OikosVeritas

Jak-Lingko, dari Anies untuk Masa Depan Jakarta dan Warganya

Moda transportasi terintegrasi itu, selain murah dan nyaman, juga mendorong publik menggunakan transportasi umum. Dengan begitu problem khas kota besar, yakni kemacetan dan polusi udara, seharusnya tertangani.

JERNIH—New Delhi, India, kota yang pada awal dekade ini dikagumi karena melesatkan kemakmuran bagi warganya, kini berubah laiknya neraka. Sejak beberapa pekan lalu kota itu berselimutkan kabut tebal, yang membatasi pandangan hanya pada jarak 10 meter. Tak hanya memerihkan mata, kabut beracun itu pun dapat membakar paru-paru bila terisap. Wajar, karena Indeks Kualitas Udara (AQI) atmosfer New Delhi hingga Jumat (19/11) pun masih berada pada  angka 332. Meski turun dari dua hari sebelumnya yang mencatatkan angka 362, udara seperti itu bisa membuat manusia megap-megap sesak dan terserang asthma.

“AQI hari ini masih menunjukkan kategori sangat buruk, dan punya potensi meningkat,” tulis  System of Air Quality & Weather Forecasting & Research (SAFAR), lembaga India yang mengurusi cuaca dan kondisi udara, dalam bulletin terakhir mereka. SAFAR menulis, indeks kualitas udara (AQI) antara nol dan 50 dianggap ‘baik’, 51 ke 100  masih ‘memuaskan’, 101 ke 200 sebagai ‘sedang’, 201 ke 300 dianggap ‘buruk’. New Delhi yang mencatatkan AQI 332 tergolong pada kisaran 301 ke 400 yang artinya ‘sangat buruk’. Sementara 401 ke 500 dianggap ‘berat’ alias sangat berbahaya.

Pemerintah Kota New Delhi merespons kondisi itu dengan me-lock down kota selama sepekan ke depan. Kegiatan konstruksi, generator diesel dan truk-truk dilarang beroperasi, kecuali yang mengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok. Sekolah ditutup dan perusahaan diminta melakukan kerja dari rumah alias WFH. Semua seolah kembali ke masa-masa genting saat kota itu diserang virus COVID-19 varian Delta, beberapa bulan lalu. 

“Tiga pekan ini saya jadi pengungsi,” kata Jai Dhar Gupta, penjual alat pembersih udara yang mengungsi ke Mussoorie, sebuah kota di kaki Himalaya, karena tak mampu bernafas di udara New Delhi yang kotor. “Udara Delhi membuat dada saya panas dan sesak. Saya tak tahan lagi,”katanya kepada The New York Times.  Gupta bercerita, ia mulai menjual peralatan pembersih udara sekaligus menjadi aktivis antipolusi sejak 2013: tahun dirinya mulai menderita asthma.  

Matanya yang berkaca-kaca menerawang ketika bercerita bahwa mayoritas warga New Delhi merasa tak punya pelindung. “Sungguh menyedihkan bagi sebuah negara di mana setiap kali ada keadaan darurat kesehatan, Mahkamah Agung harus turun tangan,” kata dia. “Itu artinya para politisi yang memimpin Anda apatis terhadap kondisi kesehatan dan kehidupan yang ada. Mereka tak punya peduli!”

Tidak sebagaimana Gupta dan jutaan warga New Delhi lainnya yang kecewa, bersyukurlah warga Jakarta memiliki pemimpin yang peduli. Bukan hanya kepada mereka, bahkan juga kepada anak, bahkan cucu warga Jakarta hari ini.

Lain dari Pemerintah New Delhi yang dikeluhkan warganya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sadar bahwa udara bersih adalah salah satu persoalan mendasar kota-kota besar,  jauh-jauh hari telah memikirkan agar warganya tak pernah menderita akibat polusi. Salah satunya, dengan perencanaan pembangunan jaringan transportasi umum kota yang terintegrasi satu sama lain, yang pada saatnya akan ‘memaksa’ warga meninggalkan kendaraan pribadi dan memilih kendaraan umum.

Mengapa transportasi umum menjadi prioritas Pemprov DKI? Tidak hanya menyangkut kebersihan udara yang dihirup warga, kelancaran transportasi pun menjadi salah satu bagian dari peluang tumbuhnya perekonomian. Tafsiran Bank Dunia pada 2019 lalu menyatakan, nilai kerugian yang diakibatkan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun. Jumlah yang tentu saja tidak main-main.

