Solilokui

Meluruskan Kesalahpahaman: Kasar vs Tegas

Jika kita jujur dengan pesan universal Al-Quran maka memahami “asyidda” dalam arti kasar, keras (dalam konotasi negatif), dan semaknanya tidak akan diterima. Hal itu karena esensi dasar ajaran Al-Quran adalah “Rahmah” (kasih sayang), “al-ihsan” (kebaikan), “ukhuwah” (persaudaraan, termasuk di dalamnya persaudaraan kemanusiaan), dan “ihsan” (kebaikan).

Oleh  : Imam Shamsi Ali*

JERNIH– Salah satu dari sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang sering disalahpahami tidak saja oleh non Muslim tetapi juga oleh sebagian Muslim, adalah ayat 29 di Surah Al-Fath. Ayat ini dipahami atau disalahpahami sebagai ayat yang membenarkan “kekerasan dan kakasaran” atau “berperilaku dan berkarakter” keras atau kasar kepada non Muslim.

Shamsi Ali

Ayat tersebut berbunyi: “Muhammad adalah Rasul Allah. Dan orang-orang yang bersamanya (mengimaninya) ‘asyiddaa’ terhadap orang-orang kafir dan ‘ruhamaa’ (berkasih sayang) di antara mereka”.

Tentu yang pertama perlu kita ingatkan bahwa penafsiran terhadap teks-teks agama, dalam kasus Islam Al-Quran dan as-Sunnah, bisa saja beragam berdasar kepada banyak faktor. Boleh karena cara pandang yang disebabkan oleh tingkatan keilmuan dalam agama yang berbeda. Tapi boleh juga karena situasi serta kondisi yang ada dan mendorong timbulnya penafsiran tertentu.

Tapi intinya tidak perlu terkejut-kejut, apalagi langsung menyalahkan hanya karena ada sebuah penafsiran yang berbeda dari penafsiran kita sendiri. Bersegera menyalahkan dalam penafsiran agama, selama masih merujuk ke dasar (ushul) yang sama, adalah kesalahan pada dirinya.

Kembali kepada ayat tadi, dalam konteks memahami kata “asyiddaa”. Kata ini berasal dari kata tunggal atau mufrad “syadid”. Kata “syadid” dalam bahasa Arab bisa diterjemahkan dengan beberapa kata, antara lain “keras, kaku (mutasyaddid) alias fundamentalis”.  Tapi juga bisa diterjemahkan dengan kata “kuat” (bold) dan juga “tegas”.

Dari semua terjemahan kata di atas, dan banyak yang lain, kita bisa mencoba memilah-milah mana yang lebih pas sesuai dengan semangat universal agama Islam dan ajaran Rasulullah SAW sendiri.

Pertama, semua ulama dan ahli Al-Quran sepakat bahwa tafsiran Al-Quran yang terbaik adalah dengan Al-Quran itu sendiri. Dalam Ulumul Quran dikenal dengan “tafsirul Quran bil-Quran”.

Jika kita jujur dengan pesan universal Al-Quran maka memahami “asyidda” dalam arti kasar, keras (dalam konotasi negatif), dan semaknanya tidak akan diterima. Hal itu karena esensi dasar ajaran Al-Quran adalah “Rahmah” (kasih sayang), “al-ihsan” (kebaikan), “ukhuwah” (persaudaraan, termasuk di dalamnya persaudaraan kemanusiaan), dan “ihsan” (kebaikan).

Satu di antara sekian justifikasi yang dapat kita sampaikan adalah ketika setiap surat dalam Al-Quran dimulai dengan “Bismillahir Rahmanir Rahiim” (dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).

Ini tentunya diperkuat dengan sifat-sifat Allah yang paling dominan dan terulang adalah sifatNya yang kasih sayang (Arrahman ar-Rahim). Juga sifatnya yang “Waduud” (Maha Cinta) dan “Latiif” (Maha Lembut).

Berbagai perintah dalam Al-Quran untuk mengedepankan nilai-nilai kebaikan, tolong menolong, kerja sama, menolong sesama, dan tentunya menegakkan sikap adil bahkan kepada musuh sekalipun. “Jangan karena kebencianmu kepada sebuah kaum menjadikanmu tidak berbuat adil. Berbuat adillah karena itu dekat kepada ketakwaan”. Demikian penegasan Al-Quran.

