Tidak Ada Konsekuensi Tuntutan Hukum atas Kebrutalan Tentara Belanda di Indonesia 1945-1949
- Prof Wouter Veraart berharap pemerintah Belanda tidak menjauhi istilah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Sebab tidak mungkin lagi menghukum pelaku, dan pemerintah Belanda memberikan pengakuan atas ketidak-adilan yang terjadi.
JERNIH — Pengacara Hak Asasi Manusia Liesbeth Zegveld mengatakan kesimpulan laporan kekerasan ekstrem tentara Belanda di Indonesia dalam Perang Revolusi Indonesia 1945-1949 memiliki sedikit konsekuensi untuk tuntutan hukum.
“Laporan itu adalah pengakuan baru atas kekerasan tentara Belanda di masa kolonial, tapi pengadilan telah menarik kesimpulan dalam laporan ini dalam banyak keputusannya,” kata Zegveld seperti dikutip situs javapost.nl.
Mahkamah Agung, masih menurut Zegveld, memutuskan hukuman harus tetap dan kasus itu dirujuk kembali ke politik. Namun, laporan penelitian yang baru saja dipresentasikan sejumlah peneliti dapat berkontribusi pada masalah ini.
“Atas dasar laporan ini, pemerintah dapat menawarkan rehabilitasi,” kata Zegveld. “Meski banyak dari mereka telah meninggal, rehabilitasi dapat memberi kenyamanan bagi kerabat korban kekerasan.”
Selama bertahun-tahun Zegveld membantu para janda dan anak-anak Indonesia yang dieksekusi dalam perang dekolonisasi, atau Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Dia juga mewakili mantan tentara yang menolak pergi ke Hindia-Belanda untuk berperang.
PM Belanda Mark Rutte mengatakan laporan penelitian tentang kekerasan ekstrem tentara Belanda dalam Perang Dekolonisasi, atau Perang Kemerdekaan Indonesia, sebagai fakta memalukan yang harus diakui. Ia meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan ekstrem yang dilakukan tentara Belanda.
Profesor Filsafat Hukum Wouter Veraart melihat fakta bawa PM Rutte menggunakan istilah ‘kekerasan struktural’ sebagai langkah besar yang dicapai laporan ini. Sebelumnya, terhitung sejak 1969, Kabinet De Jong menggunakan kata Excessennota, bahwa angkatan bersenjata Belanda secara keseluruhan telah bertindak dengan benar, kecuali untuk ekses.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Prof Veraart mengatakan sulit menentukan apa konsekuensi lebih lanjut dari laporan itu. “Kita harus membiarkan ini meresap dulu,” katanya. “Kita lihat kemungkinan langkah selanjutnya bagi pemerintah untuk menggunakan kata-kata yang memiliki makna legal-etis.”
Menurutnya, sangat menarik bagaimana pemerintah Belanda saat ini akan memnuhi syarat lebih lanjut. Apakah mereka menjauhi kata-kata ‘kejahatan perang’ dan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’?
Di masa lalu, masih menurut Prof Veraart, walikota Amsterdam sudah memberikan kualifikasi ini dalam soal perbudakan. “Saya ingin tahu apakah pemerintah berani menggunakan istilah seperti kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata Prof Veraart.
Prof Veraart yakin penggunaan kata itu tidak akan menyebabkan banyak tuntutan hukum tambahan. Pemerintah Belanda, katanya, juga tidak bisa menghukum pelaku kekerasan ekstrem tapi bisa memberikan pengakuan atas ketidak-adilan yang terjadi.
“Saya membayangkan ini langkah selanjutnya yang diperlukan untuk pemrosesan,” katanya.
Terlepas dari implikasi hukum yang terbatas — atau bahkan tidak ada –, atas laporan kekerasan tentara Belanda, pemerintah dapat mengambil langkah berikut. Zegveld mencela sikap pasif pemerintah Belanda kecuali permintaan maaf dan pengaturan untuk korban.
“Saya ingin melihat manfaat yang bisa diklaim orang Indonesia lebih mudah didapat meski mereka tidak tinggal di Belanda,” katanya. “Saya juga ingin melihat reparasi bagi para korban, dan menyampaikan pesan bahwa penetapan pembatasan undang-undang pembatasan kejahatan perang adalah salah.”
Tahun 1971, parlemen Bealnda mengesahkan UU yang menghapus resep dalam kasus kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun parlemen membuat pengacualian untuk tentara Belanda antara 1945-1950, sehingga kesalahan dalam perang di Indonesia tidak tercakup.