Setetes Embun: Ephphatha
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
Allah bukan sekedar memberi penyembuhan fisik. Cinta Allah menjadikan orang mampu mendengarkan sekaligus mewartakan kasih Allah yang sudah diterimanya.
JERNIH-Seorang pria tua datang kepada dokter dan bertanya: “Dokter, rupanya istri saya sudah tuli. Tolong bantu saya”. Dokter menjawab: “Bisa saya bantu. Tapi tolong cek benar separah apa pendengarannya. Nanti di rumah, dari jarak tertentu, tanpa menghadap wajahnya, coba panggil istrimu. Kalau dia tidak menjawab, lebih dekat lagi, terus demikian, sampai anda bisa mendengar dia menjawab”.
Pria itu pun pulang ke rumah dan memulai percobaannya.
“Sayang, makan malam kita apa?”, tanyanya kepada istrinya yang lagi di dapur. Tidak ada jawaban. Dia mendekat lagi: “Sayang, makan malam kita apa?”. Belum ada jawaban. Mendekat lagi dan bertanya lebih keras. Sama hasilnya.
Akhirnya terus dia mendekat sampai dia berdiri persis di belakang istrinya. Istrinya berbalik dan menjawab ketus: “Tua bangka, saya sudah tujuh kali menjawab, “domba panggang’, ada apa dengan engkau ini?”.
EPHPHATHA, adalah ungkapan singkat Yesus kepada orang bisu tuli setelah proses penyembuhannya yang unik dan penuh kuasa. (Mrk 7,34). Kata ini berasal dari bahasa Aram dan berupa perintah atau komando.
Penginjil Markus sengaja menggunakan kata asli ini “ephphatha” karena percaya bahwa sebuah kata mempunyai kuasa. Jika diterjemahkan maka akan kehilangan kuasanya. EPHPHATHA bagaikan sebuah kata magis. Terjemahan bebasnya: Terbukalah!
Dengan mengulangi kata aslinya, Markus ingin menegaskan kuasa Yesus sebagai seorang penyembuh tradisional.
Tindakan Yesus ini merupakan perwujudan ramalan nabi Yesaya: “Yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata”. (Mrk 7,37). Ini adalah bukti bahwa proses restorasi yang dijanjikan Allah tetap berjalan, dan inilah saat yang ditunggu-tunggu itu. Yesus adalah Penyelamat yang dijanjikan itu.
Akan tetapi penyembuhan yang dikehendaki Allah bukan sekedar penyembuhan fisik. Apa yang diperlihatkan oleh Yesus adalah kuasa kasih Allah yang mampu mengubah atau mentransformasi seseorang.
Cinta Allah yang membuat orang itu mendengar dan berbicara mempunyai efek lebih luas dari perubahan kondisi fisik atau tubuh. Dia menjadi orang yang mampu mendengarkan sekaligus mewartakan kasih Allah yang sudah diterimanya.
Kisah ini menjadi pelajaran juga bagi para pengikut Yesus yang lain: mempunyai pendengaran yang baik tapi belum tentu mendengarkan Sabda Allah; mempunyai kemampuan bicara yang baik tapi belum tentu mewartakan Injil kasih Allah kepada orang lain.
Setiap orang beriman pada saat yang sama bisa memikul tiga peran sekaligus; menjadi orang yang disembuhkan dari ketulian dan kebisuan; menjadi orang menyembuhkan mereka yang tuli dan bisu; dan terakhir menjadi telinga dan mulut bagi mereka yang tuli dan bisu.
“Semoga pintu Gereja ini cukup lebar untuk menerima semua yang haus akan cinta, semua yang kesepian akan persaudaraan. Semoga pintu Gereja menyambut semua yang punya kepedulian untuk membebaskan, yang punya rasa terima kasih untuk diungkapkan, yang punya harapan untuk memelihara”.
“Semoga pintu Gereja ini cukup sempit untuk menghalangi masuknya kepicikan dan kesombongan, kecemburuan, dan permusuhan. Semoga tempat kudus ini menyambut semua orang yang mencari ketenangan, pembaruan, dan kebenaran; semoga, bagi kita semua, menjadi pintu gerbang menuju kehidupan yang lebih kaya dan lebih bermakna.” (Dr. Murray Watson).
(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa).