No Home, No Wifi: Saat Pandemi Membangkrutkan Mahasiswa Miskin AS
Beberapa telah putus sekolah, banyak yang di ambang kelaparan. Ada juga yang menjadi satpam buat jaga anjing teman kuliah dengan imbalan seminggu ikut tinggal sekamar
JERNIH—Untuk dapat mengikuti kelas online melalui layar kecil di ponsel pintarnya, Michelle Macario harus berjuang mati-matian. Mahasiswa itu tak punya laptop, dan tidak ada Wi-Fi di rumahnya. Semua kian runyam manakala perpustakaan tempat dia biasanya belajar di community college di Los Angeles, ditutup. Jadi, dua minggu setelah lockdown akibat virus Corona di musim semi lalu, dia menghentikan semua kursusnya.
Pada semester ini, segalanya tidak jauh lebih baik. Macario, gadis 18 tahun, yang mengambil jurusan psikologi di Santa Monica College, meninggalkan apartemen yang padat di Los Angeles yang dia tinggali bersama keluarga imigrannya dari Guatemala, tempat ya berdesak-desak dengan saudara-saudara perempuan dan teman-temannya. Tetapi Wi-Fi di sana kacrut sekali, sehingga dia harus usaha mati-matian saat mengerjakan ujian dan pekerjaan rumah di teleponnya.
“Ya sudah mah Covid, internet kacrut, saya tak tahu bagaimana semester ini bisa dapat nilai bagus,” kata Macario.
Terjebak di antara kesulitan keuangan akibat pandemi dan kendala teknologi pembelajaran online, jutaan mahasiswa berpenghasilan rendah di seluruh Amerika menghadapi kendala yang semakin meningkat dalam pencarian mereka untuk pendidikan tinggi. Beberapa telah putus begitu saja, seperti yang dilakukan Macario sebelumnya, sementara yang lain harus berjuang keras untuk mencari tempat tinggal dan akses internet di tengah penutupan kampus dan kehilangan pekerjaan.
“Pandemi ini paling parah menghantam siswa berpenghasilan rendah, sementara mereka sudah dalam kondisi yang buruk sejak awal,” kata Sara Goldrick-Rab, direktur dan pendiri Hope Center for College, Community and Justice di Temple University, yang mempelajari tantangan ekonomi yang dihadapi mahasiswa.
Beberapa perguruan tinggi dan universitas telah meningkatkan bantuan keuangan kepada siswa yang membutuhkan. Tetapi itu tak menjangkau banyak mahasiswa yang menghadapi tantangan keuangan mereka sendiri, di saat pemerintah pun tidak mampu menawarkan lebih. Paket stimulus federal yang disahkan Maret lalu, yang menyediakan tujuh miliar dolar AS untuk pengeluaran mahasiswa seperti makanan, perumahan dan perawatan kesehatan, sebagian besar telah habis. Sementara Partai Republik menolak keras untuk memberikan bantuan lebih lanjut sebagaimana diusulkan Partai Demokrat. Presiden Trump menarik diri dan kemudian mencoba memulai kembali negosiasi untuk bantuan tambahan, pekan lalu.
Dampaknya pada mahasiswa miskin jelas terlihat di sekitar 1.400 community college di negara itu, di mana hampir separuh mahasiswa mencari gelar. Data National Student Clearinghouse Research Center di Herndon, Virginia, pendaftaran menurun delapan persen pada musim gugur ini, dibandingkan dengan penurunan 2,5 persen dalam pendaftaran sarjana secara keseluruhan.
“Penurunan tersebut berjumlah sekitar setengah juta lebih mahasiswa community college,”kata Martha Parham, juru bicara American Association of Community Colleges, sebuah kelompok advokasi di Washington. Tidak seperti pada resesi ekonomi sebelumnya, ketika perguruan tinggi mengalami lonjakan pendaftaran, pandemi memiliki efek sebaliknya.
“Kebanyakan mahasiswa perguruan tinggi bekerja,”kata Parham, dan banyak di antaranya sudah menjadi orang tua. Akses internet rumah dan computer, terkadang tidak terjangkau oleh mereka.
