SolilokuiVeritas

“Selamat Jalan IVX”

Tak sampai dua tahun dia cabut. Salah satu alasannya, karena manajemen Tempo menetapkan SMM sebagai Redaktur Eksekutif-1, sementara IVX menjadi Redaktur Eksekutif-2, wakil SMM. Sebelum cabut, IVX sempat mengajak saya dan Niniel ngobrol, lalu menjelaskan masalah dan rencananya. “Anda siap kan, kalau saya cabut dari Tempo?” tanyanya, karena menurut dia, kami harus siap dengan segala konsekuensinya. Kami merasa sedih ketika IVX menceritakan bagaimana tanggapan salah satu bos Tempo saat dia meminta waktu untuk berpamitan, “Lebih cepat lebih baik,” ujarnya. Kami tahu, IVX sangat terluka dengan jawaban itu.

Oleh  : Hanibal W Y Wijayanta

JERNIH– Entah mengapa beberapa hari ini kemampuan menulis saya seolah hilang. Tiap kali menghadap laptop dan menulis beberapa baris, tiba-tiba macet. Agak bersusah-payah saya mengembalikan mood untuk menuliskan kata demi kata. Padahal ada banyak tugas kantor yang harus saya selesaikan dalam sepekan terakhir ini, mulai dari evaluasi tayangan, dan penyusunan narasi  G-20, juga editing naskah buku, dan materi ajar “Sejarah Politik Islam di Indonesia” yang saya ampu.

Apalagi ketika saya ingin memulai cerita tentang Mas Ivan Haris Prikurnia, sahabat, kakak, dan sekaligus salah satu guru jurnalistik saya, yang wafat pada Rabu 2 Maret lalu. Terlalu banyak hal yang ingin saya ceritakan, sehingga justru macet di otak saya. Namun saya terus mencoba menulis satu-satu tentang apa yang saya ingat tentang IVX, dan baru jadi sepekan setelah IVX wafat.

Hanibal Wijayanta

Mungkin tulisan ini terlalu panjang untuk sebuah obituari. Mohon maaf juga jika terlalu banyak cerita saya yang masuk. Tapi dari situ saya memang ingin menjelaskan bahwa IVX sangat mempengaruhi idealisme jurnalistik saya. Saya juga ingin menuliskan semua, agar kawan-kawan tahu, siapa sebenarnya IVX dan segenap idenya tentang jurnalistik, serta situasi yang dialaminya ketika mewujudkan idealismenya jurnalistik yang digenggemnya dengan erat.

+++

Forum Keadilan

Saya mengenal Mas Ivan sejak masih bekerja di majalah Forum Keadilan. Saat itu saya baru lulus Magang 1, dan dipromosikan sebagai staf redaksi, sementara Mas Ivan dipanggil bergabung ke Forum oleh Bang KI –begitu inisial Bang Karni Ilyas– untuk mengisi posisi redaktur pelaksana hukum yang kosong. Sebelumnya saya baru mengenal tulisan-tulisan Mas Ivan di koran Media Indonesia Minggu (MIM), terutama kolom pendek pengantar laporan utama, dengan gaya tulisan yang tajam dan menarik dengan tajuk Dombi, Domba Bisu. Memang, sebelum bergabung dengan Forum Keadilan, IVX –ini inisial Mas Ivan– dipercaya menjadi koordinator redaksi MIM.

Saat itu Media Indonesia Minggu dikelola para wartawan eks Tempo, pasca breidel 1994. Semula IVX adalah salah satu reporter andalan Bang KI saat masih menjadi Redaktur Pelaksana Desk Hukum di Tempo. Kemampuan Sarjana Kriminologi UI angkatan 1981 itu dalam reportase, tembus sumber dan menulis berita Hukum sangat diandalkan KI. Tapi tak hanya soal hukum dan kriminal, IVX pun sangat faham soal politik, keamanan, teknologi militer, dan olah raga. Karena itu, meski saat di Tempo masih menjadi Staf Redaksi setelah lulus M1 saat Breidel, IVX sudah dipercaya untuk menjadi penjaga gawang redaksi Media Indonesia Minggu, mengoordinasi kawan-kawan dan seniornya.

