Khalwa, Pesantren Khas Sudan dengan Hukuman Rantai dan Penjara
Di Sudan, pesantren-pesantren menerapkan sistem pendidikan yang keras. Ketika siswa dianggap tidak patuh, keliru membaca atau tidak mampu menghapal Al-Qur’an, atau karena berusaha kabur, mereka di rantai dan di penjara.
Jernih — Sudan, sebuah negara republik di timur laut benua Afrika. Sebelum referendum yang membelah Sudan menjadi Sudan dan Sudan Selatan pada tahun 2011, dengan luas 1,8 juta km2, Sudan menjadi negara ketiga terluas di Benua Hitam.
Sebagaimana negara-negara tetangganya, Libya dan Mesir, agama Islam menjadi yang terbanyak dianut oleh penduduk beribu kota Khourtum tersebut. Dan seperti di Indonesia, Sudan juga memiliki lembaga pendidikan keagamaan khas semacam pesantren, bernama khalwa.
Di khalwa, semua biaya pendidikan gratis, termasuk makan dan akomodasi. Lembaga-lembaga yang mencapai 30 ribu jumlahnya di seluruh Sudah tersebut mendapat sokongan dana dari negara, sumbangan pribadi, atau dana-dana luar negeri. Anak-anak diajari berbagai ilmu agama dan terutama didik menjadi penghafal Al-Quran. Pimpinannya dikenal dengan sebutan syeikh.
Sebagaimana tradisi pesantren di Indonesia, jika ada santri yang melanggar aturan pesantren, berbuat tidak senonoh, atau berusaha kabur, mereka akan didera hukuman sebagai bentuk pendisiplinan. Hukumannya macam-macam. Tiap pesantren biasanya memiliki pola dan cara hukuman yang berbeda-beda.
Namun, sekeras apa pun hukuman yang diberikan kiai atau pengurus pondok pesantren di Indonesia, sejauh ini belum pernah tersiar kabar ada tindak kekerasan dan penyiksaan berlebihan di pondok pesantren di Indonesia atas nama mendidik atau mendisiplinkan santri. Namun, tidak demikian dengan di khalwa.
Kanal YouTube BBC News Africa merilis sebuah liputan dokumenter pada 19 Oktober 2020 berjudul The Schools That Chain Boys untuk program BBC Africa Eye. Liputan tersebut berisi investigasi jurnalis BBC Arabic Fateh Al-Rahman terhadap 23 khalwa hampir di seluruh kota di Sudan selama 18 bulan.
Dari penelusurannya, ia menemukan banyak tindak kekerasan terjadi di dalam khalwa akibat berbagai macam pelanggaran, termasuk ketika siswa dianggap tidak patuh, keliru membaca atau tidak mampu menghapal Al-Qur’an, atau karena berusaha kabur.
Di salah satu khalwa yang cukup punya reputasi di negari itu, bernama Khalwa Khulafaa Al-Raasyidin pimpinan Syeikh Hussein, yang terletak di kota terbesar di Sudan, Omdurman, Mohamed Nader (14) dan Ismail (10) mengalami penyiksaan yang hebat.
Sekujur tubuh Mohamed Nader dan Ismail penuh luka. Di pergelangan kakinya ada bekas rantai, kulit di punggung mereka terkelupas akibat cambukan, dan mereka mengaku tak diberi makan sampai lima hari lamanya. Mereka nyaris mati.
Dokter mengatakan bahwa salah satu dari mereka membutuhkan operasi plastik karena luka yang diderita cukup parah. Ismail, bahkan sangat dianjurkan untuk menjalani terapi psikologis untuk mengobati mentalnya.
Dua kasus ini tak dibiarkan begitu saja. Kedua orang tua mereka memproses hal ini ke ranah hukum dengan maksud mencari keadilan dan agar hal ini tidak terjadi pada anak-anak lain di Sudan.
Sebelumnya, tidak ada yang berani melaporkan hal ini sebab pengaruh para syeikh sangat besar di negara tersebut. Namun, pasca pergantian rezim, orang-orang mulai berani mempersoalkan tindak tak manusiawi ini.
“Apa pun resikonya, saya tidak takut. Dulu posisi kami lemah, tapi sekarang keadaannya berbeda. Dengan pemerintah yang baru, semoga Tuhan menghendaki,” kata orang tua Muhamed Nader.
Dua orang guru telah didakwa atas kasus yang menimpa Nader. Namun, karena pendemi COVID-19, sidang ditunda dan pihak pelapor belum kunjung mendapatkan pembela. Karena pandemi ini juga dua terdakwa tersebut dilepaskan dari penjara.
Dalam investigasinya, BBC mengungkap bahwa setelah “dikasuskan”, penjara di Khalwa Khulafaa Al-Rasyidin dialihfungsikan menjadi gudang dan tidak ada lagi anak-anak yang rantai.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Syeikh Hussein mengakui bahwa apa yang terjadi kepada Mohamed Nader dan Ismail adalah sebuah kesalahan. Ia berjanji akan memperbaiki sistem di lembaga yang dipimpinnya.
Namun, meski pihak berwajib telah memproses hukum dua pengajar di khalwa tersebut, praktik penyiksaan masih terus terjadi di beberapa khalwa lain baik di Khourtum, Omdurman, maupun tempat lainnya.
Selain penyiksaan, Muhamed Nader juga bercerita pada jurnalis BBC bahwa di khalwa tempatnya tinggal, hal terburuk yang pernah ia saksikan adalah tindak pemerkosaan. Tetapi, ketika pihak BBC mengkonfirmasi hal ini kepada Syeikh Hussein, ia menampik hal tersebut.
Meski pihak pemerintah Sudan berjanji akan mengubah sistem di khalwa, namun mereka pun mengakui bahwa “tradisi” yang telah berlangsung lama ini tidak bisa mereka ubah hanya dalam satu malam.
“Tidak akan ada lagi pemukulan, penyiksaan apa pun bentuknya yang melanggar hak asasi manusia. Bagi siapa saja yang melanggar, khalwa kan ditutup,” terang Menteri Urusan Agama Sudan, Nasreddine Mufreh.
“Saya tidak bisa menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh 30 tahun berkuasanya rezim lama dalam semalam,” imbuhnya.