Veritas

Hari Ini Satu Abad Lalu: Flu Spanyol Membunuh 50 Juta Orang

Dari Wuhan, virus korona berjangkit di banyak negara, menimbulkan ketakutan luar biasa, memaksa banyak negara mengunci diri dari pendatang luar, dan membuat lupa setiap orang bahwa dunia pernah dilanda wabah lebih mematikan, yang disebut flu Spanyol.

Flu Spanyol dimulai 1918, ketika dunia — terutama negara-negara Eropa — sedang memulihkan diri dari Perang Dunia I yang merengut 20 juta jiwa. Situs weather.com memperkirakan 500 juta orang di seluruh dunia, atau sepertiga penduduk Bumi, terserang wabah flu,

Jumlah kematian antara 50 juta sampai 100 juta, dan tersebar hampir di seluruh sudut dunia. Di AS, jumlah kematian mencapai 675 ribu orang, dengan tingkat harapan hidup turun sekitar 12 tahun antara 1917-1918.

Pandemi, yang kemudian dikenal sebagai flu Spanyol, sebenarnya dimulai saat Perang Dunia I berlangsung. Kamp latihan militer yang sempit dan sesak di Front Barat, kondisi parit yang jorok di sepanjang perbatasan prancis, diduga melahirkan virus yang menjangkiti setiap prajurit.

Perang Dunia I berakhir pada November 1918. Tentara keluar dari parit, dan kembali ke negara masing-masing. Mereka tidak hanya membawa kabar suka dan duka tentang kemenangan dan kekalahan, tapi juga virus di tubuh mereka.

Saat itu perjalanan udara masih jarang. Prajurit kembali dari medan Perang Dunia I dengan kapal laut, lainnya menggunakan kereta api.

Prajurit yang pulang menggunakan kapal laut menjadi agen penyebar flu, ketika singgah di satu atau beberapa pelabuhan. Mereka yang pulang dengan kereta, dengan jarak cukup jauh, menyebar virus di setiap stasiun.

Banyak negara terhindar dari wabah pada beberapa bulan, atau tahun, pertama sejak Perang Dunia I berakhir tapi gagal mencegah kedatangan flu paling mengerikan itu. Kematian, dengan jumlah ribuan, tak terhindarkan.

Namun, ada satu wilayah di muka bumi ini yang benar-benar terhindar dari flu Spanyol, dan Cina tampaknya belajar dari sejarahnya.

Wilayah itu bernama Bristol Bay di Alaska. Wilayah dihuni satu komunitas mandiri. Saat flu Spanyol mewabah di AS, Bristol Bay menutup diri, dengan mematikan akses desa dari jalan utama.

Mereka menutup sekolah, melarang pertemuan publik, meniadakan event apa pun, meminta setiap orang menghindari kontak dengan orang asing, dan beragam tindakan ekstrem lain.

Hasilnya, tidak satu pun penduduk Bristol Bay Alaska mengidap flu Spanyol. Wabah seolah tak singgah di Bristol Bay, dan meninggalkan kematian. Cina belajar dari ini, ketika menutup Wuhan dan seluruh Propinsi Hubei, kendati zaman telah berubah.

Medical Holocaust

Flu Spanyol tidak sama dengan virus korona. Korban flu Spanyol relatif dari semua usia, bahkan lebih banyak berusia muda.

Para dokter menyebut flu Spanyol sebagai holocaust medis terbesar dalam sejarah. Flu seolah bisa menyerang siapa saja, termasuk yang memiliki kekalahan tubuh sangat baik.

Situs bbc.com menulis flu menyerang dengan sangat cepat, melemahkan sistem kekebalan tubuh, menyebabkan reaksi berlebihan yang disebut badai sitokin. Paru-paru korban dipenuhi cairan, menjadi reservoir sempurna untuk penyakit sekunder.

Menariknya, orang lebih tua tidak begitu rentan dengan flu Spanyol. Analasis sejumlah pakar menyebutkan orang lebih tua, dan selamat dari wabah, tidak begitu rentan karena tubuh mereka punya pengalaman dengan flu serupa yang menyerang tahun 1830-an.

Pertanyaannya, mengapa flu Spanyol bisa membunuh sebanyak itu?

Flu Spanyol muncul ketika sistem kesehatan masyarakat di negara-negara Barat belum sehebat saat ini. Saat itu, hanya para borjuis dan orang kaya yang punya akses ke rumah sakit dan mengunjungi dokter. Orang miskin relatif pasrah dan menunggu kematian.

Lebih 90 persen korban flu Spanyol adalah orang-orang miskin di pemukiman kumuh perkotaan, anak-anak kurang gizi, dan lingkungan perumahan dengan sanitasi buruk.

Flu Spanyol adalah pelajaran paling mahal dalam sejarah umat manusia tentang perlunya sistem kesehatan yang menjangkau semua.

Di seluruh negara maju, pemerintah masing-masing berpikir keras untuk memberi perlindungan kepada seluruh warganya. Ilmuwan juga menyadari pandemi menyebar begitu cepat, dan hanya sistem kesehatan yang mampu menahan perkembangannya.

Sistem kesehatan yang dimaksud adalah mobilitasi sumber daya seolah sedag berperang, mengkarantina mereka yang menunjukan tanda-tanda sakit, dan memisahkan mereka yang pernah menjalin kontak dengan orang terpapar.

Belajar dari Bristol Bay di Alaska, wabah tidak akan datang ketika sistem kesehatan di sebuah masyarkat bertindak responsif saat wabah datang.

Seratus tahun lalu, flu Spanyol mengajarkan kepada dunia bagaimana mengatasi wabh dengan cara paling mengenaskan.

Back to top button