Dibandingkan Tempo, Forum ibarat bocah yang sedang belajar. Perkembangan kemampuan awak redaksi lebih karena kemampuan personal serta tempaan lapangan, bukan karena sistem pendidikan dan jenjang yang ketat seperti di Tempo. Memang, sebagai adik bungsu Tempo, Forum banyak mengadopsi sistem administrasi, jenjang, dan spirit jurnalistik Tempo yang dibawa Bang KI dan Bang Yusril Djalinus (YD). Misalnya jenjang calon reporter ke reporter harus lolos penilaian Sembilan bulan, dari reporter ke redaktur yunior harus lolos Magang 1 (M1), dari redaktur yunior ke Jabrik (Penanggung Jawab Rubrik) harus lewat M2, untuk jadi Redpel harus berhasil di M3.

Tapi di Forum, karena keterbatasan kru redaksi, baru penilaian calon reporter dan M1 saja yang dilembagakan. Kelas editing dan evaluasi seperti di Tempo nyaris tak ada. Mungkin hanya sesekali Bang KI, Bang YD, Bang Panda Nababan (PN), Bang Wina Armada SA (WASA), Bang Noorca M Massardi (NCM) yang ngomel-ngomel gara-gara tulisan jelek. “Kalian jangan malas… jangan nunggu tai anyut,” kata Bang KI saat mengritik tulisan yang tidak di-up date.

“Ini tulisan jelebauw,” kata Bang Panda saat mengeritik tulisan yang kacau, atau kritik super sinis dari Bang YD, “Kamu dapat jatah apa dari Harmoko?” soal tulisan yang dianggapnya terlalu menjilat Menteri Penerangan itu. Pernah pula KI melempar segepok majalah yang baru terbit ke meja rapat redaksi hari Selasa, sambil berkata, “Kalian cuma bikin sampah!”

“Gubrakkk!!”

Kemampuan kru Forum generasi awal dalam meliput dan tembus sumber tampaknya lebih karena pengalaman kesandung-sandung di lapangan. Sudarsono kudu digampar Komandan Pemadam Kebakaran gara-gara mewancarai Sang Komandan saat kebakaran sedang berlangsung, sebelum kemudian jago bikin reportase. Zuhri Mahrus harus ketemu seorang perwira menengah gay di Polda Metro Jaya sebelum menjadi seorang wartawan kriminal yang dingin dan penulis yang jago. Reza Sofyat harus berkawan dengan buronan kelas kakap Hong Lie sebelum diakui sebagai wartawan kriminal. Munawar Chalil pun menjadi wartawan kriminal yang disegani setelah berhasil mewawancarai pembunuh dari Los Angeles, Oky Harnoko Dewantono.

Yang lucu-lucu pun ada. Cak Bas, alias LR Baskoro tidak tahu bahwa lelaki yang lebih mirip tukang kebun yang ditemuinya di sebuah rumah besar di  kawasan Menteng adalah Prof Dr Selo Soemardjan, sosiolog yang harus diinterviewnya, sementara Wahid Rahmanto didamprat Letjen Purn. Sajidiman Soerjohadikoesoemo karena nekat mewawancarainya, padahal hari itu isteri beliau baru saja wafat. Tony Hasyim juga harus merasakan dibentak Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani yang mengerikan di tengah konferensi pers, yang membuat semua wartawan lain kabur kecuali dirinya gara-gara bertanya polos, “Kenapa Bapak nggak mau dijadikan Duta Besar?”, sebelum menjadi pewawancara yang paling tajam di Jakarta.

