Konsolidasi Operator Hanya Awal, Selanjutnya Ada Industri Internet of Things yang Ranum
JERNIH – Konsolidasi operator adalah sebuah keniscayaan menghadapi tantangan dunia digital masa depan dan perbaikan internal. Konsolidasi juga bisa dianggap sebagai bentuk penyelamatan agar operator telco tidak melulu hidup survive (survival game). Apa lagi, dunia di masa depan juga membuka peluang bagi solusi Internet of Things (IoT).
IoT adalah sebuah infrastruktur global bagi masyarakat yang memungkinkan layanan canggih dapat terhubung secara fisik dan virtual menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Ini dapat diibaratkan sebuah jaringan raksasa yang menghubungkan berbagai macam hal. Jadi, IoT dapat menghubungkan berbagai perangkat dan sistem melalui jaringan internet.
Dalam hal ini jaringan internet adalah salah satu faktor kunci. Sebenarnya terdapat 4 layer yang mendasari IoT, yakni perangkat sensor, jaringan dan gateway, platform (perangkat manajemen, keamanan, analitik, dll), serta aplikasi dan solusi. Meski hanya memiliki porsi 9% dari keseluruhan hal yang mendasari IoT, namun tanpa jaringan internet sebuah perangkat canggih tidak akan berfungsi istimewa lagi.
Menyoal ketersediaan jaringan internet sangat erat kaitannya dengan operator seluler. Saat ini operator berlomba untuk memberikan layanan data tercepat dengan tarif yang terjangkau pada masyarakat. Meski secara bisnis sudah berdarah-darah, sebab tarif internet di Indonesia adalah yang termurah kedua di dunia setelah India dan kebutuhan investasi yang tidak pernah turun nominalnya, akhirnya operator dipaksa untuk berpikir cerdas mencari solusi bisnis yang mendatangkan keuntungan.
Konsolidasi bisnis atau merger merupakan salah satu solusinya. Seperti yang dilakukan oleh dua operator: Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia belum lama ini. Kolaborasi keduanya tidak hanya menggabungkan jumlah pelanggan menjadi 104 juta tapi juga mengoptimalkan pemanfaatan frekuensi, kualitas layanan, dan infrastruktur lain yang dimiliki.
Beberapa ahli berpendapat bahwa merger saja belum bisa mendatangkan keuntungan yang cukup bagi pihak operator, salah satunya Teguh Prasetya, Founder Asosiasi IoT Indonesia (ASIOTI) pada Diskusi Masa Depan Industri Telekomunikasi Indonesia yang digelar oleh Indonesia Technology Forum (ITF) pada Rabu, 3 Novermber 2021. Menurutnya, operator dapat lebih banyak masuk ke industri IoT dan bertransformasi menjadi digital solution company untuk mendatangkan pendapatan yang cukup tinggi.
“Sepertinya rekan-rekan operator sudah punya unit khusus yang mengembangkan IoT. Modal utama berupa frekuensi sudah ada, sehingga siap untuk dikembangkan dari jarigan 4G ke 5G. Selanjutnya, bisa menyediakan solusi platform yang menyasar industri-industri tertentu. Peluang ini masih cukup terbuka lebar celahnya,” tambah Ketua Bidang Industri dan Kemandirian IOT, AI dan Big Data (TRIOTA) Masyarakat Telematika Indonesia / MASTEL) ini.
Bahkan, kata Teguh, Indosat Ooredoo saja sebenarna sudah memperoleh pendapatan dari sektor solusi IoT. Ia menyebut pendapatan dari solusi bisnis mencapai sekitar Rp 3 triliun.
Sementara Tri, menurut Teguh, pada induknya Hutchison sendiri malah telah menawarkan banyak sekali solusi bisnis berbasis IoT. Dan pasarnya datang dari berbagai belahan dunia.
PASAR IOT INDONESIA
Kebutuhan pasar IoT di Indonesia cukup besar dan penetrasinya bisa ke berbagai sektor industri seperti manufaktur, kesehatan, agrikultur, retail, sektor publik, dan lain sebagainya, termasuk sector telekomunikasi dan media. Ditunjang juga dengan kondisi pasar aplikasi dan platform IoT di Indonesia juga terus berkembang. Kebutuhan setiap tahunnya meningkat signifikan dan berpotensi naik hingga 78% di tahun 2025.
Implementasi IoT juga memiliki potensi yang besar pada efisiensi biaya, jaminan pertumbuhan pendapatan, mempermudah quality control sesuai standar yang ditetapkan, keamanan lebih tinggi dan keselamatan yang lebih terjaga.
IoT sendiri menduduki urutan pertama dari 4 industri teknologi teratas selain Artificial intelligence, Cloud Infrastructure, dan Big Data / Analytics yang memberi dampak berdasarkan survei dari Deloitte. Industri ini bahkan tidak terpengaruh oleh pandemi yang terjadi sekarang. Melihat potensi dan perkembangannya ke depan, dapat dikatakan bahwa IoT berpeluang cukup tinggi sebagai salah satu pemasok pendapatan bagi operator.
Konsolidasi Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia tentu akan memperkuat mereka untuk bertarung di industri IoT. Dengan semua infrastruktur yang dimiliki paling tidak mereka berada di urutan kedua teratas.
Teguh mengungkapkan bahwa pada tahun 2019, baru sekitar 1,5 juta rumah di Indonesia yang berstatus smarthome. Artinya rumah-rumah ini telah memiliki akses internet dan berbagai aktivitas di rumah telah menggunakan digital. Situasi pandemic Covid-19 mendongkrakkan jumlah smarthome menjadi sekitar 6,5 juta.
Menurut ICT Expert yang juga paham tentang marketing industry telco dan digital ini, tahun 2021 bukan tidak mungkin akan mencapai 12,5 juta smarthome. Potensi IoT di rumah-rumah juga masih sangat besar. Ia melihat masih ada 60 juta rumah lagi yang potensial.
Riset ASIOTI membeberkan besarnya permintaan pasar IoT di Indonesia. Pada tahun 2025 ada potensi demand sebesar 40 miliar dolar (sekitar Rp 554 triliun). Dan, potensi paling besar justru disektor telekomunikasi.
KONSOLIDASI MENDUKUNG IOT
Teguh berpendapat bahwa pasca-merger membuat operator akan berbenah. Paling tidak ada tiga aspek yang akan dilakukan oleh operator konsolidasi untuk bersiap di industri IoT, antara lain;
- Konsolidasi alat produksi, mulai BTS dan infrastruktur lain sehingga operator dapat menyajukan jaringan dan gateway yang dibutuhkan untuk solusi IoT.
- Optimalisasi solusi dan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan bisnis (korporasi) dan non-bisnis (retail), di mana hadir beragam pilihan.
- Pengelolaan platform yang terdiri dari manajemen perangkat, sistem keamanan bagi user maupun korporat, kemampuan analitik dan sebagainya.
Dan, beberapa hal inilah tulang punggung dari terlaksananya IoT yang dianggap mampu menjadi motor dari transformasi digital di Indonesia. (*)