POTPOURRIVeritas

Malik: Seorang Pemuda Mencari HAMKA

Sepanjang jalan, terpengaruh oleh roman-roman picisan yang banyak dibacanya, Malik membayang-bayang adegan perpisahannya dengan gadis itu. Malik akan berkeras merantau, betapa pun gadis itu berusaha menahannya. “Aku lelaki sejati,” Malik membatin,”tak akan langkahku tertahan oleh tangis para perempuan.”

Episode 15

Petang harinya usai maghrib, saat pulang Malik dan Haji Rasul dikawal dua bendi, selain satu bendi yang dinaiki kedua ayah dan anak itu. Warga bilang, mereka tak lagi ingin ada sesuatu yang menimpa Haji Malik dan anaknya itu di jalan. Bendi-bendi itu malah menolak menurunkan Haji Rasul di tengah jalan, terus jalan mengantarkan mereka berdua sampai halaman rumah mereka di Padang Panjang.

**

Pada Maret 1926 bersama HOS Cokroaminoto dari Sarekat Islam, KH Mas Masyur dari Muhammadiyah, HM Sujak dari organisasi Haji Organisasi Hindia, serta rekannya dari Sumatra Barat Syeikh Abdullah Ahmad, Haji Rasul berangkat ke Mesir, menghadiri Kongres Khilafah yang dimotori ulama-ulama Al-Azhar.

Sementara Ibnu Saud yang saat itu menguasai Arab Saudi, juga menggelar Kongres Islam Internasional di Mekkah, pada saat bersamaan. Sengaja, karena Ibnu Saud tak ingin membicarakan soal khilafah, tak juga ingin menjadi khalifah di dunia Islam yang baru setelah jatuhnya Khilafah Utsmani di Turki. Rombongan itu kemudian memecah dua. Haji Rasul dan Syeikh Abdullah Ahmad yang dibiayai rakyat Sumatra Barat untuk berangkat ke Mesir, tetap dengan tujuan semula. Sementara yang lain berangkat ke Mekkah.

Ternyata, usai Kongres Khilafah, para ulama Al-Azhar sepakat untuk memberikan kedua ulama Sumatra Barat itu gelar kehormatan, doctor honoris causa. Rupanya perjuangan keduanya telah diteliti sebuah dewan yang diketuai Said Abdul Aziz Salaby dari Tunisia, dengan anggota Syekh Chalil al Chalidi (mantan mufti Palestina) serta Athaillah Effendi dari Irak.

Akhir Juni 1926 keduanya mendarat di Pelabuhan Belawan. Mereka mendapati kabar bahwa sehari sebelumnya, 28 Juni, Padang Panjang diluluhlantakkan gempa bumi berkekuatan besar. Benarlah kabar itu. Esok harinya Haji Rasul melihat rumahnya di kawasan Gatangan, luluh lantak. Begitu pula suraunya di Jembatan Besi, tempat ia menjadi imam shalat dengan makmun paling setia, Malik, anaknya sendiri. Haji Rasul sempat panik, kuatir akan keselamatan anak istrinya. Seketika ia teringat Malik.

Untunglah seorang tetangga segera memberitahu bahwa semua selamat. Mereka semua pulang ke Maninjau, karena sudah tak ada lagi tempat bernaung di sini. Hancur karena gempa.

“Baru kemarin berangkat,” kata si tetangga. “Sehari setelah gempa.” Ke sanalah Haji Rasul kemudian menuju, pas di hari kedua kepulangannya. Sementara, sambal menunggu terkumpulnya dana untuk kembali mendirikan rumah di Padang Panjang, Haji Rasul sekeluarga tinggal di Maninjau.

Musibah itu tak menghalangi orang untuk menahan diri dari berbisik-bisik, bergunjing membicarakan Malik. Saat itu, tak jelas darimana berawal, mulailah berhembus gunjingan tentang Malik, yang makin lama kian nyaring. Tak perlu waktu lama untuk sampai ke telinga Malik maupun Haji Rasul.

