‘TOGO’ : Tentang Heroisme, Persahabatan dan Tak Abadinya Ketidakadilan
Mereka terus meluncur cepat , meliuk-liuk di antara lapisan es yang pecah berderak-derak, memungkinkan siapa yang tak awas terperosok lubang yang tiba-tiba menganga, langsung ditelan air di bawah laut yang beku
JAKARTA– Bayangkan sebuah kota kecil tanpa penerangan listrik dilanda wabah difteri pada 1925. Bayangkan bila kawasan itu terkucil di sebuah pojok dunia seperti Nome, di tengah puncak musim salju Alaska manakala suhu bisa turun sampai 60 derajat di bawah nol. Lalu, akankah wabah kematian itu dibiarkan begitu saja merenggut satu persatu bocah-bocah polos tanpa dosa di sebuah rumah sakit sederhana berpenerangan pelita?
Leonhard Seppala, seorang musher—penjelajah es dengan kereta anjing, yang malam itu kedatangan walikota yang datang meminta pertolongan kepadanya, berkata tidak. “Anak-anak itu kita kenal. Kita pun tahu ayah-ibu mereka,” katanya, manakala sang istri Constance yang sangat dicintainya, memintanya mempertimbangkan ulang keputusan yang ia buat. Seppala menyanggupi sebuah tugas yang nyaris musykil: menembus badai salju Alaska, melintas musim dingin terparah selama puluhan tahun untuk menaklukan jarak 1.085 kilometer dalam enam hari! Seppala menyanggupi karena membayangkan maut yang akan mendatangi bocah-bocah Nome yang terinfeksi difteri. Constance, sang istri, juga membayangkan maut yang sama, namun Elmaut itu justru mendatangi sang suami dalam perjalanan gilanya itu.
Inilah drama dalam film yang diangkat dari kisah nyata tersebut. Kisah yang terlupakan kesalahan, yang bahkan sempat menciptakan ketidakadilan selama berpuluh-puluh tahun. Di Central Park, New York, berdiri patung seekor Siberian Husky penarik kereta salju. Namanya Balto. Dialah yang sebelumnya dianggap sebagai pahlawan dari kisah heroic kota Nome. ‘Togo’—antara lain yang hendak meluruskan anakronisme sejarah tersebut. [Penonton generasi yang lebih tua akan lebih akrab dengan ‘Balto’ yang telah dibuat film animasi layar lebarnya sejak 1995, mencapai sekuel sampai 3.] Tentu, ‘Togo’ mengisahkan pula jalinan persahabatan dan cinta di antara sebuah keluarga dengan anjing-anjing yang telah menjadi bagian hidup mereka.
Memang, Seppala tak hanya tangguh. Ia juga keras kepala. Pada 1910 atau 15 tahun sebelum bencana itu datang, pria asal Norwegia itu menjuarai lomba kereta luncur es lintas Alaska, All Alaska Sweepstakes, dengan tim anjing yang sebelumnya tak lazim digunakan di balapan tersebut, Siberian Husky. Secara tradisional, orang-orang Alaska telah ribuan tahun melintas es dengan kereta anjing. Namun yang mereka gunakan adalah anjing jenis Malamut Alaska yang tinggi besar. Husky—yang lebih kecil, ramping, namun kuat dan cepat, baru datang ke Alaska manakala demam emas (Yukon Gold Rush) terjadi di awal abad 20, dibawa oleh penjelajah es dan pedagang bulu binatang, William Goosak. Prestasinya bersama anjing-anjing dalam timnya itu yang membuat otoritas di Nome mempercayakan amanah besar tersebut.
Baca juga : https://jernih.co/potpourri/the-call-of-the-wild-perjalanan-panjang-menemukan-diri/.
Pada realitasnya, beruntung Seppala tak harus menempuh jarak segila itu. Kedua pemerintah kota, Nome dan Nenana, yang terus berhubungan lewat kawat sepakat membuat 19 tim kereta anjing lain. Mereka berestafet, sambung menyambung mengirumkan serum dari satu ke kota lain, untuk diberikan kepada Seppala pada saatnya. Sayangnya, Seppala telah berangkat sebelum kesepakatan antara dua kota itu terjadi.
Beruntung, di perjalanan Seppala bertemu tim terakhir yang bertugas mengantarkan serum itu kepadanya. Persoalannya, untuk menyingkat perjalanan agar serum yang hanya aktif selama enam hari itu tepat waktu, ia kembali harus melintas Norton Sound, wilayah teluk beku yang tak stabil karena arus di bawah lapisan es yang sangat kuat. Belum lagi badai salju besar yang harus kembali ia terjang kemungkinan membuat matanya buta.
