Bisnis F&B Paling Terdampak Corona, Pendapatan Ritel Terjun
Jakarta – Perilaku manusia di seluruh penjuru dunia berubah akibat penyebaran virus Covid-191, termasuk kegiatan jual-beli yang berdampak pada sektor perekonomian di seluruh negara. Banyak industri yang terkena imbasnya, termasuk industri makanan dan minuman (F&B), jasa, dan ritel.
Berdasarkan data internal Moka, startup penyedia layanan kasir digital untuk lebih dari 30.000 merchant di Indonesia, total penjualan masker wajah di bulan Januari meningkat dua kali lipat dikarenakan penyebaran Covid-19 ini. Tidak heran, karena masker wajah dinilai dapat mencegah droplets yang merupakan alat transmisi dari virus itu sendiri agar tidak masuk ke hidung dan mulut.
“Tetapi di bulan Februari, banyak instansi, salah satunya adalah WHO mengeluarkan pernyataan bahwa akan lebih efektif jika penggunaan masker wajah dikombinasikan dengan mencuci tangan secara reguler dengan air, sabun, dan cairan yang mengandung alkohol, termasuk hand sanitizer. Hal ini menyebabkan hand sanitizer banyak dicari orang dan penjualannya meningkat sebesar 209% di bulan Februari,” ungkap Public Relations Manager Moka Riris Amaliyah dalam keterangan tertulis Jumat (27/03/2020).
Selain melonjaknya penjualan masker dan hand sanitizer, dampak lain yang paling terasa adalah penurunan pendapatan harian pada industri F&B, jasa, dan ritel. Untuk mengetahui dampak nyatanya, Moka melakukan observasi di 17 kota di Indonesia, terkonsentrasi di Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Batam, dan Bali, Moka merangkumnya menjadi beberapa insights berikut ini:
Berdasarkan data internal Moka, untuk industri F&B, dari 17 kota yang diobservasi, sebanyak 13 kota mengalami penurunan pendapatan harian yang signifikan. Dengan total 13 kota terdampak dari 17 kota yang diobservasi, industri F&B merupakan industri yang paling terdampak akibat dari penyebaran Covid-19.
Bali dan Surabaya merupakan dua kota yang mengalami penurunan pendapatan harian yang paling signifikan dibandingkan dengan kota lain dengan masing-masing mengalami penurunan sebesar 18% untuk Bali dan 26% untuk Surabaya. Daerah Jabodetabek juga mengalami penurunan pendapatan harian yang cukup signifikan, namun tidak setajam Bali dan Surabaya. Wilayah yang terkena dampak di daerah Jabodetabek yang paling signifikan terjadi di Depok, Tangerang, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
“Anjuran dari pemerintah untuk tidak keluar dari rumah guna memperlambat laju penyebaran Covid-19, membuat masyarakat tinggal lebih banyak di rumah, dan juga memberi dampak pada industri F&B. Perubahan perilaku ini menyebabkan peningkatan pembelian makanan yang dibawa pulang (take-away food) meningkat sebesar 7% di bulan Januari hingga Februari 2020,” ungkapnya.
Pada industri jasa, 10 dari 17 kota di Indonesia menunjukkan penurunan pendapatan harian yang signifikan. Lima kota dengan penurunan pendapatan harian paling signifikan adalah Depok, Bekasi, Jakarta Timur, Batam, dan Bandung.
Masuk ke dalam industri ritel, dari 17 kota yang diobservasi, tujuh kota menunjukkan penurunan pendapatan harian yang signifikan. Moka menarik lima kota dengan penurunan pendapatan harian terbesar, yaitu Jakarta Barat, Tangerang Selatan, Depok, Jakarta Pusat, dan Bandung.
Walau hanya tujuh kota yang terdampak dari 17 kota, persentase penurunan pendapatan harian pada industri ritel merupakan yang paling signifikan dibanding industri lain. Penurunan pendapatan harian terbesar terjadi di Jakarta Barat dengan penurunan pendapatan hingga 32% per outlet.
“Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa industri F&B merupakan industri yang paling terdampak COVID-19, melihat dampaknya yang tersebar paling banyak. Namun, apabila melihat persentase penurunan pendapatan harian terbesar, industri ritel mengalami penurunan yang terbesar, yakni menurun sebesar 32%,” katanya.
Direktur Utama SMESCO, Kementerian Koperasi dan UKM Indonesia Leonard Theosabrata, dalam sebuah kesempatan memberikan langkah-langkah mengantisipasi fenomena yang berdampak pada performa bisnis UKM. Satu hal yang menjadi pesan utama adalah dalam survival mode ini adalah untuk memprioritaskan berjalannya cash flow bisnis dengan baik, dibandingkan dengan memikirkan profit.
“Pelaku usaha harus dapat bertahan selama tiga sampai enam bulan kedepan. Perlu adanya perubahan proses bisnis sementara agar cash flow bisnis tetap positif,” jelas Leonard. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengulas kembali bisnis, kenali customer base dan kebutuhannya, permudah proses bisnis, klasifikasikan produk yang mudah dijual, digitalisasi produk usaha ke dalam katalog yang mudah dibagikan, perdalam stok barang, dan beri insentif kepada karyawan yang mampu memberikan performa baik dalam keadaan sulit seperti saat ini.
Moka pun menyarankan pemilik bisnis, beberapa langkah praktikal untuk menjaga cash flow bisnis tetap positif. Berfokus pada promosi untuk take-away delivery, karena permintaannya yang meningkat. “Gunakan database pelanggan untuk selalu mengkomunikasikan promosi yang ada melalui e-mail, SMS, ataupun WhatsApp. Untuk kunjungan fisik, budayakan melakukan transaksi non-tunai dengan menggunakan debit atau digital payment,” katanya.
Di tengah keadaan seperti ini, penting untuk meningkatkan kepercayaan konsumen dengan memposisikan diri sebagai bisnis yang memperhatikan konsumen dan seluruh stakeholder bisnis terkait higienitas. Lindungi para karyawan dan konsumen dengan penggunaan masker, hand sanitizer, dan pentingnya untuk terus mengkomunikasikan kebersihan di lingkungan sekitar. [*]