengan kapal pendukung Angkatan Laut, “Seine” ke wilayah maritim tersebut. Semua kata Parly, tak lain untuk menegaskan,” Bahwa hukum internasional adalah satu-satunya aturan yang valid, laut mana pun akan siap kami arungi.”

“Patroli luar biasa ini baru saja menyelesaikan perjalanannya di Laut Cina Selatan,” ujar Sang Menhan, menyusul manuver militer mereka yang belum pernah terjadi sebelumnya di perairan Asia pekan ini. “Ini adalah bukti mencolok dari kapasitas Angkatan Laut kami untuk ditempatkan jauh dan untuk waktu yang lama, bersama dengan mitra strategis kami, Australia, Amerika dan Jepang.”

Parly menekankan bahwa tindakan Prancis merupakan bagian dari upaya internasional yang lebih luas untuk menegakkan hukum internasional di jalur komunikasi laut global.

Langkah itu dilakukan hanya beberapa pekan setelah pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Joseph Biden, yang telah memperingatkan era baru “persaingan ekstrem” dengan Cina dan menekankan perlunya tanggapan bersama dengan para sekutu yang berpikiran sama di Eropa dan Asia.

Keterlibatan yang semakin besar dari negara-negara kekuatan internasional dari Indo-Pasifik dan sekitarnya juga menolak klaim Cina bahwa ketegangan maritim di Asia hanya disebabkan oleh jangkauan AS yang berlebihan.

Eropa pinjam kekuatan Amerika

Menurut catatan Asia Times, pengerahan Angkatan Laut Prancis bertepatan dengan operasi kebebasan navigasi (FONOP) kapal induk ganda pertama di Laut Cina Selatan oleh pemerintahan baru AS. Hal itu menunjukkan upaya pengembangan kerja sama internasional untuk mengendalikan ambisi Cina di perairan di dekatnya, dalam waktu kurang dari sebulan sejak menjabat.

Pengerahan AS atas armada kapal perang (CSG) Nimitz dan Theodore Roosevelt ke perairan yang disengketakan adalah yang pertama kali dari jenisnya dalam hampir 6 bulan. “Itu untuk mendemonstrasikan kemampuan Angkatan Laut AS yang beroperasi di lingkungan yang menantang,” kata pernyataan resmi Angkatan Laut AS.

Komandan kapal perang Theodore Roosevelt, Laksamana Muda Doug Verissimo, sebagaimana dilansir oleh Asia Times mengatakan,”Melalui operasi seperti ini, kami memastikan bahwa kami mahir secara taktis untuk menghadapi tantangan menjaga perdamaian dan kami dapat terus menunjukkan kepada mitra dan sekutu kami di kawasan bahwa kami berkomitmen untuk mempromosikan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.”

Negara-negara kuat Eropa lainnya seperti Inggris dan Jerman juga diharapkan akan mengerahkan kapal perang ke daerah tersebut, dalam apa yang semakin tampak seperti perlawanan Barat yang bersatu melawan ambisi maritim Cina.

Pengerahan angkatan laut baru-baru ini hanyalah contoh terbaru dari unjuk kekuatan Prancis di perairan Asia, langkah yang pasti akan memicu kemarahan Cina.

Pada 2019, kapal fregat Prancis Vendémiaire melakukan operasi kebebasan navigasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Selat Taiwan, di tengah meningkatnya ketegangan antara Cina dan Taiwan.

Sebagai tanggapan, Chna yang marah tanpa basa-basi tidak mengundang delegasi Prancis untuk ikut serta dalam perayaan 70 tahun Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) di kota pelabuhan Qingdao.

Pada saat itu, sumber yang dekat dengan PLA mengatakan kepada South China Morning Post bahwa “Pelayaran seperti ini membuat malu Cina. Jadi, kami menyarankan Angkatan Laut Prancis untuk tidak mengirim kapal perang untuk turut berlayar, meskipun delegasi masih akan diterima”.

Sebagai tanggapan, Kementerian Pertahanan Prancis menegaskan pihaknya “melakukan kontak erat dengan pihak berwenang Cina” tentang insiden tersebut, sambil menegaskan kembali komitmennya untuk menegakkan supremasi hukum di seluruh Indo-Pasifik.

