“Percikan Agama Cinta”: Hukum Tidak untuk Yang Ghaib dan Tersembunyi
Para nabi dan rasul juga tidak diutus untuk mengawasi para hamba-Nya. Hanya Allah-lah yang Mahamengurus, Mengawasi, dan Menghitung amal perbuatan makhluk-Nya. Allah tidak menuntut para rasul untuk menjadi penguasa, hakim, penghitung, dan pembalas amal perbuatan manusia.
JERNIH– Saudaraku,
Renungan pagi kali ini berasal dari kisah Nabi Isa as. yang disarikan dari kitab “Shahih al-Qashash al-Nabawi” karya Umar Sulaiman al-Asyqar (Oman: Darun Nafais, 1997, Cetakan Pertama, hal. 175).
Ketahuilah. Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dalam Shahîh masing-masing dari Abu Hurairah yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bercerita:
“Pada suatu ketika, Nabi Isa melihat seorang lelaki yang mencuri. Lantas oleh Nabi Isa, si pencuri ditanya, “Apakah engkau mencuri?” Pencuri itu menjawab, “Demi Allah, Zat yang tidak ada Tuhan selain Dia, tidak!” Nabi Isa berkata, “Aku beriman kepada Allah dan mendustakan kedua mataku.”
Percayalah. Hikayat ini terasa menjadi unik lantaran menegaskan betapa para nabi dan rasul tidak mengetahui perkara ghaib dan tersembunyi–kecuali apa yang diberitahukan Allah melalui Wahyu-Nya. Mereka bukan manusia yang mampu membedakan siapa orang jujur dan pendusta. Dalam hati mereka tersimpan rasa haibah dan pengagungan terhadap Asma’ Allah, kendati diucapkan oleh orang yang berbohong.
Pencuri itu terbebas dari tuduhan Nabi Isa ‘alaihissalam berkat sumpahnya atas nama Allah. Walau demikian, ia tidak akan terbebas dari pembalasan Allah Yang Mahamelihat di akhirat kelak.
Ingatlah. Para nabi dan rasul juga tidak diutus untuk mengawasi para hamba-Nya. Hanya Allah-lah yang Mahamengurus, Mengawasi, dan Menghitung amal perbuatan makhluk-Nya. Allah tidak menuntut para rasul untuk menjadi penguasa, hakim, penghitung, dan pembalas amal perbuatan manusia.
Benar. Kisah inilah yang menjadi salah satu pijakan para alim ulama dalam menetapkan kaidah fiqih:
“Hukum itu dijalankan terhadap perkara dzhahir semata, sedangkan Allah yang menguasai hakikat tersembunyinya.”
Saudaraku, penetapan hukum selalu didasarkan pada bukti-bukti fisik, bukan atas nama yang tersembunyi dan tak kasat mata. Kendati begitu, sadarlah kebenaran yang sesungguhnya adalah perkara tak kasat mata. [Deden Ridwan]