Saya justru semakin tertarik di dunia politik dan militer setelah berkali-kali didamprat beberapa jenderal gara-gara liputan saya. Salah satunya, Menkopolkam Soesilo Soedarman yang memarahi saya karena bertanya sambil berbisik di telinganya tentang sebuah kasus di Timor-Timur, setelah sebuah konferensi pers tentang hal lain digelarnya.

Kowe seko ngendi?”

Forum, Pak…”

Ooo… kowe kepingin eksklusif yo? Ora iso… ora iso… ayo, wartawan, mlebu meneh, aku arep crito… Iki ono wartawan Forum arep kepingin eksklusif, ora iso…!” Sambil bersungut-sungut wartawan lainnya masuk lagi ke ruangan utama Kemenkopolkam, sementara saya cengar-cengir karena gagal eksklusif.

Kemampuan menulis wartawan Forum bukan karena tempaan kelas menulis dan evaluasi yang ketat seperti di Tempo. Kemampuan menulis lahir karena kami harus bisa menulis dengan baik dan lengkap dengan semua data, reportase, dan wawancara yang kami dapat. Karena itu, tulisan di Forum bukan tulisan indah penuh reportase basah, yang “Enak dibaca dan perlu” ala Tempo. Meski tak indah, tulisan di Forum selalu kaya background, daging –begitu kami menyebut informasi utama sebuah peristiwa– serta quotation yang menggigit. Sebab, bos-bos kami –KI, PN, dan YD– selalu menuntut kami mendapatkan informasi eksklusif. Sementara quotation-quotation tajam sangat penting untuk menarik minat pembaca. “Forum Keadilan harus selalu selangkah di depan,” kata KI saat itu.

Menjelang Breidel 1994, sebenarnya Forum adalah target utama pemerintah Orde Baru untuk dibreidel. Sebab, tulisan Forum yang tajam, rajin mengritik kebijakan pemerintah, dan mendukung gerakan prodemokrasi, sering bikin panas telinga para pejabat Orde Baru. Bahkan menjelang breidel, sudah dua kali Forum menerima surat peringatan keras dari Departemen Penerangan. Satu surat peringatan lagi, Forum almarhum.

Tapi di sisi lain, gara-gara ketajaman quotation para narasumber serta laporan yang selalu menggigit, oplah Forum naik drastis dan tembus 100 ribu eksemplar. Gara-gara ogah dibalap adik bungsunya, Tempo ikut ketularan galak. Sayang, laporan Tempo tentang pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur membuat Pak Harto murka. Akhirnya Tempo dibreidel bersama majalah Editor dan Tabloid Detik, sementara Forum lolos dari lubang jarum.

Pasca Breidel, beberapa wartawan Tempo dan Editor silih berganti bergabung ke Forum Keadilan. Rata-rata mereka sudah di level Penanggung Jawab Rubrik, atau Redaktur Pelaksana yang seusia KI, PN, YD, WASA, maupun NCM. Para wartawan senior Tempo itu tidak terlalu lama di Forum. Konon selain karena kurang klop dengan beberapa pimpinan Forum, mereka kemudian ada yang ikut membangun Majalah Gatra, Majalah Gamma, Majalah Trust, Tabloid Kontan, dan juga membangun kembali Tempo setelah SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers)-nya dihidupkan kembali oleh Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah.

IVX justru baru belakangan menerima tawaran Bang KI untuk bergabung ke Forum. Itu setelah negosiasi perpanjangan kembali kontrak kawan-kawan eks Tempo dengan Media Indonesia tidak mencapai kesepakatan. Padahal awalnya Surya Paloh, Pemilik MI, hendak merekrut mereka sebagai karyawan tetap. “Saat itu kita masing-masing ditawari kendaraan operasional segala, tapi kita tolak. Gila, kan,” kata Kang Moebanoe Moera yang ketika breidel 1994 menjadi Kepala Biro Jawa Timur Tempo. Seingat saya IVX bergabung dengan Forum menjelang Peristiwa 27 Juli 1996.

