Hasil Survei, Indonesia Negara Paling Rumit Memulai Bisnis
“Posisi Indonesia sebagai pasar paling kompleks secara global sebagian disebabkan oleh undang-undang tradisionalnya”
JERNIH – Indonesia menjadi negara yang paling rumit untuk memulai dan menjalankan bisnis. Hal tersebut setelah melihat hasil survei Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) yang dirilis oleh lembaga konsultan dan riset, TMF Group pada Juni 2020 lalu.
Dari data tersebut, di bawah Indonesia ada Brasil, Argentina, Bolivia, dan Yunani. Sementara Cina menempati posisi kelima dan negara tetangga Malaysia berada di urutan kesembilan.
“Posisi Indonesia sebagai pasar paling kompleks secara global sebagian disebabkan oleh undang-undang tradisionalnya,” tulis TMF dalam laporannya.
Undang-undang ketenagakerjaan yang ditujukan untuk melindungi tenaga kerja dari eksploitasi, membuat RI sulit mengambil tindakan disipliner atau memecat yang berkinerja buruk para karyawan.
Peraturan tersebut dianggap kuno oleh orang luar dan tetap menjadi salah satu yang utama menghalangi investasi asing di Indonesia.
Dalam hal pengumpulan pajak, meskipun terdapat konvergensi yang signifikan pada jenis pajak yang dipungut secara global, terdapat variasi lokal yang signifikan seputar tarif pajak, bahkan di dalam yurisdiksi itu sendiri.
“Di Cina misalnya, beberapa wilayah dapat menyimpang dari kebijakan pemerintah nasional dan mengenakan pajak perusahaan yang lebih rendah untuk menarik investasi,” katanya.
Selain itu, faktor lain juga adalah tingkat adopsi teknologi. Analisis menunjukkan peningkatan jumlah yang memungkinkan proses bisnis menjadi digital dan dilakukan secara online, mengurangi birokrasi dan beban bisnis. Sehingga prosesnya memakan waktu lebih lama secara signifikan karena faktor-faktor seperti kebutuhan untuk mendapatkan tanda tangan basah dan kurangnya kelancaran teknologi.
“Di beberapa negara Amerika Selatan, seperti Argentina dan Venezuela, dibutuhkan waktu rata-rata lebih dari tiga bulan,” tulis TMF.
CEO TMF Group, Mark Weil, mengatakan pihaknya memahami kompleksitas bisnis internasional, terlebih lagi selama masa-masa pandemi Covid-19 yang terbilang sulit.
“Indeks tahun ini menunjukkan bahwa di antara faktor penyumbang terbesar yang memengaruhi lanskap global adalah menanggapi tren yang mendorong standardisasi di berbagai kerangka kerja operasional, dan pertumbuhan berkelanjutan dari teknologi dan praktik digital,” katanya.
Sementara, Deputi Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, menuturkan UU Cipta Kerja dapat mendorong upaya pemerintah memulihkan perekonomian nasional karena dampak pandemi covid-19.
Menurutnya, seiring dengan penemuan dan pendistirbusian vaksin di akhir 2020, perekonomian Indonesia dapat tumbuh tinggi setelah diperkirakan bakal tumbuh minus di kisaran 1,7 persen hingga 0,6 persen di tahun ini.
“Dengan adanya vaksin dan perizinan akan jauh lebih mudah dengan UU Cipta Kerja, maka pertumbuhan ekonomi kita di 2021 bisa di kisaran lima persen hingga enam persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pemerintah hanya perlu konsisten melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) dan menjaga daya beli kelompok bawah dengan bantuan sosial.