Spirit Al-Mu’iz dan AI-Mudzil: Menjadi Manusia yang Bermanfaat
- Orang yang hadirnya membawa manfaat niscaya dia akan menjadi orang yang dimuliakan, baik oleh yang di langit maupun yang di bumi.
- Siapa saja yang kehadirannya membawa mudharat, semua itu tidak akan membawa sedikit pun kemuliaan baginya.
KH Abdullah Gymnastiar
SALAH satu jalan meraih kemuliaan dari Allah adalah dengan memperbanyak amal saleh, termasuk amal yang berdimensi sosial, yaitu amalan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang-orang di sekitar kita.
Saudaraku, orang yang hadirnya membawa manfaat niscaya dia akan menjadi orang yang dimuliakan, baik oleh yang di langit maupun yang di bumi. Sebaliknya, siapa saja yang kehadirannya membawa mudharat, sehebat apapun dia, sekaya apapun dia, secerdas dan serupawan apapun dia, semua itu tidak akan membawa sedikit pun kemuliaan baginya. Dia akan dipandang hina dan jatuh kredibilitasnya di hadapan sesamanya.
Maka, penting bagi kita untuk memastikan agar kehadiran kita, tidak membawa apa-apa bagi lingkungan sekitar, selain keberkahan dan kemanfaatan. Inilah sebaik-baik manusia sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW “Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang Iain.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Hadits ini seakan-akan mengatakan bahwa jikalau ingin mengukur Sejauh mana derajat kemuliaan akhlak kita, maka ukurlah sejauh mana nilai manfaat diri ini? Istilah Emha Ainun Nadjib-nya, tanyakanlah pada diri ini apakah kita ini manusia wajib, sunat, mubah, makruh, atau malah manusia haram?
Apa itu manusia wajib? Manusia wajib ditandai jikalau keberadaannya sangat dirindukan, sangat bermanfaat, perilakunya membuat hati orang di sekitarnya tercuri. Tanda-tanda yang tampak dari seorang manusia Wajib, di antaranya dia seorang pemalu, jarang mengganggu orang lain sehingga orang lain merasa aman darinya. Perilaku kesehariannya lebih banyak kebaikannya.
Ucapannya senantiasa terpelihara, dia hemat betul kata-katanya, sehingga lebih banyak berbuat daripada berbicara. Sedikit kesalahannya, tidak suka mencampuri yang bukan urusannya, dan sangat nikmat kalau berbuat kebaikan. Hari-harinya tidak lepas dari menjaga silaturahim, sikapnya penuh wibawa, penyabar, selalu berterima kasih, penyantun, lemah lembut, bisa menahan dan mengendali kan diri, serta penuh kasih sayang.
Dia sangat alergi dengan perilaku melaknat, memaki maki, memfitnah, menggunjing, bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun menghasut. Justru dia selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan marahnya pun karena Allah Ta’ala. Masya Allah, demikian indah hidupnya.
Itulah mengapa, siapapun di dekatnya pastilah akan tercuri hatinya. Kata-katanya akan senantiasa terngiang-ngiang. Keramahannya pun benar-benar menjadi penyejuk bagi hati yang sedang membara. Jikalau saja orang yang berakhlak mulia ini tidak ada, siapapun akan merasa kehilangan, akan terasa ada sesuatu yang kosong di rongga qalbu ini. Orang yang wajib, adanya pasti penuh manfaat.
Selanjutnya adalah orang sunnah, keberadaannya bermanfaat, tetapi kalau pun tidak ada tidak tercuri hati kita. Rongga hati kita tidak kosong akibat rasa kehilangan. Hal ini terjadi karena kedalaman dan ketulusan amalnya belum dari lubuk hati yang paling dalam. Bukankah hati akan tersentuh oleh hati lagi? Seperti halnya kalau kita berjumpa dengan orang yang berhati tulus, perilakunya benar-benar akan meresap masuk ke rongga qalbu siapapun.
Adapun orang yang mubah, ada tidak adanya tidak berpengaruh. Di kantor kerja atau bolos sama saja. Seorang pemuda yang ketika ada di rumah keadaan menjadi berantakan, dan kalau tidak adapun tetap berantakan. Inilah pemuda yang mubah. Ada dan tiadanya tidak membawa manfaat, tidak juga membawa mudharat.
Bagaimana dengan orang yang makruh? Keberadannya justru membawa mudharat; atau manfaatnya lebih sedikit daripada mudharatnya. Kalau dia tidak ada, tidak berpengaruh. Artinya, kalau dia datang ke suatu tempat, orang merasa bosan atau tidak senang. Misalnya. ada seorang ayah sebelum pulang dari kantor suasana rumah sangat tenang, tetapi ketika klakson dibunyikan tanda sang ayah sudah datang, anak-anak malah lari ke tetangga, ibu cemas, dan pembantu pun sangat gelisah. Inilah seorang ayah yang keberadaannya menimbulkan masalah.
Lain lagi dengan orang bertipe haram, keberadaannya malah dianggap menjadi musibah, sedangkan ketiadaannya justru disyukuri. Jika dia pergi ke kantor, perlengkapan kantor pada hilang. Maka, ketika orang ini dipecat semua karyawan yang ada malah mensyukurinya. Termasuk pula orang bertipe haram, adalah para penjahat, pembuat onar, pejabat korup, termasuk pula penguasa zalim.
Maka saudaraku, tidak ada salahnya kita merenung sejenak, tanyakan pada diri ini apakah kita ini anak yang menguntungkan orangtua atau hanya jadi benalu saja? Masyarakat merasa mendapat manfaat tidak dengan kehadiran kita? Adanya kita di masyarakat sebagai manusia apa, wajib, sunah, mubah, makruh, atau haram? Kenapa tiap kita masuk ruangan teman-teman malah pada menjauhi, apakah karena perilaku sombong kita?
Kepada para ibu, hendaknya tanyakan pada diri masing-masing, apakah anak-anak kita sudah merasa bangga punya ibu seperti kita? Punya manfaat tidak kita ini? Bagi ayah cobalah mengukur diri, saya ini seorang ayah atau gladiator? Saya ini seorang pejabat atau seorang penjahat? Kepada para mubaligh, harus bertanya, benarkah kita menyampaikan kebenaran atau hanya mencari penghargaan dan popularitas saja? [*]
- Pimpinan Daarut Tauhid
- Sumber: Buku Asmaul Husna Untuk Hidup Penuh Makna karya KH Abdullah Gymnastiar.