SolilokuiVeritas

Menavigasi Visi Prabowo

Presiden Prabowo tak bisa terus lega karena badai yang berpindah arah dan harapan publik yang melandai. Angin gugatan dan tuntutan akan kembali kepadanya suatu hari nanti. Ia harus segera menanam pohon kepercayaan dengan akar yang kuat. Namun, di tanah yang pernah retak, kepercayaan tumbuh perlahan. Ia bukan pohon besar yang menjulang, melainkan tunas kecil yang rapuh, menggeliat lambat mencari cahaya pemimpin tepercaya.

Oleh : Yudi Latif

JERNIH– Seratus hari pemerintahan Prabowo adalah tenggat yang dinaungi “dewi fortuna”. Badai kritik yang sedianya tertuju pada pemerintahan baru terbelokkan ke arah mantan Presiden Joko Widodo. Ekspektasi publik terhadap kabinet ini juga tak terlalu tinggi.

Massa kritis telanjur apatis setelah mengarungi musim kekecewaan yang panjang. Cara menyusun formasi dan personel kabinet tambun yang kontranalar juga membuat publik kehilangan gairah pengharapan.

Meski begitu, Presiden Prabowo tak bisa terus lega karena badai yang berpindah arah dan harapan publik yang melandai. Angin gugatan dan tuntutan akan kembali kepadanya suatu hari nanti. Ia harus segera menanam pohon kepercayaan dengan akar yang kuat.

Namun, di tanah yang pernah retak, kepercayaan tumbuh perlahan. Ia bukan pohon besar yang menjulang, melainkan tunas kecil yang rapuh, menggeliat lambat mencari cahaya pemimpin tepercaya. Di ladang yang telah lama gersang, memulihkan kepercayaan itu bukan dengan janji, tetapi dengan bukti.

Untuk memenangi hati rakyat, sepatutnya pemimpin bicara dengan bahasa hati, bukan sekadar gelegar suara. Karena rakyat bukan angka, mereka adalah jiwa-jiwa hidup, yang bisa merasakan ketulusan dan kehadiran pemimpin di jantung kehidupan.

Bukalah pintu Istana lebar-lebar, biarkan suara kejujuran masuk. Dengarkan bisik mereka yang polos karena di sanalah suara kebenaran bersemayam.

Bukan sebatas suara para pembisik di lingkaran dalam atau laporan pejabat ”asal bapak senang”. Jangan bangun tembok yang tinggi, bangunlah jembatan yang menghubungkan, antara kekuasaan dan mereka yang terlupakan, karena rakyat akar penopang pohon kekuasaan.

Gotong royong kebajikan

Di bumi yang retak, usaha memulihkan kepercayaan memang bisa ditempuh dengan cara merangkul, bukan memukul. Seperti petuah Nelson Mandela saat membujuk Miriam Makeba.

Pedomannya diingatkan pendiri bangsa Mohammad Hatta. Jangan sampai kehendak merangkul itu menjadi pintu masuk bagi pendistorsian negara kekeluargaan menjadi negara kekuasaan.

Untuk itu, semangat akomodasi harus dijaga dalam kerangka kerja sama dalam kebaikan, bukan dalam kesesatan. Gotong royong yang digalakkan harus mengarah pada toleransi positif, bukan toleransi negatif.

Perlu disimak pandangan Mohammad Natsir dalam persidangan Konstituante. Menurut Natsir, tanpa bersedia mengambil suatu pilihan positif, toleransi yang dikembangkan hanyalah suatu toleransi negatif, yang berpretensi untuk sekadar berkompromi demi mengakomodasi segala kepentingan, tak berusaha untuk mencapai yang terbaik.

Ditambahkan oleh Roeslan Abdoelgani, toleransi yang dikehendaki Pancasila adalah suatu kompromi dalam konteks toleransi yang positif karena senantiasa dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Jangan pula merangkul figur sembarangan yang justru bisa meredupkan kepercayaan.

Montesquieu, dalam The Spirit of Laws, menggambarkan bahwa dalam pemerintahan yang baik, jabatan diberikan berdasarkan kebajikan dan kompetensi, sedangkan dalam pemerintahan yang buruk, jabatan digunakan untuk memperkuat kekuasaan dengan melayani ambisi seseorang (kelompok).