Bergabung di Forum dalam posisi Redaktur Pelaksana, IVX mudah membaur dengan para reporter, staf redaksi, dan redaktur. Mungkin karena usianya tidak terlalu jauh dengan generasi awal Forum. Sementara dengan gayanya yang friendly, faham masalah dan piawai menulis, dia langsung diakui kemampuannya dalam reportase, menembus sumber, menulis, maupun manajerial keredaksian. IVX pun mendapat tugas dari Bang KI untuk mendidik calon reporter dan reporter baru, menggembleng staf redaksi seperti saya, serta menyamakan standar tulisan para redaktur. “Di Forum, semua orang punya model tulisan sendiri-sendiri, tergantung kemampuan masing-masing,” ujarnya suatu ketika.

Sebagai sarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, saya tak punya modal teori menulis dan jurnalistik yang cukup. Saya tidak seperti Munawar Chalil, Irawati, Ignatius Haryanto, dan Teguh Aprillianto, kawan-kawan seangkatan saya di Forum, yang rata-rata lulusan Ilmu Komunikasi, FISIP, dan bahkan pernah menjadi wartawan. Teori jurnalistik saya minim. Kalaupun saya pernah didapuk menjadi Pemimpin Redaksi Majakah Dinding SMP saya, SMP Negeri Blabak, itu karena tidak ada yang berani. Saya juga hanya nggah-nggih saja saat dicantumkan sebagai staf redaksi Gladiool majalah SMA saya, SMA Negeri 1 Magelang, meski paling hanya sekali dua kali rapat redaksi.

Ketika saya dan kawan-kawan menerbitkan majalah Moment saat tingkat III di IPB, juga terjun bebas tanpa teori, tanpa pemahaman yang cukup tentang jurnalistik. Padahal niatnya muluk banget: menyaingi tabloid resmi IPB, Gema Almamater. Lucunya, di majalah Moment itu saya didapuk menjadi ilustrator merangkap desain grafis —yaelah, padahal cuma gunting tempel lalu difotocopy doang–. Pengalaman mencari kutipan dan literatur di luar Ilmu Eksakta, hanya ketika tingkat I, saat mengikuti praktikum Sosiologi Pedesaan. Dasar-dasar jurnalistik belakangan saya dapatkan di tingkat akhir ketika kawan-kawan HMI menggelar pelatihan di Fakultas Pertanian IPB.

Pelatihan dasar-dasar jurnalistik memang diberikan untuk calon reporter Forum Keadilan. Tapi sifatnya umum, tentang reporting, mewawancarai narasumber, dan menulis laporan. Karena itu, meski sudah dinyatakan lulus Calon Reporter, kemudian lulus M1, dan sudah boleh menulis untuk tulisan-tulisan 1 halaman, saya merasa belum sepenuhnya menguasai teori jurnalistik. Sebagai reporter saya memang selalu menulis reportase dengan lengkap karena saya memang menyukai detail. Saya pun senang diajak mewawancarai tokoh dan mentranskripnya dengan cepat agar bisa mendapatkan informasi lengkap dari para tokoh-tokoh itu.

Saat lulus menjadi staf redaksi, kemampuan menulis saya masih standar, dan tanpa bimbingan. Sebab, Redaktur Pelaksana saya, Mas Sigit Edy Sutomo Mardeo,  cenderung meloloskan tulisan saya tanpa editing sama-sekali. Praktis saya belajar menulis dari tulisan-tulisan para redaktur yang lebih senior di Forum, atau mengikuti gaya tulisan di Majalah Tempo almarhum. Dari berbagai contoh itu, saya bereksperimen sendiri di tulisan-tulisan saya. Rasanya senang juga kalau tulisan dibilang bagus oleh Bang KI, apalagi oleh Bang YD yang sangat pelit pujian. “Lead action yang kamu pakai di tulisan ini bagus,” kata Bang KI suatu saat setelah membaca tulisan dua kolom saya tentang konflik partai di daerah. Sementara YD bilang, “Oke,” ketika saya berhasil merayu dan mewawancarai Prof. Dr. Sarbini Soemawinata, mantan tokoh Partai Sosialis Indonesia, yang telah 20 tahun tak pernah mau diwawancarai pers, setelah ditahan Orde Baru pasca Peristiwa Malari 1974.

