Veritas

Unicorn Riot, Media Kecil yang Melaporkan Info Vital dari Minneapolis

Menjadi warga negara yang baik berarti menjadi seorang aktivis. Berani melaporkan arti berani berbicara. Bukalah matamu sebagai saksi demokrasi dalam aksi, serta mempersaksikan kegagalannya dalam keberlimpahan.

Oleh   : Troy Patterson

Pembunuhan George Floyd pada 25 Mei lalu di Minneapolis, karena dicekik lutut Derek Chauvin dan sistem Kepolisian yang rasis dan brutal memicu munculnya gambar-gambar kekerasan yang spektakuler.

Rekaman kamera ponsel dari horor yang dilakukan terhadap Floyd memicu gelombang protes. Sejumlah regu polisi, pertama di Minneapolis, kemudian di sejumlah kota di seluruh AS, menerima protes itu sebagai undangan untuk menyerang warga sipil — yang juga direkam dalam video, kian membuat hati nurani marah. Sebuah kewajiban moral untuk menyaksikan rangkaian adegan protes, meski tetap sulit untuk menerimanya.

Mungkin lebih bijaksana untuk melihat terbakarnya sentimen nasional ini sebagai berita lokal. Pandangan yang sangat menarik tentang apa yang terjadi di — dan ke — Minneapolis, mengalir melalui Unicorn Riot, sebuah media kolektif nirlaba yang didirikan di Minnesota lima tahun lalu, dengan misi untuk menarik perhatian orang pada perjuangan sosial dan lingkungan. Para reporternya secara teratur meliput Twin Cities, Boston, Denver, dan Philadelphia, dan telah menyebar untuk meliput acara-acara seperti unite the right rally di Charlottesville pada 2017, dan protes terhadap jaringan pipa Dakota di dekat Standing Rock Indian Reservation. Selama sepekan terakhir di Minneapolis, Unicorn Riot telah menyampaikan kesaksian yang berkelanjutan: malam demi malam berjaga-jaga, dipenuhi perjuangan dan masalah. Liputan mereka mengesankan karena keintimannya dengan masyarakat, serta kemampuannya untuk menceritakan kisah yang terjadi dengan sabar, yang dalam waktu berjam-jam mencari kejelasan di jalanan.

Tapi mungkin “cerita” adalah kata yang salah. Secara implisit— pada, katakanlah, streaming langsung lima setengah jam yang direkam dengan kamera tunggal, penciptaan narasi jurnalistik olahan yang akrab tidak ada dalam agenda. Sebaliknya, Anda mendapatkan dokumen yang terus diperbarui, yang mengakomodasi wawancara orang di jalan, yang berkembang dengan suara independen tanpa terpengaruh. Suatu malam pada pekan lalu, kru kamera Unicorn Riot memunculkan komentar singkat tentang dinamika perusakan properti dari pemilik bisnis lokal. “Saya menyadari mengapa Polsek Tiga dibakar,” kata pria itu. “Dia tidak terbakar karena orang-orang marah pada polisi. Itu dibakar karena polisi marah pada orang-orang ”—berarti bahwa kepasifan petugas dalam melindungi bangunan sebenarnya adalah agresi, yang dimaksudkan untuk menjadikan massa pemrotes sebagai pelaku pembakaran.

Para jurnalis Unicorn Riot mengatakan mereka memilih nama samaran untuk menjaga kualitas jurnalistik mereka. Mereka juga meliput seluruh wilayah AS. “Minneapolis memiliki masa lalu yang sangat kontroversial dengan polisi,”kata Niko Georgiades. Sebagai warga kota itu, Georgiades dan enam rekannya mendirikan kelompok terorganisasi pada Maret 2015. Pada November tahun itu, seorang pria kulit hitam bernama Jamar Clark ditembak mati anggota Kepolisian Minneapolis, dan tim Unicorn Riot meliput reaksi terhadap pembunuhan tersebut. Juga penembakan berikutnya, saat para demonstran Black Lives Matter ditembaki kelompok supremasi kulit putih yang membuat mereka bekerja 20 jam sehari.