Sejalan dengan itu, Max Weber dalam uraiannya tentang birokrasi menekankan pentingnya meritokrasi (jabatan diisi oleh orang yang memenuhi syarat) dibandingkan dengan patronase (jabatan diberikan untuk membalas jasa atau koneksi pribadi).

Merangkul figur kompeten dan tepercaya sangat membantu memulihkan kepercayaan. Kepercayaan adalah tenunan, dan setiap robekannya adalah luka yang harus dijahit dengan benang integritas. Hanya mereka yang jujur dan menjadikan prinsip sebagai kompas yang mampu menyulamnya kembali. Namun, sering kali mereka terpinggirkan, suaranya tenggelam di tengah hiruk pikuk para pemburu kekuasaan.

Figur-figur kompeten berintegritas itu biasanya enggan meminta dan menawarkan diri. Akan tetapi, merangkul figur yang tak haus kekuasaan justru pilihan yang mendekati kebajikan.

Seperti disimpulkan Plato dalam The Republic, ”Negara di mana para penguasanya paling enggan memerintah selalu menjadi yang terbaik dan paling damai; sementara negara di mana mereka paling berambisi adalah yang terburuk”.

Komposisi yang dirangkul juga harus memenuhi keseimbangan antara apa yang disebut Herbert Feith sebagai solidarity maker (penjaga solidaritas) dan administrator (penata keteraturan).

Yang pertama datang dengan hati yang terbuka, memeluk semua dengan hangat, menyulam kebersamaan dari benang-benang perbedaan, menyatukan jiwa-jiwa yang terberai. Yang kedua adalah tangan yang mengatur, kepala yang merancang, dan mata yang selalu waspada pada tujuan di kejauhan.

Sang solidarity maker membawa jiwa, sementara sang administrator memberi bentuk. Yang satu adalah angin yang mendorong layar, yang lain adalah kemudi yang menjaga arah. Komposisi menteri dan wakil menteri bisa dibentuk dalam kerangka keseimbangan itu.

Alhasil, dalam memilih para menteri, wakil menteri, dan pembantunya yang lain, Presiden tak bisa menggunakan hak prerogatifnya secara sembrono.

Pada kunci pokok kesembilan, sistem pemerintah negara Indonesia menurut Penjelasan UUD 1945 disebutkan: ”Menteri-menteri Negara bukan Pegawai Negeri Biasa. Meskipun kedudukan Menteri Negara tergantung daripada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (power executief) dalam praktik. Sebagai pemimpin departemen, menteri mengetahui seluk-beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya”.

Visi dan strategi

Usaha memulihkan kepercayaan juga tergantung pada kemampuan pemerintahan baru untuk merealisasikan janji menjadi bukti dengan menurunkan ideologi, visi, dan misi ke dalam strategi dan program. Pemimpin tak bisa terus-terusan menggelorakan narasi besar tanpa keteladanan, haluan, dan kesiapan tata kelola, karena setan itu menyelinap pada rincian detail implementasi.

Di jalan pembumian visi tersebut, penilaian positif tentang moralitas aktor dan institusi politik menjadi taruhan pemulihan keadaan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan ”modal moral” (moral capital) yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis kepercayaan.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor (institusi) politik dalam memperjuangkan nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang sejalan dengan konsensus kebangsaan yang dijanjikan dalam kampanye pemilihan. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan yang dimiliki seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik).

Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan itu ke dalam mekanisme kelembagaan politik yang bisa memengaruhi tingkah laku rakyat.

Menurut John Kane, ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi ”modal moral” secara politik.

Pertama, dasaran moralitas: nilai, tujuan, dan orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada publik. Kedua, tindakan politik: kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai moralitasnya ke dalam ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Ketiga, keteladanan: contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan pada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik: kemampuan pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas publik.

Dengan tuntutan seperti itu, visi-misi harus diterjemahkan menjadi strategi dan program. Visi pemerintahan Prabowo, ”Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045”, yang berfokus pada delapan misi utama (Astacita), tak bisa berhenti sebatas slogan. Retorika harus menemukan jalan persambungannya dengan realitas.

Di sanalah tantangan terbentang. Kepemimpinan Prabowo adalah panggung besar dengan retorika megah. Dalam suaranya yang lantang, ada janji-janji yang membahana dan menggetarkan. Ia berbicara tentang kekuatan, kedaulatan, dan bangsa yang berani berdiri tegak.

