Solilokui

Cerita Editor Menolak Naskah

Ungkapan penceritaannya suka terasa berlebihan. Contoh: “Sang kakak mirip kodok dan si adik menyerupai mesin pompa air” atau “ia memiliki tiga anak laki-laki  yang suka buang air kecil di mana saja, terutama suka iseng di punggung orang dewasa.” Ungkapan seperti itu hanya sensasional, tapi tidak masuk ke radar indra dan daya bacaku.

Oleh  : Anwar Holid

JERNIH– Beberapa pekan lalu aku memutuskan menolak (tidak merekomendasikan penerbitan) sebuah naskah novel horor karya seorang penulis produktif. Jujur saja aku bahkan tidak tamat baca naskahnya. Hanya baca dari 1 sampai 14 dari 21 bab yang ada, ditambah baca bab final — karena penasaran sama ending-nya.

Selama membaca, aku menilai naskah itu tidak menarik. Kalau menarik pasti bisa memaku dan memikat aku sebagai pembaca awal. Kalau memukau, aku pasti mau menuntaskan baca dari awal hingga akhir — dengan baca cepat sekalipun.

Anwar Holid

Sampai bab 14 penulis gagal membangun situasi atau dunia horor, sementara tokoh utamanya lebih mirip orang gila daripada seorang psikopat yang enigmatik sekaligus menyeramkan. Karakter antagonis pelaku kejahatan tidak terbangun secara mencekam atau meyakinkan. Kejahatan besar dan mengerikan (misalnya membunuh dan menculik) dilakukan enteng saja tanpa ada desiran rasa bersalah — seperti orang makan nasi goreng kambing. Tidak terungkap alasan meyakinkan kenapa ia tega menghabisi seseorang hanya demi kesenangan yang tercerabut dalam hidupnya.

Ungkapan penceritaannya suka terasa berlebihan. Contoh: “Sang kakak mirip kodok dan si adik menyerupai mesin pompa air” atau “ia memiliki tiga anak laki-laki  yang suka buang air kecil di mana saja, terutama suka iseng di punggung orang dewasa.” Ungkapan seperti itu hanya sensasional, tapi tidak masuk ke radar indra dan daya bacaku.

Cara atau modus melakukan kejahatannya tidak masuk akal, terlalu gampang. Misalnya si penjahat dengan mudah mengelabui seorang ibu, membunuhnya secara brutal, dan menculik bayinya tanpa ada kehebohan atau dipergoki orang lain, padahal dilakukan waktu siang di gang padat.

Meski begitu tak urung aku jadi penasaran dengan karya lain penulis ini. Seperti apa kualitasnya? Karyanya sudah dirilis penerbit lain, termasuk pernah dijadikan film. Tentu mereka punya pandangan tertentu waktu memutuskan menerima naskahnya. Pas aku cek ombak di Goodreads sih nada-nadanya mixed reviews, bahkan ada satu karyanya yang mayoritas dikasih satu bintang, dikomentari mengandung banyak bolong.

Ya memang pasti ada yang lewat karena aku tidak tamat baca naskah. Barangkali di bab-bab berikutnya justru muncul potongan terbaik dari kisah tersebut. Tapi, karena tak kunjung mendapat kisah atau lintasan yang mengesankan, aku menyerah saja. Rasanya terlalu lama menunggu untuk mendapatkan ‘ngeuh‘ bahwa kisahnya memang benar-benar layak diperhitungkan.

Awalnya, sebelum akhirnya menolak naskah itu terlintas niat untuk minta penulisnya merevisi naskah itu agar lebih meyakinkan dan menarik. Tapi, aku pikir bakal menghabiskan waktu dan energi. Lebih baik langsung aku serahkan lagi kepada penulis. Editor biasanya memberi alasan menolah naskah, agar menjadi perhatian penulis. Dengan begitu semoga penulis terdorong merevisi naskahnya, tidak putus asa pada penolakan. Siapa tahu nanti begitu dibaca orang lain pandangan dan kesannya lain. Semoga naskah itu lebih baik nasibnya, dapat tempat di penerbit lain. [ ]

Anwar Holid, editor di Penerbit MCL, Jakarta. Blog: halamanganjil.blogspot.com. Twitter: @nwrhld. IG: @anwarholid.

Back to top button