Di sisi lain, data yang diperoleh Kajian Inventarisasi Sumber Pencemaran Udara pada 2020 oleh Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, berkolaborasi dengan Vital Strategies menemukan bahwa kontributor polusi udara di Jakarta adalah dari sektor transportasi. Hal itu terutama untuk NOx (72,4 persen), CO (96,36 persen), PM10 (57,99 persen) dan PM2.5 (67,03 persen). Sementara sektor industri pengolahan menjadi sumber polusi terbesar untuk polutan SO2, dan terbesar kedua untuk NOx, PM10, dan PM2.5.

“Dari penelitian tersebut, jelas bahwa kendaraan bermotor merupakan sektor kunci yang harus diatasi untuk meningkatkan kualitas udara di Jakarta,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Asep Kuswanto. Asep mengatakan, beberapa program telah dilaksanakan Pemprov DKI Jakarta. Yang terutama adalah memperluas jaringan transportasi publik, memperbaiki akses pejalan kaki, aturan uji emisi bagi kendaraan pribadi, hingga penggunaan bahan bakar ramah lingkungan untuk kendaraan operasional pemerintah.

Perluasan jaringan transportasi publik dinilai sangat strategis. Apalagi dikaitkan dengan total populasi unit kendaraan bermotor di Jakarta, yang saat ini berjumlah 18,1 juta unit, dengan potensi kenaikan yang masih besar. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), seiring kian kendornya pembatasan pandemi COVID-19 (PSBB, PPKM dll), terjadi lonjakan penjualan mobil pada Januari-September 2021 sebesar di angka 47,4 persen. Angka itu artinya terjadi penjualan mobil sebanyak 600.344 unit dibanding periode yang sama tahun 2020 sebanyak 407.390 unit. Meski tidak secara detil dijelaskan, Jakarta menempati posisi penting dalam perkembangan pembelian mobil tersebut.

Karena itu masuk akal, tak hanya Pemprov DKI yang berkepentingan mengubah perilaku warganya, melainkan juga pemerintah pusat. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, berkali-kali menyatakan urgensi hal tersebut. Menurut Menhub Budi, perlu dorongan kuat dari pemerintah agar  masyarakat lebih menggunakan kendaraan angkutan umum dibandingkan memakai kendaraan pribadi.

Shifting dari kendaraan pribadi ke umum itu keniscayaan, dan berkaitan dengan kenyamanan dan kemudahan pelayanan dalam menggunakan angkutan umum, diperlukan pengelolaan terhadap perpindahan moda transit, yang juga merupakan bagian dari integrasi antarmoda,” kata Menhub, beberapa waktu lalu.

Itulah yang dengan jeli dilihat Anies, bahkan di saat dirinya belum mendapatkan amanah untuk memimpin pengelolaan Jakarta. Transportasi umum yang murah, nyaman, sehat dan terintegrasi, memang menjadi salah satu janji kampanye mantan menteri pendidikan di era pertama Jokowi memimpin tersebut. Semua kemudian diwujudkan dalan bentuk Jak-Lingko.

Dengan Jak-Lingko, mimpi penerapan satu tarif perjalanan untuk berbagai macam angkutan itu pun terealisasi melalui perjanjian kerja sama PT MRT Jakarta, PT Transportasi Jakarta, PT LRT Jakarta (Jakpro Group), dan PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ), akhir Juni 2020 lalu. Sebelumnya, konsep integrasi tiket dan tarif, apalagi satu harga berdasarkan jarak, tampak mustahil dibuat. Pasalnya, kita tahu, berbagai moda transportasi itu memiliki pengelola sendiri-sendiri yang masing-masing menikmati kenyamanannya sendiri.

Apalagi integrasi itu pun melibatkan moda transportasi milik BUMN, seperti KRL commuter line. Wajar bila Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyatakan bahwa integrasi tiket dan tarif itulah yang menjadi puncak integrase karena jauh lebih sulit daripada integrasi fisik dan rute yang selama ini terus dikembangkan.

“Mengintegrasikan ticketing dan tarif itu menjadi puncak sistem integrasi yang ada di Indonesia. Bila ini sudah terwujud, maka warga tinggal membawa satu passcode. Baik itu bentuknya HP, kartu, atau medium digital apapun ke depan,”kata Anies, di saat perjanjian kerja sama tersebut.

Bagi Anies sendiri, urusan tarif transportasi terintegrasi dan satu harga itu merupakan ikhtiar bagi keadilan sosial, kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat pengguna transportasi publik. “Keadilan sosial untuk Jakarta itu apa? Penduduk Jakarta biaya hidupnya cukup tinggi dan salah satu komponen besarnya adalah biaya transportasi. Ketika biaya transportasi bisa turun sampai delapan persen dari pengeluaran, masyarakat bisa berhemat lebih banyak, maka kemandiriannya akan lebih tinggi,” kata Anies.

