POTPOURRIVeritas

Malik : Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Membebek Haji Misbach di Jawa, kaum Datuk Batuah menyebut HOS Cokroaminoto menggelapkan uang rakyat, menghabiskan dana perserikatan. Kalau ada berita orang mencuri uang pemerintah, dana orang banyak alias melakukan korupsi, orang-orang Datuk Batuah akan serta merta menyebut itu sebagai ‘mencokro’. Pokoknya, setiap fenomena apa pun yang bisa mereka pakai untuk mendompleng guna menyerang dan merendahkan Cokroaminoto, mereka lakukan.

Pengantar :

Indonesia pernah dikaruniai seorang ulama, yang tak hanya kharismatik, melainkan pula memiliki kedalaman dan luasnya ilmu. Namun bukan itu yang paling menonjol, melainkan karakternya yangtegas dan kukuh membela kebenaran yang ia yakini. Ulama itu bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).—

Episode 12

Malik Bab 7

Berguru Kepada Cokroaminoto

Malik memang telah mendapatkan izin untuk berangkat ke Tanah Jawa. Tak hanya izin malah, juga doa dan segala nasihat yang membuat dirinya merasa bersalah, mengapa selama ini selalu mengira ayahnya tak menyayanginya.

Tapi itulah, semua baru sampai taraf izin. Bagaimanapun ia bukan Gatotkaca yang begitu mendapatkan restu Aria Bhima, ayahnya, langsung mencelat terbang ke udara, menuju negeri yang hendak ia datangi. Perlu dana, selain tentu saja mempersiapkan agar kedatangannya ke Tanah Jawa bisa mendapatkan secara maksimal apa yang dicarinya. Haji Rasul menjanjikan akan membantunya maksimal. Namun sampai hari berbilang bulan, belum juga Haji Rasul memberikan bantuan dana untuk perjalanan Malik tersebut.

Tetapi sebenarnya Malik pun tak begitu memikirkan perjalanan ke Jawa itu seintens sebelumnya. Ada yang tengah berkembang di Padang Panjang, seiring kedatangan dua pengajar Sumatra Tawalib yang baru pulang dari Tanah Jawa: Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Mereka membawa oleh-oleh yang memanaskan Padang Panjang yang berhawa sejuk itu. Paham komunis. Sebenarnya tak berapa lama mereka berdua melawat ke Jawa, hanya mencapai taraf bulan saja. Tetapi itulah hebatnya Jawa, orang datang melancong saja pun bisa diubahnya 180 derajat.

Perkembangan itu yang membuat Malik sedikit melupakan upaya seriusnya untuk segera berangkat ke Jawa. Sekembalinya dari Jawa, Datuk Batuah dan Natar Zainuddin mengembangkan paham baru itu di kalangan murid-murid Thawalib dan anak-anak muda Padang Panjang.

Datuk Batuah mengajarkan paham yang mengajak orang tak lagi mempercayai adanya Tuhan? Tentu tidak. Bunuh diri namanya mengedarkan paham atheisme ke tengah-tengah masyarakat yang kuat berpilarkan keyakinan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah itu. Komunisme Datuk Batuah adalah Komunisme yang mendasarkan kebencian kepada Pemerintah Kolonial Belanda dengan hujjah Alquran dan hadits! Paham yang mengajak warga Padang Panjang, khususnya murid-muridnya sendiri di Thawalib untuk melawan penindasan kafir, karena penjajahan yang membawa-bawa kapitalisme lewat Undang-undang Penanaman Modal dan Undang-undang Gula, yang meneguhkan imperialism sejak lama itu, berlawanan dengan ajaran sejati Islam.

Sebagai bagian dari kader terbaik Thawalib—dibuktikan dengan diutusnya mereka berdua bermuhibah ke Tanah Jawa oleh organisasi itu, kedua guru muda itu fasih mengutip ayatayat Alquran dan petikan Hadits Nabi untuk kepentingan propaganda mereka. Jadilah kini Alquran, terutama Surat Al Anfal dan Surat Taubat, ayat-ayat yang turun di masa perjuangan Rasulullah, menjadi favorit Datuk Batuah dan Natar saat berceramah, pidato, bahkan kala mengajar di kelas, untuk menyerang siapa yang mereka anggap lawan.

Persoalannya, yang mereka pandang lawan itu tak hanya Pemerintah Kolonial Belanda. Pemimpin-pemimpin Islam yang berpengaruh pun tak luput dari sasaran kebencian mereka.

Bukan hanya tak luput, karena kemudian justru para pemimpin umat inilah yang menjadi sasaran terror kata dan pena dari kelompok baru yang perlahan terbentuk itu.