Cara sutradara Ericson Core menggambarkan bagaimana Seppala dan Togo melintas Teluk Norton Sound, patut mendapatkan pujian. Mereka terus meluncur cepat , meliuk-liuk di antara lapisan es pecah yang berderak-derak, memungkinkan siapa yang tak awas terperosok lubang yang tiba-tiba menganga, langsung ditelan air di bawah laut yang beku. Seppala dan anjing-anjingnya berhasil melalui kawasan berbahaya. Namun pada sekitar 146 km sebelum mencapai Nome, mereka ambruk. Kaki Togo terluka parah akibat perjalanan sangat jauh itu.
Saat itulah satu dari 19 tim estafet, Gunnar Kaasen dengan tim anjing yang dipimpin Balto, mengambil alih tugas, membawa serum yang akan menyelamatkan 10.000 warga Nome. Di sinilah pada saat itu orang-orang silap, mereka memuja Kaasen, bahkan membangun patung anjing Balto di Central Park, New York, untuk mengabadikan aksi heroic peristiwa yang disebut Nome Serum Run tersebut.
Padahal, sementara semua tim anjing lain rata-rata menempuh jarak 30 mil—Kaasen dan Balto menempuh 55 mil terakhir, Seppala dan Togo menempuh 300 mil perjalanan mereka sendiri. Wajar bila pada 2011 lalu Majalah Time menjuluki Togo sebagai ‘Most Heroic Animal in All Time’.
Usai aksi heroiknya itu, pada Oktober 1926, Seppala, Togo dan tim anjingnya, menjalani tur ke Seattle, Washington dan California. Orang-orang menyemut untuk melihat mereka yang telah bertaruh nyawa tersebut. Di New York City, konon Roald Amundsen, penjelajah pertama Kutub Selatan, sempat menyematkan medali emas untuk Togo.
Yang menarik, ‘Togo’ tak hanya mengungkap sisi kepahlawanan Seppala, Togo dan kawanan anjing penarik kereta salju semata. ‘Togo’ juga bercerita tentang kekerasan hati ‘orang Norwegia’—Seppala yang diperankan Willem Dafoe. “Mereka bukan binatang rumahan, mereka bukan teman kita. Bukan pula anak-anak kita. Anjing-anjing itu hanya binatang, binatang yang bekerja buat kita,” kata Seppala kepada Constance yang diperankan Julianne Nicholson, di saat sang musher masih memandang anjing Husky-nya itu tak lebih seekor anjing pengganggu yang cacat.
Entah mengapa, Seppala kemudian menjual seluruh timnya itu kepada seseorang di New England. Pada 1928, pengarang Elizabeth M. Ricker menerbitkan ‘Togo Fireside Reflections’, sebuah buku yang kini sangat langka. Buku itu kini menjadi impian setiap musher untuk memiliki salinan yang ditandatangani Seppala, terlebih ‘ditandatangani’ baik oleh Seppala dan Togo, yang saat ini dianggap laiknya Cawan Suci Yesus (Holy Grail) dunia perkeretaanjingan.
Ada adegan berkesan manakala film nyaris berakhir. Setelah sekian tahun kebersamaan, setelah Togo pun menjadi ayah sekian banyak anak yang segera menjelma ksatria Seppala Husky yang gagah, varietas baru anjing hasil anakan Seppala. Manakala Seppala bertugas menjelajah Alaska, batinnya seolah tersambung jauh ke New England. Ia menghentikan lari anjing-anjing mitranya bekerja. Di sebuah puncak bukit tersaput salju tebal di pinggir track yang ia lalui, ia melihat Togo memandangnya sayu, seolah pamit.
“Dia meninggalkan kami pada Kamis, bulan Desember,” kata Seppala dalam narasi film tersebut. Memang pada hari itu, 5 Desember 1929, Togo yang terakhir tinggal di Poland Spring, Maine, di-eutanasia karena sakit berkepanjangan dan umur tua. Wikipedia menulis, umur rata-rata anjing berada pada kisaran 10-13 tahun. Wajar, Togo yang telah menjalani hidup melelahkan sebagai penarik kereta salju, mati pada umur 16 tahun. The New York Sun Times, menjadikan kematian anjing itu headline pada hari berikutnya, ‘Anjing Pahlawan Menderap ke Kematiannya’. [dsy]