POTPOURRI

Enny Arrow, Teka-teki di Balik Kabut ‘Sastra Lher’ Indonesia

JAKARTA—Hanya para anomali di masanya bila generasi usia tengah baya mengaku tak pernah mendengar–atau bahkan menggemari, Enny Arrow dan novel-novel picisan tulisannya. Namun hingga kini sosok terus tak lebih dari kabut yang tak jelas.

Kalau ditera dengan ukuran best seller dunia perbukuan saat ini, ‘novel-novel’ stensilan karya Enny Arrow tentu saja bisa disebut mega best seller. Meski dijual sembunyi-sembunyi di terminal bus– mengingat isinya yang jorok, peredaran buku Enny tersebar luas. Saat itu, hampir setiap anak SMA—bahkan SMP, pernah membacanya secara sembunyi-sembunyi pula.

Namun tak ada data jelas berapa oplah terbesar buku itu sempat dicetak. Wajar, mengingat buku tersebut dicetak diam-diam, berkejar-kejaran dan main petak umpet dengan intel-intel Orde Baru. Tetapi melihat peredarannya yang menjangkau bahkan kota-kota kecil di Jawa dan Sumatera, tak pelak buku itu dicetak jauh lebih banyak di atas ukuran rata-rata satu kali cetak per judul saat ini, sekitar 3.000 eksemplar.

Siapakah Enny Arrow juga menjadi kepo yang tak pernah bisa terbuka gamblang. Tak ada data jelas siapa penulis novel-novel yang dibenci para ibu tapi diam-diam dibaca bapak-bapak di era 1980-1990-an itu. Tetapi novel-novel vulgar itu sempat dinisbahkan kepada seorang penulis, Enny Sukaesih Probowidagdo.

Enny, yang lahir di Desa Hambalang, Bogor, pada 1924 itu disebut-sebut memulai karir sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang. Ia disebutkan mempelajari steno di Yamataka Agency, sebelum direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada revolusi kemerdekaan, Enny disebutkan bekerja sebagai wartawan pro-republik di Bekasi.

Pada 1965, Enny Sukaesih menulis ‘Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta’. Pada tulisannya itu ia memakai nama Enny Arrow. Kata Arrow ia dapatkan berdasar nama toko penjahit di pinggir Kalimalang, tempat ia pernah bekerja, Toko Djahit Arrow.

Hanya, ketika negara berada dalam kemelut usai G30S 1965, Enny memutuskan diri untuk berkelana. Tak jelas, apakah Enny sempat bergabung dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra), lembaga seni pro-PKI, sehingga ia memutuskan keluar Indonesia. Konon, perjalanannya itu sempat merambah Filipina, sebelum kemudian ke Hong Kong dan mendarat di Seattle, Amerika Serikat, pada 1967.

Di AS, kabarnya Enny Arrow belajar penulisan kreatif, saat gaya penulisan peraih Nobel, John Steinbeck, digemari. Disebut-sebut Enny sempat menulis untuk beberapa koran besar di AS, termasuk–kabarnya, novel ‘Mirror Mirror’ yang sempat mendapatkan pujian.

Masih dari sumber yang tidak terverifikasi, pada 1974 dia kembali ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan asing sebagai copy writer. Saat itulah ia menulis beberapa kisah panas, semisal ‘Kisah Tante Sonya’. Cerita yang sebetulnya picisan itu disambut luar biasa penerbit-penerbit rakyat di sekitar Pasar Senen. Sejak itulah, sekali lagi konon, nama Enny Arrow berjaya.

Persoalannya, kisah soal perjalanan Enny Arrow di atas punya banyak cacat secara rasional. Satu hal saja, alangkah ganjilnya seseorang yang punya wawasan sastra setinggi murid Steinbeck bisa tega menulis cerita erotis sevulgar novel-novel yang beredar diam-diam di publik itu.

Sangat tak masuk akal, seorang jurnalis yang hidup di era jurnalisme perjuangan, apalagi setelah menggemari Steinbeck, masih bisa menulis hal-hal sekwilda—seputar wilayah dada, yang tak berarti. Kalau pun ada orang mau bunuh diri eksistensi, rasa-rasanya tak akan serendah itu!  

Lainnya, kalau disebutkan bahwa Enny adalah penantang karya sastra yang berpihak pada kaum pemodal, dan karena itu ia menolak distribusi via toko buku, alasan itu juga sangat lemah.

Pertama, tulisan Enny Arrow sangat rendah untuk disebut karya sastra. Ada memang beberapa karyanya yang sok nyastra dengan pemakaian kata-kata gemulai dan lebay. Misalnya pada :

“…Benny merasakan geli yang nyaman ketika Aningsih menggeser-geserkan rambutnya ke lehernya. Geli yang merambati pembuluh-pembuluh darahnya. Angin malam berkesiur dingin, menusuk tulang. … Bayang-bayang pepohonan menimpa mereka…

Padahal, bagi wartawan perjuangan yang membaca Steinbeck dan menggemarinya, adalah informasi, bukan bahasa, yang merupakan batu bata penyusun sebuah tulisan yang efektif. “Prosa adalah arsitektur, bukan dekorasi interior,” kata Ernest Hemingway, rekan sezaman Steinbeck.

Enny juga konon memilih mengedarkan bukunya diam-diam, karena memang buku itu tidak mungkin beredar via toko buku, karena vulgarnya.

Jadi, saya sendiri tak percaya penulis buku-buku stensilan itu adalah Enny Sukaesih. Karya Enny Arrow asli berhenti pada ‘Mirror-mirror’ tersebut. Selebihnya, bila kisah itu benar, ia berkonsentrasi pada pekerjaannya sebagai copy writer.

Penulis cerita erotis itu, bagi saya, pasti seseorang yang memakai namanya. Entah sengaja karena alasan kekaguman, atau semata karena nama itu enak didengar. Lebih mungkin lagi, semua penulis cerita-cerita ‘piktor’—pikiran kotor, kemudian memakai nama tersebut. Mungkin saja penerbit kecil yang mencetaknya meminta tulisan pada banyak orang, dan kemudian hanya mencetak satu nama ‘Enny Arrow’ di semua sampul bukunya. Penerbit yang banyak menerbitkan buku-buku tersebut—penerbit Mawar yang tak jelas alamatnya, menempelkan nama Enny Arrow sebagai nama generik karya-karya bergenre ‘lher’ itu.

Saya bukan tidak punya argumen untuk itu. Seorang senior saya yang sempat bekerja di sebuah media ternama pernah bercerita. Pada saat kuliah, untuk menutup biaya hidup, dirinya seringkali menulis cerita porno, karena memang ada penerbit gendeng yang melihat ceruk pasar itu. Buku-buku itu, seperti juga karya Enny Arrow, ditulis di atas kertas bubur buram untuk membuatnya semurah mungkin. Tahu nama yang dicetak penerbit di sampul karya yang ia bikin di malam-malam penuh kesendirian itu? Enny Arrow. [ ]

Back to top button