Teori jurnalistik yang lebih lengkap baru saya dapatkan dari IVX ketika dia mulai sering mengedit tulisan-tulisan saya. Sebenarnya editing IVX pada tulisan-tulisan saya tidak terlalu banyak. Menurut dia, tulisan saya sudah punya bentuk. Dia hanya menekankan tentang bagaimana sebaiknya outline disusun, mengapa alur cerita perlu ditampilkan secara bergelombang, tentang apa itu segi tiga peristiwa, mengapa reportase yang terlalu berbunga-bunga malah bikin muak, juga tentang apa yang paling menarik dalam suatu berita. “Yang pertama kontroversi… kedua kontroversi, dan ketiga kontroversi… Tidak ada yang lain,” ujarnya dalam sebuah obrolan pasca deadline.

Salah satu pesan IVX yang kemudian menjadi sikap jurnalistik saya hingga kini adalah pentingnya merekonstruksi peristiwa dengan berbagai puzzle informasi yang didapatkan dari para narasumber, dengan adil. “Semakin lengkap puzzle informasi yang kita kumpulkan dari berbagai narasumber, maka gambaran tentang peristiwa itu menjadi jelas dari berbagai sisi. Jadi, jangan pernah langsung percaya kepada cerita seorang narasumber saja,” kata IVX suatu ketika. Gara-gara pesan itu, saya selalu menyusun penugasan liputan dengan lengkap. Bahkan untuk rubrik Forum Utama, penugasan yang saya buat minimal enam sampai tujuh halaman.

Pengalaman merancang liputan, laporan pandangan mata, dan menulis Laporan Utama yang paling seru adalah saat Peristiwa Mei 1998 dan Lengsernya Pak Harto. Saat itu sebagai Penanggung Jawab Rubrik Nasional, saya mendapat tugas dari rapat redaksi untuk membuat hampir seluruh penugasan untuk edisi Reformasi, dan menulis dua tulisan Forum Utama. Setelah seharian menulis penugasan, penugasan dibagikan setelah diedit oleh IVX, Seingat saya penugasan yang saya buat untuk seluruh laporan utama itu sampai 16 halaman.

Selain membuat penugasan, saya juga masuk di kalangan Cendana, Kelompok Militer —baik Kubu Prabowo maupun Kubu Wiranto— serta kasak-kusuk di sekitar Kubu BJ Habibie, bersama Penanggung Jawab Rubrik Wawancara, Tony Hasyim. Seiring dengan perkembangan pergulatan politik dan kesibukan meliput berbagai peristiwa yang terjadi saat itu, waktu seolah berjalan sangat cepat. Apalagi saat itu kami terpaksa harus tidur di kantor karena kerusuhan. Tak terasa hari sudah Jumat, Deadline terakhir. Padahal ada dua tulisan panjang harus saya tulis.

Tulisan pertama, konflik Kubu Prabowo versus Kubu Wiranto, saya sanggup menulis, sementara tulisan kedua, penyusunan Kabinet Habibie, perlu waktu sehingga deadline bisa terlewat. Saya lalu meminta bantuan Zuhri Mahrus, Redaktur Pelaksana Laporan Khusus untuk menuliskan reportase saya. Sebab, saya belum sempat membuat laporan tertulis, sementara hasil liputan dan wawancara masih ada di kepala saya, catatan di notes, serta rekaman wawancara di kaset. Zuhri menyanggupi. Lalu, selama satu jam lebih secara runut saya bercerita kepada Zuhri tentang segala pertemuan, reportase, dan wawancara saya dengan berbagai tokoh politik, ketika Habibie menyusun Kabinet.