Bisa saja awalnya kritik itu datang dari kalangan komunis juga. Apalagi mereka pun sebelumnya banyak yang belajar di Thawalib, sehingga penguasaan bahasa Arab mereka pun tak boleh disepelekan. Gunjingan yang merendahkan Malik itu bukan tak ada benarnya:

“Malik, tokoh anak muda Muhammadiyah Padang Panjang, anak Haji Rasul, memang mahir berpidato. Bicaranya lantang, berapi-api dan penuh semangat. Kalimat-kalimatnya tak jarang indah, pintar memadukannya dengan pantun dan petitih.”

“Tetapi manakala mengutip  ayat Alquran atau kalimat berbahasa Arab, terlihatlah betapa ia payah. Nahwu sharafnya kacau. Yang seharusnya baris di depan ia baca di atas, yang fa’il terbaca mansub, yang maf’ul terbaca mar’fu.”

Celakanya, waktu Malik mengadukan hal itu kepada ayahnya, Haji Rasul menimpalinya lugas. Mungkin saja sedang banyak persoalan. Ia hanya bilang dengan kalimat pendek bahwa memang begitulah Malik!

Malik pun tersinggung. Tadinya ia berharap ayahnya akan bicara sesuatu yang sedikit melegakan hatinya. Bukan malah membuatnya terjerembap putus asa.

Di pekan yang sama, Malik ikut ayahnya berceramah ke luar kota. Usai ayahnya, giliran Malik berpidato, lebih ditujukan kepada anak-anak muda kota itu. Ada kelemahan Malik yang tak disadarinya. Ia terlalu mudah jatuh cinta. Hampir di setiap tempat ia pidato, di situ pula ia menemukan dirinya menyukai salah seorang gadis yang hadir di situ. Ia terlalu lemah dan sering salah menafsirkan perhatian gadis-gadis yang datang kepadanya, meminta tanda tangannya atau mengajaknya bicara soal pidato dan tulis menulis, setiap kali selesai bicara di podium di tempat itu. Sementara gadis-gadis itu mengagumi isi kepala dan kemahirannya berkata-kata, ia tafsirkan datangnya mereka menghampiri sebagai tanda jatuhnya hati!

Lama-lama secara tak sadar Malik justru seolah membuat pidato-pidatonya dengan tujuan itu: menarik perhatian para gadis untuk menyukainya. Paling tidak, menyukai pidatonya.

Apalagi bacaannya selama ini memang banyak yang berhubungan dengan hal-hal romantis seperti itu. Entah berapa judul buku yang bicara percintaan, romantisme, sudah Malik lalap!

Haji Rasul tentu melihat itu dengan jelas. Melihat betapa polosnya anaknya itu mengira anak-anak dara itu datang kepadanya karena jatuh cinta. Betapa mudahnya anak laki-laki sulungnya itu jatuh cinta, untuk berganti lagi kepada anak dara yang lain di lain tempat.

“Malik,” katanya suatu hati saat keduanya istirahat di rumah. “Pidatomu makin lama makin menarik. Kata-kata dan kalimatmu terjalin indah. Makin banyak orang datang untuk melihat kau bicara.”

“Hanya, terlampau banyak menyuguhkan bunga-bunga kata, pantun, petitih, sekadar untuk menarik minat pendengar, apalagi pendengar perempuan, ya percuma saja. Maksud ceramah, khutbah apalagi, tentu bukan untuk semua itu. Ayah ingin kau penuhi dulu dadamu dengan ilmu, jangan terlampau banyak lezing-lezing. Baru pidatomu itu ada artinya.”

“Jangan terlalu banyak memenuhi pidato dengan syair, cerita pantun, Malik. Kalau Waang kebanyakan bumbu pantun, tanpa mengutip ayat-ayat Allah, Kau akan jadi tukang kaba alih-alih juru dakwah dan ulama, Bujang!”

Malik salah terima. Sore itu, setelah cukup lama mereka berdua menjalani hidup dengan harmonis, kembali panas. Malik merasa tak dihargai, disepelekan, bahkan oleh ayahnya sendiri. Ia merasa hanya andungnya seorang, setelah kakeknya meninggal yang tahu keinginannya. Tidak ibu, tidak punya ayahnya sendiri! Kalau pun ada yang lain, ya hanya buku-buku, sahabat terbaik yang hanya peduli memberi, tanpa sekali pun mengkritik, apalagi mengejeknya.

Puncaknya kemudian berkaitan dengan pekerjaan. Sekolah Muhammadiyah yang didirikan di kampungnya kekurangan guru. Beberapa pemuda lulusan Sumatra Thawalib di Padang Panjang telah memasukkan lamaran. Malik pun memasukkan lamaran. Ia tertarik dengan bayaran yang cukup lumayan, 17,5 Gulden sebulan.

Tetapi jangankan dibaca, lamarannya langsung ditolak! Menurut mereka Malik tak lulus kelas VII, tak punya diploma, jadi tak memenuhi syarat.

Malik murka. Ia merasa pengabdiannya untuk Muhammadiyah selama ini tak dipandang sebelah mata pun. Siapa yang membangun ‘Tabligh Muhammadiyah’ itu kalau tidak dirinya?

Siapa yang mengampu berkelas-kelas kursus pidato, kursus mengarang, kalau bukan dia sendiri? Siapa yang mendampingi ayahnya, pimpinan Muhammadiyah Padang Panjang setiap kali berceramah, dan siapa pula selain ayahnya yang ditunggu-tunggu pendengar untuk berpidato? Dia. Dia yang kini ditolak mentah-mentah untuk menjadi guru hanya karena tak punya diploma! Yang membuat Malik merasa sakit, ayahnya dirasanya tak cukup membela dirinya untuk urusan yang menurutnya begitu sepele itu. Diploma, ya Allah, hanya karena diploma! Sementara semua tahu, ia mampu.

Sore itu juga Malik menjumpai ayahnya. Ia bicara ingin merantau, jauh dari kampung. “Kemana? Apa tujuanmu, belajar?”

“Belum tahu, yang penting jauh dulu. Biar Ambo cepat dewasa,” jawab Malik pendek, penuh sindiran.

“Ya jalanlah. Kau kan sudah cukup dewasa juga. Hati-hati saja. Ayah sedang tak bisa menolongmu untuk dana. Kau tahu, gempa bumi kemarin dulu menghancurkan rumah kita.  Surau dan sekolah juga harus mendapatkan perbaikan…”

“Tak perlu, Ayah,” Malik segera menyergah sebelum kalimat ayahnya selesai. “Malik hanya perlu doa. Lainnya Ambo usahakan sendiri.”

Tetapi janji untuk ‘mengusahakan sendiri’ itu tak sepenuhnya ia tepati. Esoknya Malik sudah berada di Maninjau, menjatuhkan diri di pangkuan Andung. Kepada andungnya itu Malik menceritakan semuanya. Tak banyak yang bisa direspons Andung, kecuali memintanya bersabar.

“Ambo minta izin merantau, Andung.”

“Kemana kau nanti pergi, Malik?”

“Belum tahu, hanya lebih jauh lagi. Lebih jauh daripada hanya ke Jawa.”

“Wah, kemana itu? Buat apa juga ke tempat jauh yang belum jelas itu, Malik. Kau sudah pikirkan mau apa di sana? Jangan hanya marah karena merasa diperlakukan tak adil, Kau justru lebih membenamkan nasibmu kepada ketidakpastian.” Andung menasihatinya.

“Ambo ingin belajar dewasa, jauh dari orang tua.”

“Kau kan pernah jauh dari orang tua. Merantau tak jelas kemana, lalu balik. Dan tak kemana-mana pun kau kan lebih sering jauh dari orang tua, Malik. Orang tuamu menjauhkan diri darimu,” Andung mencoba berkelakar. Malik tersenyum pahit.

“Cucu sudah minta izin kepada ayah, dan beliau memberikan restu. Cucu tak bisa menjilatnya kembali dengan tetap diam di rumah, tak pergi.”

Andung terdiam. Ia menghela nafas panjang, menatap cucu yang sangat disayanginya, cucu kesayangan almarhum suaminya pula.

“Ya sudah. Andung mau ke rumah si Burhan. Memintanya memanjatkan beruknya, memanen kapuk kapas yang sudah bisa dipetik. Mungkin tak banyak, hanya Andung harus memberimu bekal merantau,” kata Andung.

Beruk si Burhan itulah penyelamat Malik. Dengan beruk itu dipetiklah berkarung-karung kapuk, yang setelah dijual dan membayar upah si Burhan, tersisa 2,5 gulden. 