“Angkatan laut rata-rata lewat setahun sekali di Selat Taiwan tanpa insiden atau reaksi,”kata Kementerian Pertahanan Prancis, menggambarkan pengerahan angkatan lautnya ke daerah itu sebagai rutinitas dan tindakan konsisten dengan hukum internasional.

Mirip dengan Inggris (yang memiliki kepentingan teritorial serta strategis di kawasan tersebut dan merupakan anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa), Prancis secara konsisten menyatakan bahwa negara itu adalah “kekuatan tetap” (resident power) di Indo-Pasifik.

Dalam makalah tentang strategi Indo-Pasifiknya, “French Strategy in the Indo-Pacific for an inclusive Indo-Pacific”, Prancis menyerukan “tatanan multipolar yang stabil berdasarkan aturan hukum dan pergerakan bebas, serta multilateralisme yang adil dan efisien”.

Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengadopsi diplomasi regional yang proaktif dengan memperluas hubungan pertahanan dan ekonomi dengan kekuatan-kekuatan yang berpikiran sama seperti Australia dan India sebagai bagian dari “poros Paris-Delhi-Canberra” yang lebih luas dalam menghadapi Cina.

Dalam langkah lain yang belum pernah terjadi sebelumnya, Prancis mempelopori pernyataan note verbal bersama dengan Inggris dan Jerman ke PBB tahun 2020. Ketiga kekuatan Eropa itu dengan tegas mengkritik ketegasan maritim dan teritorial Cina di Laut Cina Selatan, yang dianggap “tidak sesuai dengan hukum internasional”.

“Prancis, Jerman, dan Inggris menggarisbawahi pentingnya pelaksanaan kebebasan laut lepas tanpa hambatan, khususnya kebebasan navigasi dan penerbangan serta hak pelayaran damai di Laut Cina Selatan,”kata pernyataan bersama tiga kekuatan itu, yang dengan tegas meminta Cina untuk mematuhi hukum internasional yang berlaku.

Keterlibatan negara-negara kekuatan Eropa yang meningkat dalam geopolitik regional konsisten dengan prioritas strategis pemerintahan Biden, yang telah menggarisbawahi komitmennya untuk “bekerja dengan para sekutu dan mitra kami” berdasarkan “aturan pergerakan internasional”.

Studi otoritatif juga menunjukkan bahwa kehadiran strategis Eropa yang berkembang disambut secara luas oleh negara-negara tetangga kecil China, termasuk di antara para penuntut klaim Laut Cina Selatan yang sangat khawatir tentang niat agresif Cina serta Perang Dingin yang sedang terjadi di kawasan tersebut.

Asia Times juga mengutip survei “The State of Southeast Asia” terbaru yang dilakukan setiap tahun oleh lembaga studi Institute for Southeast Asian Studies (ISEA) yang berbasis di Singapura. Menurut hasil survei, negara-negara kekuatan Eropa dan Jepang “adalah pelopor yang jelas untuk negara-negara ASEAN yang paling disukai dan mitra strategis tepercaya dalam permainan lindung nilai melawan persaingan AS-Cina”.

Mayoritas responden (51,0 persen), terdiri dari para pembuat kebijakan dan ahli strategi elit di Asia Tenggara, menilai Uni Eropa sebagai mitra yang dapat diandalkan dan pendukung global dalam penegakan hukum. Sebaliknya, ketidakpercayaan terhadap Cina “cenderung meningkat”, dari 60,4 persen pada 2020 menjadi 63,0 persen pada 2021.

Sementara itu, kepresidenan Biden menyebabkan lonjakan 18,0 persen dalam peringkat kepercayaan AS di kawasan itu menurut survei, cerminan dari meningkatnya harapan AS akan menegaskan kembali kepemimpinan regional dalam kerja sama dengan para sekutu dan mitra strategis.

Satu hal yang semakin jelas adalah, Cina menghadapi penolakan bersama atas perilaku agresifnya terhadap negara-negara tetangga yang lebih kecil di seluruh perairan internasional. [Asia Times]

Back to top button