Setelah saya bercerita lengkap tentang apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya tanyakan kepada para narasumber saat Habibie menyusun Kabinetnya, Zuhri hanya butuh waktu dua tiga jam untuk merapikan “laporan RRI” saya itu menjadi tulisan yang bagus. Saya acungi jempol ke Zuhri kehebatannya ini. Lalu, saya mulai menulis tentang konflik yang terjadi antara Kelompok Prabowo versus Kelompok Wiranto, yang kemudian diedit IVX, nyaris tanpa koreksi primer.

Majalah Forum Keadilan edisi Reformasi terbit dengan cover berjudul “Setelah Soeharto Mundur.” Kerja keras para reporter, staf redaksi, redaktur, dan para redpel, menyebabkan majalah Forum Keadilan menjadi media paling lengkap dan paling detail dibandingkan media-media lain dalam menulis saat-saat runtuhnya Orde Baru. Sebab, secara langsung kami mengikuti beberapa detail peristiwa dari hari ke hari di berbagai kubu elit politik, meski belum mampu membongkar seluruh jelaga misteri yang terjadi. Paling tidak kami sudah dapat menyusun rincian detik-detik Runtuhnya Orde Baru dalam laporan Majalah Forum Keadilan edisi 25 Mei 1998.

Tugas-tugas dari KI selalu dilaksanakan IVX dengan baik. Hubungannya dengan bos-bos Forum yang tidak berlatar belakang Tempo nyaris tanpa konflik. Sementara kru redaksi didekatinya dengan bersahabat secara personal maupun kelompok, meski dalam hal-hal tertentu dia menunjukkan profesionalitasnya. Misalnya jika menghadapi usulan rubrik atau tulisan yang tidak fokus, angle yang tidak jelas, serta tulisan amburadul. Meski kadang menggerutu, ia lebih sering menyelesaikannya sambil bercanda. Pengalamannya sebagai Pramuka, Pecinta Alam, dan aktifis mahasiswa memudahkannya dalam bergaul. “Di dalam hidup ini, yang paling penting itu ilmu bergaul, Han…,” ujarnya suatu ketika.

Salah satu hobi IVX adalah offroad. Dengan Jimny biru four wheel drive atau Land Rover Devender Merah seri panjang yang dia namai Ki Gempa, IVX kadang mengajak kami patroli kota untuk melepas stress pasca deadline dengan keliling Jakarta. Ia juga mengajak kawan-kawan menjelajah Banten Kidul, di mana dia diangkat anak oleh Sang Tetua Adat di sana. Ia pun pernah membawa kawan-kawan dan mengenalkannya dengan Suku Baduy. Lalu, selama bertahun-tahun ada orang Baduy luar yang selalu datang ke Forum di Velbak sebulan dua bulan sekali untuk menjual madu, kain sarung, dan baju tenun Baduy. Darah Menes yang mengalir di tubuh IVX, membuatnya sangat menjiwai Banten.

Suatu saat, pasca Kerusuhan Mei 1998, saya dan Munawar Chalil diajak IVX menjelajahi pinggang Gunung Salak di sekitar Cidahu. Saat itu kami ingin melacak dan membuktikan adanya tempat latihan para provokator Kerusuhan Mei yang disponsori seorang Jenderal purnawirawan. Kami memang mendapati bekas-bekas latihan berikut sisa-sisa api unggun di tempat yang diinformasikan sumber kami. Kesaksian warga tentang adanya sekelompok orang yang berlatih di tempat itu juga kami dapatkan. Tapi kami belum bisa memastikan bahwa orang-orang itu adalah para provokator yang dimaksud sumber kami.