“Buat kau yang dua gulden, Malik,” kata Andung. “Gunakan dengan bijak. Yang setengah gulden biar untuk keperluan dapur di sini.” Malik tak berkata. Diraihnya tubuh Andung, dipeluknya erat. Mata Malik basah. Hanya Andung yang ia kuatirkan, dan tetap harus ia tinggalkan demi tujuannya merantau. Kemana? Malik sendiri belum punya tujuan pasti.

Yang jelas, ia harus pergi dari kalangan yang sama sekali tak menghargai dirinya ini. Pagi-pagi sekali, segera selesai shalat, Malik berangkat. Ia tak menunggu tukang kuda beban yang sering mangkal menunggu penumpang di pertigaan datang. Didakinya Kelok 44 dengan penuh semangat, meski masih tak tahu apa yang akan ia perbuat dengan uang yang ada di kantongnya. Hanya sekitar belasan gulden, itu pun dengan tambahan dua gulden yang diterimanya dari Andung kemarin.

Tiba-tiba sebuah pikiran tersirat di benaknya. Usai mendaki Kelok 44 dilihatnya sebuah bendi di pinggir jalan, menunggu penumpang berangkat ke Bukittinggi. Malik pun naik, menunggu beberapa lama sebelum bendi itu penuh dan kusir mulai menyentak tali kekang, meminta kudanya laju.

Di Bukittinggi Malik hanya menyempatkan diri sarapan, meski itu telah menjelang tengah hari. Dalam benak Malik, sarapan adalah hal yang pribadi dan ditandai secara pribadi pula.

Pukul berapa pun ia makan pertama kali hari itu, itulah sarapan. Tak ada istilah seseorang langsung makan siang baginya. Saat nasi atau makanan pertama apapun yang masuk perutnya hari itu, itulah sarapan.

Tujuan Malik ke Padang Panjang. Merantau ke Padang Panjang? Tentu tidak. Ia hanya singgah untuk pamit kepada salah satu gadis pujaannya. Gadis yang selalu hadir di setiap ceramah ayahnya, yang tak pernah tidak bertepuk tangan manakala ia selesai berpidato.

Gadis manis dengan pipi merona merah jambu. Sepanjang jalan, terpengaruh oleh roman-roman picisan yang banyak dibacanya, Malik membayang-bayang adegan perpisahannya dengan gadis itu. Malik akan berkeras merantau, betapa pun gadis itu berusaha menahannya. “Aku lelaki sejati,” Malik membatin,”tak akan langkahku tertahan oleh tangis para perempuan.”

Ladalah, kenyataannya tak pernah ada setitik pun air mata gadis yang didatanginya itu jatuh. Ia malah seperti terheran-heran manakala Malik pamitan. Tak ada kata-kata rayuan untuk menahannya dari tekad keras laki-laki jantan yang menggedor-gedor dada Malik buat merantau. Hanya satu kalimat pendek yang sedikit menenangkan Malik keluar dari bibirnya yang merah dadu. Itu pun kalimat klise yang nyaris dikatakan semua orang kepada orang yang akan pergi,”Hati-hati di jalan, ya…” Lalu sampai akhirnya ia pamitan, gadis itu tak pernah berkata-kata lagi.

Langkah Malik lunglai saat keluar dari pekarangan rumah gadis itu. Ia marah, tapi masih bingung. Sangat bingung. Marah, kecewa, sebal, sedih yang ganjil, dirasakannya bertumpuk, beraduk-aduk. Akhirnya ia merasa tak ada lagi yang harus menahan langkahnya. Di Maninjau, juga di sini di Padang Panjang. Dengan lebih mantap dilangkahkannya kakinya memasuki otobus menuju Padang. Ia kini bukan lagi pimpinan redaksi majalah ‘Tabligh Muhammadiyah’ yang mulai menarik sekian banyak pembaca itu.

Ia bukan lagi Malik si jago pidato yang payah dalam bahasa Arab. Sebagai orang yang sangat aktif di Muhammadiyah pun dirinya tak direken saat melamar jadi guru. Ia kini sepenuhnya Malik, melepaskan diri dari segala embel-embel, terutama nama besar ayahnya yang terbukti tak laku hanya untuk jadi guru. Di organisasi yang didirikan ayahnya itu pulak!

