OikosVeritas

WSJ: Buka Blokade Rusia Atas Pelabuhan Ukraina Atau Dunia Dilanda Kelaparan!

“Dunia membutuhkan strategi untuk mematahkan blokade Rusia terhadap pelabuhan Ukraina sehingga negara itu dapat mengekspor makanan dan barang-barang lainnya,” tulis editorial tersebut. Hal itu, kata WSJ, bisa berupa sebuah misi pengawalan menggunakan kapal perang untuk mendampingi kapal dagang bermuatan pangan kemanusiaan keluar dari Laut Hitam.

JERNIH– Dewan Redaksi surat kabar terkemuka dunia, The Wall Street Journal (WSJ), pada Rabu (24/5) lalu menulis editorial penting seputar perkembangan invasi Rusia di Ukraina. Mereka menengarai kemungkinan terjadinya bencana kelaparan yang akan melanda warga sipil di sebagian dunia. Pasalnya, hingga saat ini pasukan Rusia masih memblokade pelabuhan-pelabuhan penting Ukraina, yang membuat kapal-kapal komersial—terutama pembawa muatan gandum—tak bisa keluar dari negeri itu untuk mengantarkan pasokan.

Invasi Rusia yang dikomandoi Vladimir Putin, menurut editorial WSJ tersebut  telah menyebarkan kesulitan kemanusiaan dan ekonomi  yang luas. Yang siap datang sebagai masalah di depan adalah kekurangan pangan global.

“Dunia membutuhkan strategi untuk mematahkan blokade Rusia terhadap pelabuhan Ukraina sehingga negara itu dapat mengekspor makanan dan barang-barang lainnya,” tulis editorial tersebut. Hal itu, kata WSJ, bisa berupa sebuah misi pengawalan menggunakan kapal perang untuk mendampingi kapal dagang bermuatan pangan kemanusiaan keluar dari Laut Hitam.

Menurut editorial tersebut, saat ini Ukraina hanya menguasai Pelabuhan Odessa, karena Pelabuhan Mariupol di Laut Azov telah dihancurkan Rusia dan saat ini sepenuhnya dikuasai aggressor tersebut. “Meski Ukraina masih menguasai Odessa, tetapi dipastikan kapal perang Kremlin tidak akan membiarkan kapal komersial masuk atau keluar dari pelabuhan Laut Hitam itu,”tulis WSJ.

Konsekuensinya, akan ada kekurangan pasokan yang membuat harga pangan dunia meroket, seiring produksi tanaman tahunan Ukraina yang selama ini mengisi persediaan tidak bisa mencapai pasar dunia. “Ukraina, berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat, mengekspor sekitar 14 persen jagung dunia, 10 persen gandum dan 17 persen jelai,” tulis WSJ. Sekitar 50 negara bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk setidaknya 30 persen impor gandum.

Persoalan lain, selama ini pemerintah Ukraina menuduh Rusia telah mencuri persedian gandum mereka dan bahan pangan lainnya. “Memblokade pelabuhan Ukraina dan mencuri gandum kami adalah instrumen dalam perang hibrida Rusia melawan dunia demokrasi,”tulis pemerintah Ukraina di laman resmi beberapa kementerian mereka.

“Diperkirakan ada 22 juta ton biji-bijian yang tersimpan di gudang-gudang di Ukraina saat ini, makanan yang bisa langsung digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan jika bisa keluar dari Ukraina,” kata Menteri Luar Negeri AS,  Antony Blinken, pekan lalu. Ursula von der Leyen, presiden Komisi Eropa, beberapa hari kemudian menambahkan pernyataan itu, dengan mengatakan,” Rusia menggunakan kelaparan dan biji pangan untuk mengambil kekuasaan.”

Selama perang berlangsung, tulis WSJ, Komisi Eropa telah berusaha membantu memindahkan bahan pangan tersebut. Masalahnya, Ukraina dan seluruh Eropa bergantung pada infrastruktur kereta api yang berbeda. “Apalagi dalam waktu normal, pelabuhan Laut Hitam menyumbang 90 persen dari ekspor bahan pangan dan minyak nabati Ukraina,”kata Komisi.

Karena itulah, WSJ berkeras bahwa sebuah ‘Misi Laut Hitam’, beranggotakan negara-negara Eropa dengan persenjataan kapal perang untuk mengawal kapal dagang komersial pengangkut pangan, “mungkin diperlukan untuk mencegah kelangkaan pangan dunia,”tulis WSJ.

WSJ sejatinya tetap menyarankan upaya diplomasi dengan Rusia. Namun, kegagalan misi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, yang mencoba mencapai kesepakatan untuk membebaskan ekspor Ukraina dan mengunjungi Moskow pada April lalu untuk meminta bantuan Putin, menjadi catatan tersendiri.

“…Meminta belas kasihan Rusia telah terbukti hanya tugas bodoh, seperti yang telah ditunjukkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan baik. Putin tidak keberatan menimbulkan lebih banyak rasa sakit di Ukraina, dan dia mungkin memandang tekanan pangan global sebagai cara untuk membuat NATO dan negara-negara lain memaksa Ukraina untuk menyelesaikan perang sebagaimana prasyarat yang ia ajukan. Dunia harus berbuat lebih banyak untuk mencegah kelaparan dan risiko kerusuhan yang dapat dipicu oleh melonjaknya harga pangan. Ingat bagaimana Musim Semi Arab dimulai di Tunisia,”tulis WSJ. Dunia beradab, kata WSJ, harus segera bertindak untuk mencegah hal ini menjadi krisis kemanusiaan yang lebih besar.

Baru manakala diplomasi tidak berhasil, mantan Jenderal Angkatan Darat AS, Jack Keane, menyarankan diadakannya operasi pengawalan kapal dagang dan kapal pengangkut pangan. Misi itu harus dipimpin AS.

“Ini rencana paling baik, yang bisa diajukan sebagai operasi kemanusiaan,”kata Keane. Misinya, kata dia, membentuk koalisi kapal perang internasional untuk mengawal kapal komersial dengan aman keluar dari Odessa dan Laut Hitam.

“Ini seharusnya bisa bekerja sebagai koalisi negara-negara yang bersedia, dan bukan proyek Organisasi Perjanjian Atlantik Utara yang akan membuat Putin mengklaim itu adalah provokasi NATO lainnya,”kata Keane.

Keane menegaskan, AS punya pengalaman sejenis. Negara itu pernah mengerahkan sekutu untuk misi semacam itu dua kali dalam beberapa dekade terakhir. Pada akhir 1980-an, AS menandai dan melindungi kapal tanker minyak Kuwait saat mereka berlayar keluar dari Teluk Persia selama perang kapal tanker Iran-Irak. Pemerintahan Trump memimpin koalisi serupa jika lebih sederhana pada tahun 2019 untuk melindungi kapal tanker minyak yang bergerak melalui Selat Hormuz.

Menjelang bulan keempat invasi yang belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti, WSJ mengkhawatirkan akan adanya peningkatan derita ekonomi, dan kekurangan pangan akan segera berubah menjadi tekanan politik di seluruh dunia.

“Jika Putin tidak mau menyerah, dunia beradab harus menemukan cara untuk mematahkan blokade makanan terhadap Ukraina,”tulis WSJ. [The Wall Street Journal]

Back to top button