Saat itu kami naik Jimny Biru Four Wheel Drive yang dikendarai IVX. Sampai akhirnya, ketika hari sudah Maghrib, Jimny Biru itu mogok. Utak-atik aki, busi, mesin dilakukan dengan penerangan korek api gas. Sampai plastik korek api meleleh, mesin tak juga hidup. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap di dalam mobil Jimny di malam gelap gulita berangin dingin dan kencang itu. Pagi harinya kami terbangun dan mendapati bahwa di samping kanan jalan itu adalah jurang, sementara di samping kiri jalan adalah padang kuburan. Anehnya, pagi itu mesin langsung hidup ketika IVX menstarternya. “Wah semalam ada yang kepengin ditemenin rupanya,” kata IVX sambil tertawa.

Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah ketika saya menulis tentang bursa calon KSAD di masa Gus Dur. Dalam tulisan itu saya menyoroti beberapa perwira tinggi TNI yang berpotensial menjadi KSAD dan menimbang kans mereka. Salah satu yang saya soroti adalah Letnan Jenderal X. Saat itu saya tulis bahwa meskipun dekat dengan Gus Presiden, tapi kemungkinan dia tak akan terpilih menjadi KSAD. Sebab, beberapa tahun sebelumnya ia terlibat kasus perundungan seksual terhadap kawan seangkatannya di Lemhannas. Kebetulan saat itu IVX-lah yang menolong Mbak Z, beberapa saat setelah perundungan itu. Sebab, pasca breidel 1994, beberapa wartawan Tempo termasuk IVX, sempat menjadi ghost writer beberapa peserta kursus Lemhannas. Sementara, saya juga mendapat cerita tentang kasus itu dari beberapa perwira tinggi militer, teman seangkatan mereka di Lemhannas.

Rupanya Sang Jenderal tidak terima dengan tulisan saya itu. IVX kemudian menemui Sang Jenderal bersama dua staf redaksi di bawah Rubrik Nasional: Johan Budi SP dan Victoria Sidjabat. “Kamu nggak usah ikut saja, Han,” kata IVX yang melarang saya ikut menemui Sang Jenderal. Dalam pertemuan itu, mewakili Forum, IVX meminta maaf kepada Sang Jenderal. Tapi rupanya Sang Jenderal masih ingin membuat perhitungan kepada saya. “Gua memang sudah tua, tapi gua K***s, Gua akan cari anak ini,” pesannya kepada IVX.

Maka, selama tiga bulan berikutnya saya cukup stress juga dan harus pulang pergi kerja lewat jalan yang berbeda. Sampai suatu saat, ketika saya sedang menunggu Fadli Zon dan Bang Din Samsuddin di CPDS, di jalan Suwirjo, Menteng, tiba-tiba Letjen Prabowo Subianto datang bersama Mayjen Muchdi PR. Saat itu keduanya sudah dipensiunkan dini. Begitu melihat saya, 08 –inisial Prabowo— langsung menyapa.

“Eh, Hanibal, kamu dicari sama X,” katanya sambil tersenyum.

“Lah, kok tahu, Mas?”

“Kemarin saya ketemu dia, hahaha… Memang kamu nulis apa?”

“Soal Calon KSAD, termasuk soal Mbak Z itu, Mas…”

“Hahaha… berani juga kamu, ya…”

“Habis, kan dulu Mas dan beberapa Jenderal lain juga cerita, Mas…”

“Hahaha…”

“Terus Mas jawab gimana?”

“Aku bilang, dia juga nulis macam-macam tentang saya, Bang… hahaha…”

“Waduh, kok gitu, Mas…”

Saat itu Muchdi langsung menyela.

“Kamu takut ya, Bal?”

“Ya iya lah, Gus –panggilan akrab Mayjen Muchdi PR adalah Gus Much–. Soalnya dia ngancem, katanya mau nyari saya, Gus.”

