Kajao Laliddong, Negarawan Cemerlang dari Bumi Sulawesi
Keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat banyak
Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945, tanah Nusantara, telah lebih dulu dihuni dan dikelola oleh kerajaan-kerajaan besar. Yang paling sering disebut, misalnya, Kerajaan Majapahit (1293-1527) dengan rajanya yang masyhur bernama Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Wilayah yang diyakini dulu masuk ke dalam wilayah Kerajaan Majapahit menjadi inspirasi wilayah kedaulatan NKRI di zaman moderen.
Sezaman dengan itu, di Nusantara bagian timur, tepatnya di wilayah yang kini disebut Sulawesi, terdapat sebuah kerajaan yang pada masanya telah memiliki sistem ketatanegaraan dan sistem hukum yang sebanding dengan sistem yang ada di zaman moderen kini. Kerajaan itu adalah Kerajaan Bone yang terletak di Sulawesi sebelah selatan (kini Provinsi Sulawesi Selatan).
Situs resmi pemerintah Bone, bone.go.id, menyebut bahwa kerajaan ini berdiri pada tahun 1330 dengan raja pertamanya bernama Manurunge ri Matajang yang memerintah pada 1330-1365. Sejarah Kerajaan Bone berikut daftar raja-rajanya terarsipkan rapi dalam naskah-naskah kuno Bone yang ditulis dalam aksara lontara.
Selain nama raja-raja, satu nama yang sering disebut-sebut dalam naskah-naskah kuno tersebut adalah Kajao Laliddong La Mellong To Suwalle atau biasa disebut Kajao Laliddong saja. Istilah yang terakhit disebut itu sebenarnya adalah gelar.
Kajao artinya orang tua yang cerdik dan bijak, semacam resi dalam budaya Sunda, Jawa, dan Bali. Sedangkan Laliddong adalah nama kampung asal ia berasal. Jadi, Kajao Laliddong bermakna orang tua yang cerdik dan bijak dari Laliddong.
Sebuah skripsi berjudul Kajao Laliddong (Konsep Pemikiran Tentang Perkembangan Kerajaan Bone Pada Abad XVI-XVII) karya Ati Fitriani dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar membahas buah pemikiran Kajao Laliddong yang menjadi dasar hukum dan aturan kehidupan masyarakat di Kerajaan Bone dan sekitarnya.
Kajao Laliddong sendiri berasal dari sebuah desa yang dulunya bernama wanua Cina. Dikisahkan ia lahir sekitar awal abad ke-16. Sebelum menyandang gelar Kajao Laliddong, ia dikenal dengan nama La Mellong. Ayahnya adalah matoa atau kepala kampung di sana.
Sejak kecil, ia sudah dikenal cerdas. Kisah kecerdasannya itu sampai ke terlinga raja Bone saat itu, Raja Bone VI bernama La Uliyo Bote’e (1535-1560). Ia memerintahkan utusannya untuk mencari La Mellong dan mengajaknya ke istana untuk tinggal di sana.
Sejak itu, ia sering diminta pendapat untuk berbagai urusan kenegaraan, hukum, adat, strategi perang, dan lain sebagainya oleh pihak kerajaan. Setelah cukup usia, ia diangkat secara resmi menjadi penasehat raja Bone dengan gelar Kajao Laliddong.
Dalam salah satu puisnya yang berjudul “Kesaksian Akhir Abad”, penyair sekaligus pemikir berjuluk Sang Burung Merak, Rendra, menulis :
O, Kajao Lalido! Bintang cemerlang Tana Ugi! / Negarawan yang pintar dan bijaksana! / Telah kamu ajarkan aturan permainan / di dalam benturan-benturan keinginan / yang berbagai ragam/ di dalam kehidupan / ade, bicara, rapang, dan wari.
Empat istilah yang disebut terakhir merupakan warisan pemikiran Kajao Laliddong yang disebut Pangadereng. Hal ini merupakan dasar konstitusi Kerajaan Bone.