Peduli setan dengan serangan-serangan kaum komunis, anak buah Datuk Batuah terhadap para ulama, terutama ayahnya. Biar mereka hadapi sendiri. Apalah dirinya, calon gagal guru madrasah Muhammadiyah!

Dari Padang, Malik membeli karcis, menumpang kapal yang berlayar ke Sibolga. Di kapal Malik lebih banyak berada di atas dek, yang memungkinkan matanya menatap jauh ke cakrawala tak berujung. Melamunkan sebagian kisah hidup yang sudah dijalaninya. Banyak yang ia ingat, tetapi yang paling membuatnya rindu adalah saat-saat bersama angkunya yang telah tiada. Waktu-waktu yang menurutnya sangat berharga. Saat pertama kali dalam hidup Malik dikenalkan kepada randai, basilek, pantun dan petitih. Dan walau ayahnya tetap tak menyetujuinya mempelajari semua itu, sampai kini Malik tak pernah merasa rugi telah mengalami, mempelajari dan merasakan sendiri nikmatnya mengalami hal-hal itu.

Tiba-tiba diingatnya beberapa pantun yang pernah ia hafal dan pelajari. Pantun yang sering ia nyanyikan saat tengah menyendiri di tepian Maninjau.

Keratau madang di hulu

Berbuah berbunga belum

Merantau bujang dahulu

Di rumah berguna belum

Ke pekan sekali ini. Entah membeli entah tidak

Entah membeli limau kapas. Berjalan sekali ini

Entah kembali entah tidak. Entah menghadang lautan lepas…

Tiba-tiba Malik tersadar ada yang mengalir hangat dari kedua sudut matanya. Ia menangis. Saat turun dari kapal, tersirat di kepalanya untuk singgah sejenak di rumah ibunya di Deli.

Barangkali saja ibunya berkenan member tambahan uang untuk ongkos. Namun niat itu segera ditepisnya jauh-jauh. Ia ingat betapa perhitungan ayah tirinya yang berwatak saudagar sejati itu. Kikir minta ampun. Kalau ada pandangan sinis tentang watak kikir orang-orang sesukunya di mata suku-suku lain, barangkali itu datangnya dari orang-orang seperti ayah tirinya itu.

Malik bahkan kemudian sudah berada di atas mobil, hasil tumpangan dari seseorang yang hendak berangkat ke Siantar. Di buku kecil Malik tertulis banyak nama di berbagai kota. Salah satu nama adalah Isa, kawannya basilek di Maninjau dulu. Mereka pernah saling berkirim surat, dan Isa mengundangnya berkunjung.

Sepanjang jalan menuju Siantar itu Malik berdoa agar alamat temannya itu bisa ia temukan. Yang juga pasti ia panjatkan, agar temannya itu masih berada di Siantar, belum pergi merantau lebih jauh lagi.

Sore itu Malik sudah berada di deretan toko-toko. Isa bekerja di salah satu toko itu. Ia barusan memilih berjalan kaki dari tempat dirinya diturunkan, beberapa blok dari sini. Hari menjelang maghrib, took-toko pun beberapa sudah siap tutup. Dada Malik berdebar.

Seandainya Isa mala mini tak ia temukan….seandainya kejadian seperti di Bengkulu terulang lagi…Malik sudah merasa lelah, tapi dicobanya bernafas panjang-panjang,  berharap oksigen yang dihirupnya bisa menjauhkannya dari segala penyakit. Ia harus sehat, harus!

Langkah Malik terhenti di muka sebuah toko. Seseorang yang tengah membereskan barang, bersiap menutup toko mengingatkannya pada Isa.

“Maafkan saya, apakah Bung bernama Isa, dari Maninjau?” tanya Malik, penuh keraguan. Lelaki muda yang tengah beres-beres itu berhenti sebentar. Dengan mata menyelidik ditatapnya Malik.

“Bung siapa?” tanyanya.

“Saya Malik dari Maninjau. Anak Haji Rasul…” Ah, baru saja di Padang Panjang ia berniat tak lagi membawa-bawa nama ayahnya, kini di Siantar saja janji itu batal sudah.

