Veritas

Vonis Banding ke Pemenjaraan Seumur Hidup, Pengadilan Prancis Perpanjang Hukuman Pentolan ISIS

Vilus memimpin brigade “Al-Muhajirin” (para imigran), sebuah skuadron yang disebut-sebut kerap menyiksa dan melakukan eksekusi mati.

JERNIH–Pengadilan banding Prancis pada Selasa (21/9) lalu meningkatkan hukuman seorang tokoh senior ISIS di Suriah, dari 30 tahun menjadi penjara seumur hidup.

Tyler Vilus, warga Prancis, telah dihukum karena bekerja dengan kelompok ISIS di  Suriah, antara 2013 dan 2015. Di tingkat banding, pengadilan juga memerintahkan agar pria berusia 31 tahun itu menjalani hukuman minimal 22 tahun penjara. Dia dianggap sebagai “risiko besar” untuk kembali melakukan pelanggaran dan masih menyangkal beberapa tuduhan.

Vilus memimpin brigade “Al-Muhajirin” (para imigran), sebuah skuadron yang disebut-sebut kerap menyiksa dan melakukan eksekusi mati.

Dia dideportasi ke Prancis setelah ditangkap di Bandara Istanbul dengan paspor Swiss pada Juli 2015, dalam perjalanan ke Eropa untuk melakukan serangan. Ibunya, dijuluki “Mama Jihad” di pers Prancis, melakukan perjalanan tiga kali ke Suriah untuk mendukung putranya dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada Juni 2017.

Di antara dakwaan, Vilus dinyatakan bersalah mengambil bagian dalam eksekusi publik terhadap dua tahanan yang ditutup matanya, yang difilmkan untuk video propaganda. Vilus berdiri, kepala tertunduk, di balik layar kaca untuk mendengarkan vonis setelah sidang delapan hari di bawah pengamanan ketat di pusat kota Paris.

Sebelumnya, Rabu malam pekan lalu Presiden Prancis mengumumkan kematian pemimpin ISIS di Sahara Besar, menyebut pembunuhan Adnan Abu Walid al-Sahrawi sebagai “keberhasilan besar” bagi militer Prancis setelah lebih dari delapan tahun memerangi ekstremis di Sahel.

Presiden Prancis Emmanuel Macron men-tweet bahwa al-Sahrawi “dinetralisasi oleh pasukan Prancis” tetapi tidak memberikan rincian lebih lanjut. Tidak diumumkan di mana al-Sahrawi terbunuh, meskipun kelompok ISIS aktif di sepanjang perbatasan antara Mali dan Niger.

“Bangsa ini malam ini memikirkan semua pahlawannya yang tewas untuk Prancis di Sahel dalam operasi Serval dan Barkhane, keluarga yang berduka, semua yang terluka,” cuit Macron. “Pengorbanan mereka tidak sia-sia.” Dalam operasi tersebut Prancis memang menelan banyak korban di pasukannya.

Desas-desus tentang kematian pemimpin militan telah beredar selama berminggu-minggu di Mali, meskipun pihak berwenang di wilayah itu belum mengkonfirmasinya. Tidak mungkin untuk segera memverifikasi klaim secara independen atau untuk mengetahui bagaimana sisa-sisa jasad telah diidentifikasi.

“Ini adalah pukulan telak terhadap kelompok teroris ini,” cuit Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly. “Pertarungan kita berlanjut,” katanya, jauh dari medan laga, di kursi di Paris.

Al-Sahrawi telah mengklaim bertanggung jawab atas serangan 2017 di Niger yang menewaskan empat personel militer AS dan empat orang dengan militer Niger. Kelompoknya juga telah menculik orang asing di Sahel dan diyakini masih menahan warga Amerika Jeffrey Woodke, yang diculik dari rumahnya di Niger pada 2016.

Al-Sahrawi lahir di wilayah Sahara Barat yang disengketakan dan kemudian bergabung dengan Front Polisario. Setelah menghabiskan waktu di Aljazair, ia pergi ke Mali utara, tempat ia menjadi tokoh penting dalam kelompok yang dikenal sebagai MUJAO yang menguasai kota utama utara Gao pada tahun 2012.

Sebuah operasi militer yang dipimpin Prancis pada tahun berikutnya menggulingkan pemerintahan Islam dari kekuasaan di Gao dan kota-kota utara lainnya, meskipun elemen-elemen itu kemudian berkumpul kembali dan melakukan serangan.

Kelompok Mali MUJAO setia kepada afiliasi regional al-Qaidah. Namun pada 2015, al-Sahrawi merilis pesan audio yang menyatakan kesetiaan kepada kelompok ISIS di Irak dan Suriah.

Militer Prancis telah memerangi kelompok-kelompok Islam, terutama ISIS di wilayah Sahel, tempat Prancis pernah menjadi kekuatan kolonial sejak intervensi 2013 di Mali utara. Namun baru-baru ini diumumkan bahwa mereka akan mengurangi kehadiran militernya di wilayah tersebut, dengan rencana untuk menarik 2.000 tentara pada awal tahun depan.

Berita kematian al-Sahrawi muncul saat perjuangan global Prancis melawan organisasi ISIS menjadi berita utama di Paris. Rabu pekan lalu dalam persidangan serangan Paris 2015, Vilus mengatakan bahwa pembunuhan terkoordinasi itu sebagai pembalasan atas serangan udara Prancis terhadap kelompok ISIS. Ia menyebut kematian 130 orang yang tidak bersalah itu “bukan masalah pribadi” saat mengakui perannya untuk pertama kalinya. [AFP]

Back to top button