POTPOURRI

Ini Empat Catatan Muhammadyah Dukung Aturan Pengeras Suara Masjid

PP Muhammadyah beri empat catatan agar SE Menag dapat dijalankan dengan baik oleh masjid dan musala

JERNIH-Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti menyatakan Surat Edaran (SE) Menteri Agama 5/2022 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala sudah selaras dengan imbauan Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Prof Mu’ti bahkan menyebut jika Muhammadiyah sepakat dan telah menjalankan hal tersebut jauh sebelum ada aturan tersebut.

“Sebelum adanya Surat Edaran Menag dan imbauan DMI, masjid dan musala yang dikelola oleh Muhammadiyah sudah menerapkan hal tersebut. Bahkan, di masjid dan musala Muhammadiyah sebagian besar tidak ada puji-pujian, selawat, bacaan Alquran sebelum azan,” kata Prof Mu’ti pada Selasa (22/2/2022).

PP Muhammadyah, kata Prof Mu’ti, memberi empat catatan atas SE Menag tersebut, agar SE Menag dapat dijalankan dengan baik oleh masjid dan musala. Sebab Muhammadyah menyadari SE Menag dimaksud untuk mendorong dan membangun kehidupan dan syiar Islam yang berkemajuan.

Berikut empat catatan yang dikeluarkan PP muhammadyah;

Pertama, alasan agar masjid tidak ada pengeras suara luar di atas jam 22.00 waktu setempat bukan untuk membangun harmoni antar umat beragama semata, tetapi untuk membangun kehidupan yang tenang dan dakwah yang lebih substansial.

“Suara loudspeaker yang lantang, menimbulkan “polusi suara” bagi masyarakat sekitar terutama yang ingin beristirahat. Tidak hanya pemeluk agama lain, umat Islam di sekitar masjid sekalipun merasa terganggu,” kata Prof Mu’ti, menerangkan.

Kedua, tentang syarat pengeras suara yang berkualitas rendah, sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan masjid dan musala membeli peralatan yang bagus dan ahli tata suara yang kompeten. “Ini perlu menjadi agenda Kementerian Agama,” kata Prof Mu’ti menambahkan.

Ketiga, tidak semua masjid dan musala memiliki muazin dan qari yang bagus karena manajemen yang masih konvensional. Prof Mu’ti mengatakan, muazin dan qari seringkali bersifat sukarela dan tidak dilakukan oleh profesional.

“Mereka yang menjadi muazin, qari, dan imam tetap yang direkrut secara profesional. Manajemen masjid dan musala perlu ditingkatkan,”.

Keempat, Muhammadiyah mendorong perlu ada musyawarah di antara takmir masjid dan musala yang berdekatan terkait dengan kumandang azan dan bacaan pra azan.

Menurut Prof Mu’ti, tidak adanya musyawarah dan kesepakatan, sering menimbulkan kesan “saling serang” di antara masjid dan musala yang berdekatan.

“Jika lokasi berdekatan, tidak perlu semua mengumandangkan azan dengan speaker luar, cukup masjid dan musala yang speaker, muazin, dan qari yang terbaik saja,”.

Prof Mu’ti mengingatkan pentingnya sosialisasi, sebab selama ini banyak surat edaran dan pedoman yang dinilai hanya formalitas belaka. Prof Mu’ti juga menyarankan agar bekerja sama dengan berbagai pihak agar pelaksanaan berjalan dengan baik. (tvl)

Back to top button