Keduanya serius membangun kekuatan. Datuk Batuah mengeluarkan sebuah berkala yang beredar luas, bernama ‘Pemandangan Islam’. Isinya sejalan, bahkan seringkali diambil begitu saja dari majalah yang diampu pemimpin Serikat Islam Merah—pecahan organisasi besar Sarikat Islam pada 1922, Haji Misbach. Dari namanya saja orang tahu, kemana kecenderungan SI Merah itu kecuali komunisme. Organisasi Islam tersebut tahun itu pecah setelah sebelumnya anasis-anasir Komunis yang menginfiltrasi atau masuk diamdiam, berkembang menjadi duri dalam daging yang hanya menggerogoti SI. Sebagaimana Haji Misbach yang tetap hanya seorang medioker dalam keyakinannya, begitu pula Haji Datuk Batuah. Ia menumpang kapal Marx dengan begitu mempercayai teori historis materealisme-nya sampai mendarah daging. Tetapi sampai akhir hayatnya kedua orang itu tak sampai hati meninggalkan ajaran Islam dan keyakinan akan adanya Tuhan.

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, fokus serangan mereka adalah para pemimpin Islam, terlebih lagi HOS Cokroaminoto. Pemimpin SI ‘Putih’ itu menjadi sasaran kecaman, hinaan, cacian seberat-beratnya. Membebek Haji Misbach di Jawa, kaum Datuk Batuah menyebut HOS Cokroaminoto menggelapkan uang rakyat, menghabiskan dana perserikatan. Kalau ada berita orang mencuri uang pemerintah, dana orang banyak alias melakukan korupsi, orang-orang Datuk Batuah akan serta merta menyebut itu sebagai ‘mencokro’. Pokoknya, setiap fenomena apa pun yang bisa mereka pakai untuk mendompleng guna menyerang dan merendahkan Cokroaminoto, mereka lakukan. Yang lebih keji, mereka menuding HOS Cokroaminoto tak lebih dari alat penjajah dan menyebut pemimpin pergerakan nasional itu ‘perkakas Imperialis’!

Muhammadiyah, perkumpulan sosial umat Islam yang berkembang pesat sejak kelahirannya, segera mereka sebut ‘Serikat Hijau’. Organisasi itu, kata mereka, didirikan penjajah Belanda untuk menghisap dana rakyat. Lalu siapa pejuang Islam sejati? Mereka itulah, yang menyebut diri Komunis itu! Malik mendengar semua propaganda itu kian deras dari hari ke hari.

Dampaknya dengan mudah bisa ditebak. Ada aura perpecahan di Sumatra Thawalib yang retakannya kian hari semakin menganga luas. Apalagi ketika Haji Rasul kemudian merasa tak lagi bisa berdiam diri. Ia pernah mengajak Malik bicara.

“Kau ikut-ikutan masuk Komunis pula, jadi bagian barisan Datuk Batuah?” tanyanya kepada anaknya itu.

“Tidak, Ayah,” jawab Malik.

“Hati-hati! Jangan silap! Di sini Komunis lahir dengan memakai baju agama. Sejatinya, ia tetap saja paham yang benci dan hendak menghapuskan agama. Kau carilah keterangan ayahmu ini. Cari ‘Das Capital’ karangan Karl Marx dan Fredrick Engels, lalu kau bacalah. Akan jelas apa yang ayah katakan benar adanya. Ada di sana ia katakan,” Agama adalah candu masyarakat. Kau lihat, betapa orang ini meyakini bahwa agama hanya peninabobok yang membuat orang terhalusinasi dan ketagihan.”

Kalimat-kalimat Haji Rasul itu tak hanya dikatakannya kepada anaknya. Sebagaimana kelompok Datuk Batuah gegap gempita menyerangnya, Haji Rasul pun akhirnya melayani dengan sepenuh hati. Di setiap ceramah, pengajian dan khotbah yang diampunya, meluncur pula pembelaan dan bahkan serangan balik kepada pihak komunis setengah hati itu.

Tetapi dengan derasnya propaganda Komunis, Malik pun tak bisa sepenuhnya suci hama. Ia tak bisa tidak bergaul dengan teman-temannya yang ketularan Komunisme. Tetap menyanyikan lagu-lagu baru yang didengar dan dipelajarinya dari kelompok itu, yakni ‘Internasionale’, ‘1 Mei’, dan lain-lain, dengan bersemangat.

Malik curiga kelompok baru itu memang mendapatkan pasokan dana dan segalanya dari Jawa. Di dinding klub debat para pemuda kelompok itu, International Debating Club (IDC), tergantung gambar-gambar para pentolan Komunis Indonesia, seperti Sneevliet, Baars, Alimin, Semaun, Darsono, Muso, Tan Malaka dan Haji Misbach. Malik sempat membaca beberapa karya tulis Tan Malaka, dan sebenarnya hati kecilnya mengagumi orang Minang yang telah menjadi tokoh atas Komunis Internasional (Comintern) itu.