“Oiii, Malik! Aku ini, Isa,” katanya penuh kegembiraan. Dibentangkannya kedua tangannya lebar-lebar, bersiap menerima pelukan Malik. Keduanya segera berpelukan, menuntaskan kerinduan sekian lama tak jumpa.

“Aku pangling, Malik, sungguh,” kata Isa. “Aku memang melihat garis-garis Haji Rasul di wajahmu, tapi…kau banyak berubah.”

“Karena cacar,” kata Malik, tahu diri. Isa segera tersadar dan minta maaf. “Bukan itu maksudku. Kau sudah jauh lebih dewasa dilihat dari garis-garis wajahmu,” kata dia. Malik tersenyum.

“Kau pasti belum makan. Aku tahu bagaimana awal-awal seseorang merantau. Boleh kubelikan nasi dendeng kesukaanmu?”

“Jangan merepotkan Isa. Aku baru saja makan…”

“Alah!” Isa segera menyergah. “Jangan berbohong Malik. Kau pemula yang buruk untuk urusan itu. Sebentar kupanggil anak yang suka bantu-bantu di sini, ya,” kata Isa. Ia berteriak memanggil sebuah nama. Seorang anak dua belasan tahun datang menghampiri.

Isa segera memintanya membeli nasi ke warung makan. Ia sendiri segera masuk ke dalam toko, menyeduhkan Malik segelas kopi.

“Minumlah, kopi Sidikalang. Kopi terbaik yang pernah kau minum.”

Malik tersenyum. Disesapnya kopi dari mulut cangkir. Benar kata Isa, kopi itu kopi terbaik yang pernah ia minum.

Cukup lama Malik menumpang bersama Isa. Kepada temannya itu ia katakan niat untuk berhaji. Isa tentu terkejut, apalagi saat tahu bahwa niat berhaji itu baru tersirat di kepala malik tak lebih dari satu jam sebelumnya.

“Gila, Kau!” katanya, dengan gaya orang Tapanuli, bukan lagi orang Minang. Malik sampai tertawa mendengarnya. Merantau juga mau tak mau berarti kesediaan untuk mengikuti sedikit banyak adat istiadat setempat. Tak bijak seorang perantau terlalu mempertahankan keaslian diri dan asalnya, padahal ia tengah berada di tempat yang bukan tanah tempat lahirnya sendiri. Benar kata pepatah Minang, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Isa pula yang mencarikan Malik pekerjaan. Bukan pekerjaan yang banyak memerlukan intelektualitas dirinya, tapi tak apalah. Pada situasi seperti yang dihadapinya kini, hanya pemalas yang memilih-milih pekerjaan. Ditabungnya sebagian pendapatannya. Malik benar-benar hidup berhemat.

Malik dikenalkan Isa kepada beberapa tokoh Minang yang berada di Siantar. Saat mereka tahu siapa dirinya dan tujuannya, Malik tak kuasa menolak saat orang-orang itu tergerak membantunya. Malik pun bisa mengumpulkan tiket kapal sekali jalan dari Belawan ke Arab Saudi. Masih ada sedikit uang untuk beberapa hari hidup di perjalanan dan sesampainya di Saudi. Setidaknya menurut perhitungan orang-orang yang pernah mendengar biaya di Arab Saudi dari teman-teman mereka yang pernah pergi berhaji.

Setelah membeli tiket itulah Malik tepekur di kamar yang ditempatinya di rumah Isa. Saat itulah ia ingin mengabarkan kepada ayahnya di kampung apa yang menjadi tujuannya merantau. Dikirimkannya telegram, kawat menurut bahasa di kampungnya, kepada ayahnya itu dengan perantaraan orang lain. Ia sendiri segera mengepak baju, siap berangkat.

Pada awal Februari 1927, Malik berdiri di geladak kapal yang meninggalkan Pelabuhan Belawan. Menumpang kapal ‘Karimata’ milik Stommvaart Maatschappij Nederland dengan tiket sekali jalan yang dibelinya, Malik menuju laut lepas, mengarah ke Ceylon (Srilanka).

Pada tanggal 16 Februari, saat kapal itu menjelang Laut Sekutara, di atas kapal itu Malik genap berusia 19 tahun. [bersambung]

Back to top button