Ade’ dapat dimaknai sebagai adat atau norma yang mengatur seluruh kehidupan masyarakat, termasuk raja dan keluarganya. Ade’ terbagi menjadi tiga, yaitu ade’ pura onro yang berarti norman yang permanen dan sulit diubah; ade’ abbiasang yang berarti kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.
Yang terakhir adalah ade’ maraja yang berarti norma baru yang muncul seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara bicara berarti pengadilan. Tiap orang yang melanggat ade akan diadili dengan pengadilan yang adil dan berbasis hati nurani. Kajao Laliddong berpandangan bahwa pada awalnya tiap orang adalah benar (tau tonging). Lingkungan yang menjadikan orang-orang keliru bertindak. Dengan adanya tata pengadilan yang mandiri, tiap orang yang bersalah dapat diadili secara objektif.
Rapang dapat dimaknai contoh atau perumpamaan. Dalam konteks ini, yang dimaksud perumpamaan adalah menjadikan kasus, peristiwa, atau hukum di masa lalu sebagai contoh atau perumpamaan bagi hukum atau aturan di masa kini. Semacam qiyas dalam tradisi Fiqih Islam.
Dengan adanya rapang sebagai salah satu aspek dari Pangadereng, diharapkan hukum akan selalu konsisten dan stabil namun tetap menyesuaikan dengan perkembangan zaman sebab ada ade’ maraja sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Salah satu prinsip dalam rapang adalah mapasseng rupa yang bermakna “memberi hukuman yang sama untuk persoalan yang sama”.
Selain itu, rapang juga dimaknai lebih luas sebagai aturan perjanjian dan diplomasi antarnegara. Karena bermakna contoh atau perumpamaan, maka pelajaran sejarah digolongkan sebagai rapang juga. Oleh sebab itu, dalam tradisi Bugis (Bone), sejarah termasuk dalam bidang ilmu sastra (sure’) yang dihormati.
Yang terakhir, wari’, artinya aturan nasab dan klasifikasi masyarakat. Wari terbagi menjadi tiga. Pertama, wari’ asseajing, berarti aturan mengatur garis keturunan dan kekeluargaan. Dalam sebuah suku bangsa, sistem kekerabatan adalah salah satu yang cukup vital. Oleh karenanya perlu ada pengaturan agar sistem ini tetap terjaga.
Kedua, wari’ tana, berarti aturan mengenai klasifikasi masyarakat dan bagaimana sikap-sikap yang patut. Misalnya, adab menghadap raja atau adab mengawal raja, dan sebagainya.
Ketiga, wari’ pangoriseng, berarti aturan nasab antar kerabat dan kerajaan. Dengan adanya aturan ini dapat diketahui dan ditetapkan siapa hubungan kekerabatan antar satu raja di suatu negeri dengan raja lain di negeri lain dan menetapkan siapa yang lebih tua, siapa yang lebih muda.
Selain Pangadereng, Kajao Laliddong juga telah menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis. Ia mengatakan “luka taro arung, telluka taro ade, telluka taro anang (keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepakatan rakyat banyak)”.
Di bidang diplomasi antarnegara, Kajao Laliddong juga mengukir sejarah. Atas nasihatnya, tiga kerajaan yang acap berseteru, yaitu Bone, Soppang, dan Wajo membuat sebuah perjanjian yang disebut Lamumpatue atau perjanjian Tellumpoccoe pada tahun 1582.
Ketiganya berjanji membentuk liga persaudaraan dengan Bone sebagai kakak tertua, Soppang anak tengah, dan Wajo si anak bungsu. Mereka saling membantu dalam urusan pertahanan dan pembangunan namun tetap memiliki keudalatan masing-masing yang dihormati oleh masing-masing kerajaan.
Setelah Islam mempengaruhi Kerajaan Bone pada abad ke-17, aspek Pangadareng ini bertambah satu yaitu sara’ atau syariat Islam. Dan struktrur Kerjaan Bone pun berubah dengan masuknya Peware Sara’ (Pejabat Syariat).
Pada awalnya, sara’ menjadi “pelengkap” dari Pangadereng ini. Namun, dalam perkembangan, sara’ justru menjadi aspek yang paling dominan mempengarugi kehidupan masyarakat dan negara di Bone.