“Jika mereka kehilangan pekerjaan karena pandemi, sekarang mereka dihadapkan pada, “Bagaimana cara saya membayar uang sewa, bagaimana cara memberi makan anak-anak saya?””kata Parham. “Itu menjadikan sekolah bukanlah prioritas utama saat ini.”
Bagi siswa yang putus sekolah, kecil kemungkinan mereka akan kembali. Laporan yang dirilis tahun lalu menyebutkan hanya 13 persen dari para putus sekolah mendaftar kembali ke kursus. “Begitu Anda berhenti dan pergi,” kata Parham, “Akan jauh lebih sulit untuk memulai kembali.”
Siswa kulit hitam dan Latin sangat terpukul. EAB, sebuah firma penelitian pendidikan yang berbasis di Washington, menemukan bahwa siswa kulit berwarna telah mengajukan aplikasi gratis untuk bantuan siswa federal dengan harga yang jauh lebih rendah pada tahun 2020 daripada tahun-tahun sebelumnya. Peneliti perusahaan juga menemukan bahwa jauh lebih banyak siswa berpenghasilan rendah, terutama siswa kulit berwarna, berkomitmen ke perguruan tinggi tetapi tidak muncul dibandingkan dengan tahun lalu.
Salah satu siswa tersebut adalah Jared Sawyer, 23, yang berencana untuk memulai tahun terakhirnya di Morehouse College di Atlanta musim gugur ini tetapi tidak mampu membayar biaya sekolah. Putra seorang sopir truk dan seorang guru sekolah dasar, Sawyer sangat bergantung pada bantuan keuangan tahun lalu, yang sering kali tiba tepat sebelum semester dimulai. “Sekarang 10 kali lebih buruk,” katanya.
Sawyer mengatakan, permintaan bantuannya ke perguruan tinggi ditolak pada bulan Agustus hanya dengan pemberitahuan sehari sebelum batas waktu. “Mereka laiknya berkata, “Anda harus mendapatkan 10.000 pada besok sore, atau Anda tidak akan lagi terdaftar sebagai mahasiswa,” kata dia.
Morehouse College tidak memberikan tanggapan saat dimintai komentar. Tetapi pandemi memang telah membebani anggaran sudah ketat di banyak perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (Historically Black Colleges and Universities/HBCU), membuat mereka lebih sulit lagi menawarkan bantuan keuangan kepada siswa mereka. Hampir tiga dari lima peserta di HBCU adalah siswa berpenghasilan rendah, generasi pertama, dan lebih dari 70 persen siswa mereka memiliki sumber daya keuangan yang terbatas.
Sawyer, yang ingin menjadi pendeta, menggunakan waktu cuti untuk bekerja di organisasi hak-hak sipil dan mengumpulkan dana sehingga dia dapat mendaftar kembali di musim semi dan mendapatkan gelar doktor di bidang teologi. “Ini jelas merupakan penundaan, tapi terkadang batu sandungan memang datang,”katanya.
Banyak mahasiswa seperti Sawyer mencari cara alternatif untuk membiayai pendidikan mereka. Ketika virus corona menutup kampus musim semi lalu, RISE, sebuah organisasi yang dipimpin para mahasiswa yang mendukung keterjangkauan perguruan tinggi, membuat jaringan online untuk membantu mahasiswa menemukan bantuan keuangan darurat, mengajukan permohonan untuk kepentingan publik, dan membangun dapur umum.
RISE terus melayani lebih dari 1.000 mahasiswa sebulan yang berjuang untuk membayar sewa, mempertahankan pekerjaan, dan mengamankan akses internet, kata Max Lubin, kepala eksekutif organisasi tersebut. “Kami kewalahan dengan kebutuhan yang ada,” katanya.
Perumahan yang stabil dan makanan sehat sudah menjadi perhatian utama sebelum pandemi. Survei tahun 2019 menemukan, 17 persen mahasiswa pernah mengalami tunawisma dalam satu tahun terakhir, dan sekitar setengahnya melaporkan masalah seperti kesulitan membayar sewa. Hampir 40 persen tidak memiliki akses yang dapat diandalkan ke makanan bergizi.