Gubernur mengaku memiliki visibagaimana penduduk Jakarta, kota terbesar di sisi selatan dunia, bisa memiliki tabungan yang banyak dan hidup lebih sejahtera karena transportasi yang murah dan terintegrasi. Salah satu caranya dengan berusaha mengembalikan persentase warga pengguna transportasi massal menjadi setidaknya 75 persen.

Selama kurang lebih tiga tahun berjalan, keberadaan Jak-Lingko cukup menolong banyak kalanngan. Dari sisi sopir, para pengemudi yang tergabung dalam Jak-Lingko mengaku merasakan kehidupan yang lebih nyaman.

Salah seorang sopir Jak-Lingko jurusan Tanah Abang-Kota, Rangga, mengaku saat ini bekerja dalam kenyamanan. Tidak hanya karena mobilnya ber-AC, tetapi lebih disebabkan pola kerja yang tak lagi tergesa dikejar setoran.

“Enak, Mas,” kata Rangga, mengakui. “Karena ada AC, kami nggak lekas lelah. Apalagi sekarang juga nggak ada perasaan was-was dikejar-kejar ingatan pada setoran.” Dia juga tak harus pusing memilikirkan uang kembalian atau berkali-kali mengeluar-masukkan uang ke kantong setiap ada penumpang turun. Semua sudah diselesaikan gesekan kartu di awal, saat penumpang naik.

Tentang pendapatan, semua sopir Jak-Lingko yang kami temui mengaku cukup puas. Rekan satu trayek Rangga, Togar Situmorang, misalnya, mengaku saat ini hidup lebih tenang. “Udah nggak lagi mikirin setoran, nggak mikirin bensin. Tinggal kerja bener-bener. Ada nggak ada penumpang juga nggak jadi soal,” kata sopir berusia 55 tahun itu.

Yang membuat Togar nyaman, sebagai sopir Jak-Lingko, ia merasa mendapat perhatian dari Pemerintah Provinsi yang menurutnya tak pernah didapatkan sebelumnya. “Ada banyak lah,” kata dia, “misalnya alokasi khusus anak sopir Jak Lingko di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah negeri.”

Lebih berkesan lagi, kata Togar, bergabung dengan Jak-Lingko membuatnya bisa tahu dan mengalami jalan-jalan ke Bali. “Ya, karena pelatihan saya sebagai sopir baru, meskipun saya lama jadi sopir angkot, diselenggarakan di Bali. Ya jadi sekalian liburan, deh,” kata dia, tergelak.

Sopir Jak-lingko trayek Tanah Abang-Meruya, Irwan, menyatakan hal yang sama. Menurut Irwan, cara penggajian bulanan Jak-Lingko membuat keluarganya terbantu. “Sebelumnya kita memang pegang duit tiap hari, tapi nggak tahu, habis begitu saja,” kata dia. Dengan berpenghasilan bulanan, ia mengaku bisa belajar menabung, meski tak besar. “Ya, lumayan, bisa berhemat, nggak habis nggak jelas seperti dulu.”

Tentang penghasilan sopir Jak-Lingko tersebut, jagat maya pernah diramaikan postinganakun Twitter @randhilicious, yang mengaku mendengar obrolan sopir angkot Jak-Lingko JAK-43, alias jurusan Cililitan-Tongtek, dengan penumpang yang duduk di kursi depan. Saat itu pemilik akun mendengar, si sopir bisa meraih pendapatan Rp 5,2 juta sebulan.

Td pas naik JAK-43 ke Kalibata, smpat nguping obrolan pnp ibu2 dgn driver di kursi depan. Si Driver cerita klau slama sebln narik Angkot Jak Lingko yg mrupakan programnya Pak Anies ini, dia dpt gaji Rp 5.2 Jt, tanpa ngetem, tanpa minta/trima uang dr pnp,”kicau akun tersebut.

Itu di sisi pengemudi. Bagaimana tanggapan para penumpang? “Saya dulu sempat lama merendahkan angkot,” kata Iman Budiman, karyawan sebuah bank swasta terkemuka di kawasan Jalan Casablanca, Jakarta. Wajar, sebagai bagian dari kelas menengah yang saat bekerja diharuskan berdasi, Iman tak bisa naik sarana transportasi non-AC di Jakarta yang udaranya bikin gerah.

“Pas kepepet dan akan lama menunggu taksi daring, saya lihat ada angkot ber-AC Jak-Lingko. Ternyata nyaman sekali,” kata dia yang saat itu menggunakan trayek Tanah Abang-Tebet.  Sejak itulah Iman tak ragu menjadi pelanggan Jak-Lingko.    