Kepemimpinan seperti itu adalah perjalanan panjang, dengan setiap langkah diukur oleh mata yang menunggu, oleh rakyat yang berharap. Dan di sepanjang perjalanan penantian itu, retorika dan realitas harus menemukan cara untuk berdamai. Tak semudah retorika, realitas itu adalah tanah keras tempat langkah-langkah harus diuji.

Di sana, janji bertemu dengan batasan, dan visi berhadapan dengan kompleksitas yang tak bisa dihindari. Dalam realitas, kepemimpinan bukan hanya tentang suara yang menggema, melainkan tentang tangan yang bekerja, tentang keputusan yang diambil dengan hati-hati.

Untuk menerjemahkan retorika ke dalam realitas, seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja (working ideology), berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan dalam menjalankan visi dan misinya. Atas dasar ideologi kerja dengan visi dan misinya itu, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas.

Presiden tak bisa mengurus/menyelesaikan semua urusan pemerintahan. Karena itu, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintah, publik, dan media.

Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini. Menentukan fokus memang memerlukan keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada risiko besar bagi presiden yang terlalu kompromistis cari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme makin menguat.

Untuk itu, visi dan misi besar harus diturunkan ke dalam strategi yang secara efektif bisa menghubungkan sarana dan tujuan, aspirasi dan kapabilitas.

Visi itu ibarat cahaya mercusuar yang memberi arah di kejauhan. Namun, cahaya itu tak cukup untuk menuntun langkah. Ia memerlukan jejak-jejak yang dirancang dengan cermat, memerlukan strategi yang tak hanya melawan arus, tetapi juga menaklukkan ketidakpastian.

Strategi bukan sekadar rencana, melainkan semacam seni membaca peta kemungkinan berbekal parameter dan haluan, yang lahir dari keheningan perenungan. Ia adalah keberanian untuk menyusun langkah kecil yang penuh perhitungan, mengubah setiap tantangan menjadi batu pijakan. Dalam strategi, visi menemukan daging dan tulangnya, menjelma menjadi sesuatu yang bisa disentuh, dirasakan, dan dicapai.

Pemulihan kepercayaan publik masih menunggu bagaimana misi Astacita itu diturunkan ke dalam strategi yang efektif serta program yang tepat.

Bagaimana ukuran, haluan, dan pilihan langkah yang diambil dalam merealisasikan program makan siang bergizi gratis menjadi batu uji. Apakah program itu dijalankan dengan tepat sasaran, tepat pemberdayaan masyarakat, dan tepat pengembangan muatan lokal, atau justru menjadi wahana perburuan proyek bagi para pemain besar?

Dalam merancang strategi dan melaksanakan program itu mutlak diperlukan pencerahan dengan wawasan pengetahuan dan kesahihan informasi.

Hindari tendensi pernyataan dan kebijakan impulsif yang memperburuk kepercayaan dan bertentangan dengan misi pemerintahan. Melakukan pembenaran deforestasi untuk memperluas perkebunan sawit dengan dalih bahwa kelapa sawit pun menyerap karbon dioksida memperlihatkan kemiskinan wawasan tentang fungsi hutan.

Bahkan mengindikasikan strategi yang kontradiktif dengan misi Astacita, setidaknya dengan cita kedua (menjaga kelangsungan kehidupan bangsa dan negara) dan cita ketiga (mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata serta berkeadilan sosial). Untuk menghindari hal-hal seperti itu, diperlukan keterbukaan terhadap sumber-sumber informasi alternatif yang kredibel.

Dalam seratus hari pemerintahan Prabowo, warga masih menunggu dalam kesenyapan kebimbangan. Bukan karena tak ada kerumunan dan keriuhan suara, tetapi mereka masih meraba dalam gelap untuk mengenali suara manakah yang patut didengar dan tepercaya.

Krisis kepercayaan adalah senyap yang memekakkan, sebuah retakan halus yang perlahan menjalar, meruntuhkan fondasi yang pernah kokoh. Untuk memulihkan, diperlukan ketabahan merawat proses bertumbuh secara perlahan dari ketelatenan pamong tepercaya. [Kompas.id]
Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Back to top button