Krisis virus Corona memperburuk banyak dari tantangan ini, menurut laporan Hope Center bulan Juni lalu, yang menemukan bahwa hampir tiga dari lima mahasiswa yang disurvei mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan dasar selama pandemi.
Bantuan keuangan di Amerika Serikat telah berkurang oleh meningkatnya biaya sekolah, kamar dan pondokan. Secara maksimal, hibah negara dalam skema Pell berbasis kebutuhan mencakup 28 persen dari total biaya menghadiri perguruan tinggi negeri saat ini, dibandingkan dengan lebih dari setengah biaya itu pada tahun 1980-an. Bantuan negara, meski agak pulih sejak Great Ressesion, masih dirasa kurang dari kebutuhan, dan anggaran negara semakin terkuras oleh krisis kesehatan.
CARES Act, yang disahkan Kongres pada bulan Maret, menyediakan sekitar 14 miliar dolar AS untuk pendidikan tinggi, dengan sekitar setengahnya diperuntukkan bagi mahasiswa. Tapi ada batasan siapa yang bisa menerimanya, dan mahasiswa tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan cek stimulus senilai 1.200 dolar yang diberikan kepada pembayar pajak.
Dalam survei terhadap sekitar 300 presiden perguruan tinggi dan universitas yang dilakukan oleh American Council on Education, sebuah kelompok perdagangan, sekitar 80 persen melaporkan bahwa mereka telah memberikan lebih banyak bantuan keuangan untuk semester musim gugur. Tetapi hanya sedikit lembaga yang memiliki dana abadi yang cukup besar untuk menutupi peningkatan yang signifikan, dan banyak yang secara tradisional tidak bersedia menanggung biaya hidup mahasiswa.
“Seluruh sistem saat ini dibangun di sekitar gagasan bahwa biaya utama seharusnya adalah biaya kuliah, meskipun sebenarnya bukan,” kata Goldrick-Rab dari Hope Center.
Sebelum pandemi, Matt Bodo, jejaka tingting 22 tahun, menjadi tunawisma selama dua tahun saat mengambil kelas community college dan bekerja penuh waktu sebagai pelayan berbagai jenis pekerjaan di California Utara. Dia kadang-kadang bisa tidur di sofa temannya, tapi dia kebanyakan tinggal di mobilnya, Ford Mustang tua yang sudah berkarat.
Untuk akses internet, dia akan menghabiskan waktu sebanyak mungkin di kampus, di mana dia juga bisa mandi.
Tahun lalu, Bodo dipindahkan ke Universitas California, Los Angeles, di mana dia mengambil jurusan linguistik dan psikologi, dan menetap di Asrama Mahasiswa. Tetapi dia tidak mampu membayar biaya kamar setelah pandemi melanda, sementara kampus meminta para mahasiswanya membayar lebih untuk kamar single.
Adik perempuannya, seorang mahasiswa perguruan tinggi di Bay Area, kehilangan tempat tinggalnya pada awal April, dan dia kembali untuk membantunya. Beberapa temannya yang dikarantina bersedia menerima mereka, segera saja mereka berdua tidur di mobil.
Nasibnya sedikit lebih baik manakala sebuah kelompok nirlaba membantunya bayar sewa di Asrama UCLA. Tetapi bahkan dengan bantuan keuangan dan tiga pekerjaan, Bodo masih harus berjuang untuk membayar sekolah dan mendukung saudara perempuannya, yang masih berselancar di sofa dan membutuhkan uang biaya kuliah.
Jika dirinya tidak bisa memenuhi kebutuhan, kata Bodo, dia memilih menjadi tunawisma lagi untuk menghemat uang sewa.
“Dia adalah adik perempuanku, dan aku benci melihat dia berjuang keras,” kata dia. “Dalam hatiku, aku akan menjadikannya prioritas utama, meski itu berarti aku harus tinggal di mobil.” [The New York Times]
Dan Levin meliput persoalan kepemudaan di Amerika. Levin adalah seorang koresponden asing yang meliput Kanada dari 2016 hingga 2018. Dari 2008 hingga 2015, Levin berbasis di Beijing, di mana dia melaporkan hak asasi manusia, politik dan budaya di Cina dan Asia.