Pada tahun 2016, di luar St. Paul, seorang polisi menembak dan membunuh seorang pria kulit hitam bernama Philando Castile di sebuah lampu merah, yang hanya dalam waktu 45 detik mendekati mobilnya. Unicorn Riot meliput kematian Clark dan Castile dengan cara yang mendapatkan rasa hormat warga lokal: ini bukan koresponden angkuh yang turun laiknya terjun payung, tetapi orang-orang sudah lama bertambat di komunitas. Meskipun Georgiades sering pergi ke lapangan sendirian, ia jarang hadir sendirian. Jumat pekan lalu, dia merekam video di jalan-jalan yang membara ketika dia menemukan sumber yang dikenalnya. Di akhir wawancara, nara sumber wanita itu berkata,”Aku mencintaimu,” yang dijawanb Niko, “Aku juga mencintaimu.” Ini bukan koneksi atau pertukaran yang bisa Anda lihat di CNN atau stasiun berita lokal terestrial.

Kedalaman koneksi tersebut menghasilkan keintiman dan intensitas pada streaming langsung, dan kedalaman masalah yang mampu diangkat pun menciptakan kebetulan- kebetulan yang mengerikan tapi menarik. Pada 30 Mei, Georgiades dan seorang rekannya live-streaming ketika mereka berjalan menyusuri Lake Street— jalan utama, tempat beragam restoran kecil dan, sekarang, sebuah pos polisi yang terbakar — ketika mereka menemukan sepupu Castile, Louis Hunter, berada di trotoar, di depan kafe vegan yang dimilikinya. Dalam semenit, petugas patroli dengan pakaian anti-huru hara mendorong mereka masuk ke restoran. Hunter seketika siap untuk membahas sejarah protesnya sendiri; dikarenakan agresi yang mengubah kehangatan keturunannya menjadi sikap panas yang pahit. Semua berhubungan dengan sejarah kekerasan polisi, yang membentuk perilaku otoriter mereka saat ini.

Sehari setelahnya, melalui telepon, Georgiades meminta maaf karena “merasa sedikit gila. . . “Saya tidur dua jam sebelum malam pertama protes, dan sejak itu sudah beberapa hari tidak tidur dan beberapa hari hanya tidur dua atau tiga jam,” kata dia. Dia berusia 38, penduduk asli kota kecil Minnesota selatan.

Dia telah merencanakan untuk menghabiskan minggu itu mengerjakan wawancara dengan seorang tetua adat tentang dampak virus korona pada komunitasnya. Juga sebuah film dokumenter tentang para ibu yang kehilangan anak-anak mereka karena kekerasan polisi. Alih-alih, dia berkeliling kota untuk mengumpulkan video kemarahan dan konteks untuk memahaminya. “Apa yang saya coba lakukan adalah memungkinkan masyarakat untuk berbicara,” katanya. “Tetapi saya juga ingin menunjukkan kepada audiens yang lebih luas bahwa ini adalah perspektif salah satu anggota komunitas pada saat itu, dan itu juga dapat berubah, dari orang ke orang, dari menit ke menit, dari aksi ke aksi. Penting untuk didokumentasikan.”

Dia mencoba merakit peralatannya untuk segera keluar dan kembali bekerja— camcorder Panasonic di bahu, kit audio, ransel Teradek untuk menyiarkan materi, helm, masker gas, dan rompi antipeluru. Dia berusaha, pertama-tama, untuk mencari tumpangan. “Mobil kami — kendaraan yang telah disumbangkan untuk kami selama liputan kami tentang Standing Rock— bannya benar-benar kempes kemarin,” katanya. “Pasti karena melindas pecahan peluru.”

Anda bisa menyebut apa yang dilakukan Unicorn Riot sebagai “activist reporting”,  sebagaimana Anda menyebut pengamat yang menangkap rekaman petugas polisi New York (NYPD)  yang melemparkan orang ke aspal sebagai “citizen journalism“. Tetapi Anda juga dapat memutuskan bahwa perbedaan-perbedaan ini mencerminkan keangkuhan tertentu dan telah menghilangkan arti-penting tertentu.

Tidak ada gunanya berdebat tentang jurnalisme objektif di tengah keadaan darurat ini, ketika kekuatan suara orang adalah satu-satunya pertahanan kita. Menjadi warga negara yang baik berarti menjadi seorang aktivis. Melaporkan berarti berbicara. Bukalah matamu sebagai saksi demokrasi dalam aksi, serta mempersaksikan kegagalannya dalam keberlimpahan. [ The New Yorker]

Troy Patterson adalah staf penulis di The New Yorker.

Back to top button