Sementara bagi Alifa Dea Ardianti yang sejak munculnya Jak-Lingko telah menjadi pelanggan, moda transportasi umum tersebut benar-benar memuaskannya. “Saya lama naik angkot,” kata mahasiswa tingkat akhir sebuah universitas negeri tersebut. “Naik angkot lebih santai dan tidak terlalu membahayakan seperti ojek. Bikin kita nggak kepanasan atau basah saat hujan,” kata dia. “Jak-Lingko lebih lagi. Kita nyaman di mobil ber-AC, dengan sopir yang bisa full konsentrasi mengemudi karena tak harus mikirin uang kembalian serta ngetem.”  Ngetem adalah istilah para sopir untuk berhenti sewaktu-waktu di perjalanan, kadang cukup lama karena menunggu datangnya penumpang.

Dengan berpenghasilan tetap, Dea yakin para sopir Jak-Lingko pun tak akan bersikap ugal-ugalan dan ngetem sembarangan karena sama sekali tak perlu.

Sementara, bagi kalangan ibu-ibu seperti Retno Wardani, Jak-Lingko membuatnya mampu menghemat pengeluaran untuk transportasi. Pasalnya, tarif Jak-Lingko lebih murah daripada e-ticket biasa. Skema tarif Jak Lingko saat ini maksimal Rp5.000 per jam bagi seluruh transportasi darat yang terintegrasi dengan moda tersebut. Misalnya, Anda naik bus TransJakarta pukul 07.00, lalu naik angkot yang sudah berlogo Jak Lingko pukul 08.30, dan kembali naik bus TransJakarta pukul 10.00, maka saldo dalam kartu Jak Lingko Anda hanya akan berkurang Rp 5.000.

“Bayangkan bila saya naik angkot biasa,” kata Retno. “Saya harus bayar Transjakarta, bayar angkot dan bayar lagi Transjakarta saat pulang. Berapa itu?”

Karena itu tidak berlebihan bila Gubernur Anies Baswedan mengklaim bahwa program Jak-Lingko telah menjadikan warga Jakarta lebih sejahtera. Hal itu karena, seperti dicontohkan tadi, penumpang bisa naik angkutan umum seperti TransJakarta dan angkutan perkotaan (angkot) berkali-kali tanpa biaya tambahan.

“Di Jakarta, bisa dikatakan pengeluaran keluarga bisa sampai 30 persen untuk transportasi. Jadi, terima uang bulanan itu 30 persennya bisa habis untuk transportasi,” kata Anies. Selain lebih hemat, lanjut Anies, keberadaan Jak-Lingko juga mendorong masyarakat beralih naik angkutan umum, terutama bus TransJakarta. Itu yang membuat jumlah penumpang TransJakarta pada akhir 2016 hanya mencapai 340.000 orang per hari. Jumlah itu pada 2020 naik 3,5 kali lipat menjadi satu juta lebih penumpang. Dalam catatan Pemprov DKI, jumlah penumpang Jak-Lingko saat ini diperkirakan sudah mencapai angka lebih dari 1,1 juta per hari.

Barangkali hal itu pula yang membuat hasil evaluasi Pemprov DKI pada masa uji coba perluasan ganjil genap, 2 Agustus 2019 hingga 6 September 2019, volume kendaraan menurun 25,24 persen. Dengan berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, kemacetan pun berkurang, yang membuat Jakarta menjadi kota ketujuh termacet di dunia, dari nomor empat sebelumnya.

Ke depan, moda transportasi terintegrasi Jak-Lingko tampaknya akan kian lebih memudahkan warga Jakarta. Hal itu terkait dengan rencana inovasi account-based ticketing yang siap diluncurkan pada triwulan ketiga 2022. Dengan account-based ticketing, selain bisa mengintegrasikan pembayaran, tarif juga akan terintegrasi. “Jadi, apabila sekarang tarifnya beda-beda, misalkan TransJakarta Rp 5000 tarif flat selama tiga jam dan MRT Jakarta Rp14.000 tergantung jarak, ke depannya akan ada tarif terintegrasi. Moda transportasi apa pun yang digunakan, hitungannya sama,” kata Presiden Direktur PT Jak-Lingko, Muhammad Kamaluddin. “Jelas itu yang akan mempermudah pengguna transportasi di Jakarta ini.”

Oh ya, sudah pernah disapa sopir angkot dengan ucapan,” Selamat pagi…Selamat siang..” manakala Anda naik? Kalau belum, cobalah gunakan Jak-Lingko. [dsy]

Back to top button