Kedua, para ulama Islam juga sepakat bahwa otoritas penafsiran Al-Quran itu ada pada Rasulullah SAW. Beliaulah hadir sebagai penafsir utama Al-Quran, baik dengan kata, apalagi dengan pebuatan.

Dengan demikian untuk memahami tafsiran “asyiddaa” pada ayat ini perlu dirujukkan kepada bagaimana Rasulullah menafsirkannya dalam hidup, perilaku maupun ajarannya kepada para sahabat. Pernahkah beliau kasar? Atau pernahkah beliau memerintahkan sahabatnya untuk kasar kepada mereka yang tidak mengimani ajaran Islam ketika itu?

Justru sebaliknya, terlalu banyak contoh keindahan perilaku dan karakter Rasulullah SAW kepada non Muslim, baik di Makkah maupun di Madinah. Saya tidak perlu mengulangi cerita kelembutan dan keindahan karakter Rasulullah ketika di Mekah kepada seorang ibu tukang pengumpul kayu bakar. Atau cerita Rasulullah SAW menyuapi seorang pengemis Yahudi yang kerap menjelekkan dirinya.

Demikian pula bagaimana Rasulullah SAW marah ketika ada seorang wanita non Muslim terbunuh dalam sebuah peperangan. Atau bagaimana Rasulullah justru tidak menghukum seorang wanita Yahudi yang berusaha meracuninya.

Begitu banyak sekali contoh keindahan karakter dan akhlak Rasulullah SAW kepada semua orang. Termasuk kepada non Muslim yang tidak jarang justru membenci dan berusaha untuk melakukan ancaman pada diri beliau.

Ketiga, ajaran Islam dalam aspek hukum tertentu justru memperlihat aspek-aspek sosial yang sangat positif. Islam, misalnya, menghalalkan bagi orang Islam untuk mengkonsumsi makanan Ahlu Kitab. Tentu selama jelas tidak bertentangan dengan ayat-ayat lain dari Al-Quran, seperti babi atau sesajian kepada berhala.

Atau bagaimana Islam membenarkan lelaki Muslim untuk menikahi wanita ahlu kitab. Dapatkan dibayangkan seorang pria Muslim menikahi wanita non Muslim (Kristen atau Yahudi) lalu disuruh untuk kasar atau keras kepadanya? Dapatkah hal ini diterima secara logika dan moralitas? Jawabannya pasti tidak.

Keempat, ketika umat ini diperintah berdakwah, maka istilah yang dipakai adalah “da’wah” yang berarti ajakan (to invite). Kata ini sendiri memiliki konotasi simpati. Artinya perlihatkan wajah dan karakter yang baik dan simpati agar mereka memenuhi ajakanmu.

Pernahkah kita membayangkan seseorang yang diajak atau diundang kepada sesuatu (perkawinan misalnya) tapi dengan ancaman dan intimidasi? Apakah orang tersebut akan menerima ajakan atau undangan itu?

Di sìnilah kemudian Al-Quran menegaskan: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah atau bijak”. Bijakkah ketika seseorang diajak dengan kata-kata kasar dan intimidasi?

Dengan empat argumentasi di atas, dan tentunya masih banyak alasan lainnya, kata “asyiddaa” (syiddah atau syadiid) pada ayat tersebut tidak layak dipahami sebagai “keras” (stern) dalam arti “kasar” (harsh).

Bagaimana memahaminya?

Berdasarkan kepada semangat umum (general spirit) agama Islam, maka kata “asyiddaa” dapat dipahami sebagai “tegas” dan “istiqamah” (unwavering) atau konsisten dalam memegang kebenaran.

Maknanya bahwa orang-orang yang beriman atau mengikuti Rasulullah SAW itu memiliki karakter tegas, tidak mudah luntur atau hanyut kepada iman dan perilaku yang berlawanan dengan iman dan ajaran yang dianutnya.

Artinya bahwa kata “asyiddaa alal kuffaar” bukan “kasar” (harsh) kepada orang-orang kafir. Tapi lebih kepada penggambaran karakter orang-orang yang beriman yang kuat (tidak lemah) dalam istiqamah menjunjung tinggi keimanan di hadapan kekufuran.

Kuat dan tegas dalam memegang nilai-nilai keimanan tidak harus diartikan kasar kepada non Muslim. Wallahu a’lam!  [ ]

* Presiden Nusantara Foundation

Back to top button