Meski sempat membuatnya sedikit melupakan rencana perjalanannya ke tanah Jawa, kehadiran gerakan komunis di kotanya pun lama-lama membuat Malik justru ingat dengan tujuannya itu. Ia ingin segera datang di Jawa, melihat bagaimana bisa Tanah Jawa mengubah seorang seperti Datuk Batuah, orang yang selama ini menjadi rekan sekaligus kepercayaan ayahnya, berubah langkah. Kepada ayahnya Malik pernah bilang, di Jawa paling tidak ada beberapa kota yang sangat ingin dia singgahi. Setidaknya Yogyakarta, Semarang, Solo, yang berdekatan, serta mungkin menyempatkan diri ke Jawa Barat, ke Bandung. Kota-kota itu baginya telah menjadi semacam ikon perjuangan, kota pergerakan.

Yogyakarta yang telah menumbuhkan organisasi sebesar Perserikatan Muhammadiyah, yang banyak mewarnai keseharian umat Islam. Semarang, kota yang identik dengan pergerakan komunisme, serta Solo, tempat Haji Misbach tinggal. Bandung? Melalui koran ‘Fikiran Ra’jat’ yang sesekali dibacanya di rumah sahabatnya, Ajun Sabirin, Malik ingin sekali berkenalan dengan seorang tokoh muda pergerakan yang namanya tengah beranjak terbit. Soekarno namanya.

Akhirnya niat itu terbuka lebar saat suatu hari ayahnya memanggil Malik. “Kau bisa pergi dua hari lagi, Malik,” kata Haji Rasul begitu Malik datang.

“Wah, bagaimana bisa ayah? Ayah sudah beli pass[1] kapal ke Jawa?”

“Ndak. Kau bisa ikut seorang saudagar teman ayah yang lusa akan berangkat ke Tanah Jawa. Banyak bagusnya, dibanding kau sendirian ke sana. Kau segeralah mengepak pakaianmu. Akan lama kau tinggal di Jawa. Pelajari apa yang bagus dari kehidupan yang kau lihat dan jalani di Jawa. Tak usah kau ambil apa yang buruk buatmu, juga buat kehidupan di sini.”

Tetap saja ayahnya menasihati, meski entah berapa kali ia sudah bernasihat perihal hidup di Jawa itu.

“Tentu Ayah, insya Allah,” jawab Malik.

Untung juga Malik menemukan tumpangan itu. Selain tak hanya diam termenung sepanjang perjalanan, dari obrolan Malik pun mengerti sedikit-sedikit perihal berdagang. Saudagar yang membawa serta Malik dalam perjalanannya itu adalah seorang simpatisan Muhammadiyah. Ia pertama kali mengenal organisasi itu langsung manakala perjalanan dagangnya ke Yogyakarta, persis seperti saat ini. Menurut dia, intinya berdagang adalah menghubungkan dua komunitas yang saling memerlukan. Makin berjauhan bisa jadi semakin baik, karena rasa butuh pun makin kuat. Jarak yang jauh juga membuat dirinya sebagai pedagang merasa kian dibutuhkan.

“Itu membuat kita menikmati rasa lain, selain sekadar keuntungan,” kata dia. Malik mangut-manggut saja.

Di Yogya saudagar itu biasanya tak lagi hanya mengambil berkodi-kodi, melainkan berkarung-karung batik berbagai kualitas. Yang terbanyak ia ambil yang harganya biasa-biasa saja, untuk orang kebanyakan. Tetapi ia pun tak melupakan bahwa di Ranah Minang, bahkan di Medan, ada para pelanggannya yang perlu kain dan pakaian batik kualitas terbaik, berbahan sutra halus dan dilukis dengan cara ditulis, bukan dicetak. Saudagar itu memastikan sekian kodi di antaranya merupakan batik-batik kualitas terbaik itu.

Selama perjalanan, entah berapa kali saudagar itu membayari Malik makan. Akhirnya karena merasa malu, Malik menolak dengan sopan. Caranya ia lalu mencari warung nasi sendiri, atau mencari sudut yang lain dari saudagar itu manakala otobus parkir di warung makan.

Mereka berpisah di Yogya, itu pun setelah saudagar itu memaksa mengantarkan Malik ke seorang pria sekampungnya, Marah Intan. Dialah satu-satunya orang Minang yang ada di Yogyakarta ketika itu. Marah Intan tinggal di Kampung Ngampilan, tak jauh dari Kampung Kauman, pusat berdirinya Perserikatan Muhammadiyah. Sayang, Malik tak sempat bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, karena beliau meninggal setahun sebelumnya.

Di rumah marah Intan pula Malik bertemu pamannya, Ja’far Amrullah. Pamannya itu juga seorang saudagar. Ia meninggalkan bisnisnya sejenak karena ingin belajar agama di Yogyakarta selama kurang lebih dua bulan?  

“Dua bulan?” Pikir Malik sesaat mendengar hal itu dari pamannya. “Memang cukup belajar agama hanya dua bulan?”

Pamannya inilah yang membawa Malik ke beberapa guru agama, para kiyai terkemuka di Yogyakarta. Awalnya Malik memandang enteng. Dipikirnya, ia sudah lama belajar agama.

Tak hanya mengaji di surau, tetapi juga belajar di Thawalib. Memang apa lagi yang akan dipelajari? Beberapa kali ia tak ikut pamannya yang tak lelah mengunjungi para kiyai untuk belajar: pagi, petang, malam harinya juga tak pernah luput.

Setelah kira-kira sebulan ikut belajar, barulah Malik mengerti dan merasa apa yang telah ia pelajari selama ini tak ubahnya belum lagi belajar. Katakanlah ia telah mempelajari ilmu nahwu melalui buku Qathar . Tetapi jujur saja, tak banyak yang ia mengerti. Malik juga belajar fikih dari kitab babon ‘Fathul Mu’in’, tetapi yang diiingatnya hanya urusan cara wudhu, sekulah dua kulah air, hukum menyambung rambut bagi perempuan. Lainnya paling hanya urusan apakah wajib membaca niat ushaalli atau tidak, manakala bersiap menunaikan shalat. Atau mempersiapkan diri untuk berdebat dengan ‘golongan tua’ seputar urusan talqin, tawassul dan sejenis itu.

Namun yang diterimanya di Yogyakarta benar-benar lain. Pagi hari, bersama pamannya Ja’far, Malik sudah berada di teras rumah Ki Bagus Hadikusumo. Bersama hampir dua puluh pemuda lainnya mereka berdua belajar tafsir. Malik pernah belajar tafsir dengan buku rujukan ‘Tafsir Al Manar’ karangan Syeikh Muhammad Abduh, ulama Pakistan yang lama bermukim di Mekkah dan Kairo. Sementara buku rujukan yang dipakai Ki Bagus Hadikusumo adalah ‘Tafsir Baidhawi’ berbahasa Melayu Jawi.

Namun yang ia rasakan setelah beberapa lama belajar, ia merasa seolah dulu tak  pernah belajar tafsir. Yang dulu ia lakukan lebih kepada belajar membaca matan tafsir itu dengan tak boleh melakukan kesalahan pada unsur nahwunya. Dengan Ki Bagus, satu demi satu ayat dikupas dengan seksama, menggunakan penafsiran berdasarkan ayat Alquran lainnya. Malik merasa begitulah Alquran menjadi alat analisis, pisau yang mengupas persoalan sehingga berguna bagi kehidupan.

Di Minang, Malik merasakan Islam yang ia pelajari hanya sebagai hafalan yang kering. Sementara Islam yang ia peroleh di Yogya, dari Ki Bagus Hadikusumo, Soeryopranoto  bahkan HOS Cokroaminoto begitu hidup dan aplikatif dengan keseharian. Islam yang begitu hidup, menghidupkan dan dinamis!

Malik merasakan dinamisnya Islam di Yogya juga terkait desakan gerakan Zending Kristen yang tak kurang menekan. Gerakan yang sangat aktif melakukan perkabaran Injil ini bahkan terasa mulai mencoba memasuki keraton Yogyakarta, meminta pengakuan.

Sementara di Minang, Islam benar-benar merasa di puncak sendirian tanpa tantangan. Itu yang akhirnya para ulamanya asyik masyuk mengurus dan mempertentangkan hal-hal kecil, semisal urusan dua kulah air wudhu dan pertentangan soal membaca Qunut subuh semata!

Diam-diam, dalam sebuah perenungan di malam hari menjelang tidurnya, Malik mensyukuri datangnya kelompok komunis ke ranah Minang.

Kemauan belajar pamannya yang berbuncah-buncah itu juga menjadi berkah tersendiri buat Malik. Tak hanya mengaji kepada para kyai Muhammadiyah seperti Ki Bagus dkk, Ja’far tak sungkan belajar kepada Mirza Wali Ahmad Baig, seorang utusan pergerakan Ahmadiyah Lahore yang tengah berada di Yogya, langsung dari Lahore, India. Ja’far berani belajar kepadanya karena Ahmadiyah yang diikutinya beraliran Lahore, bukan Qadian yang penuh kontroversi itu. [bersambung]


[1] Tiket

Back to top button