“Sudah, kamu tenang saja. Gua udah bilang sama dia, “Lu jangan macem-macem X, dia itu anak saya…”

Sejak itu saya merasa lebih tenang dan tidak lagi harus mencari jalan yang berbeda saat pulang pergi ke kantor. Untung juga Letjen X hanya mengenal nama saya saja, tapi tidak mengenal wajah saya secara langsung. Meski saya yakin, dengan kemampuannya sebenarnya dia mampu melacak saya, juga soal kedekatan saya dengan beberapa narasumber di kalangan sipil dan militer, termasuk Prabowo dan Muchdi.

Koran Tempo

Ketika manajemen Forum Keadilan berubah, KI pindah ke SCTV dan memimpin Liputan 6. Lalu, IVX pun cabut dan sempat membantu KI. Tapi tak lama kemudian IVX kembali ke Tempo. Bukan untuk bergabung dengan majalah Tempo, IVX justru diminta manajemen Tempo untuk menyiapkan Koran Tempo. Saat itu saya sempat bertemu dengan IVX dan tertarik dengan ajakannya untuk bergabung. Sebab Koran Tempo diniatkan untuk mengimbangi dominasi opini Kompas.

Setelah lolos psikotes, saya dan Widiarsi “Niniel” Agustina, mantan reporter Forum Keadilan yang sempat mampir ke Astaga.com, menjadi kru awal Koran Tempo yang direkrut IVX. Dipimpin IVX kami mulai merancang konsep Koran Tempo di Gedung Telekomsel di pojokan seberang Tugu Proklamasi. Sambil menyiapkan Koran Tempo, saya dan Niniel juga didapuk menjadi redaktur Tempo Interaktif di kantor Tempo,  Jalan Proklamasi 72, bersama Mas Prasidono “Inod” Listiadji dan Gita Lingga. Saat itu kami diperkuat reporter Tempo News Room generasi pertama, angkatan Dara Meutia Uning dan Istiqomatul Hayati, juga angkatan Tomy Aryanto, Eduardus Karel Dewanto, Cahyo Djunaedi, dan sebagainya. Saat Tempo News Room kemudian pindah ke Velbak, dan saya menjadi koordinator sementara.

Begitu pindah ke Velbak, langkah persiapan membangun Koran Tempo semakin serius. Tugas sebagai Koordinator TNR kemudian dialihkan kepada Kepala Biro Jakarta Majalah Tempo, Widjajanto, agar saya lebih serius menyiapkan koran tempo. Pemimpin Redaksi Tempo Mas Bambang Harimurty (BHM) lalu menambahkan Mas Sri Malela Mahargasarie (SMM), desainer grafis dan ilustrator Tempo mendampingi IVX. Konsep keredaksian dan penulisan, seperti gaya tulisan tidak bersambung, dirancang IVX, sementara grafis, layout, dan perwajahan dirancang SMM. Sementara saya dan Niniel selain membantu mendetailkan rubrikasi dan anatominya, juga memberi masukan orang yang layak direkrut. Maka selama tiga bulan kami jadi headhunter. Beberapa kawan wartawan dari berbagai media kami kontak dan kami tawari untuk memperkuat Koran Tempo.

Awalnya IVX merancang Koran Tempo dengan warna peach seperti The Financial Times. Tapi rupanya kertas koran warna peach mahal dan bakal memakan biaya. Akhirnya rancangan ini terpaksa dipinggirkan. Pilihannya kertas koran putih broadsheet seperti koran konvensional saat itu. Lalu, memasuki tahun 2000, rekrutmen dipercepat. Beberapa nama kawan dari Forum Keadilan yang jago reporting dan menulis saya sodorkan ke SMM, tapi hanya sedikit yang disetujui. Beberapa orang yang berasal dari media lain justru disetujui. Karena Tempo akan membuat koran, maka yang kemudian banyak direkrut oleh SMM adalah wartawan koran, terutama dari Republika.

Tak banyak orang yang tahu bahwa edisi pertama Koran Tempo sengaja dirancang IVX untuk terbit pada tanggal 2 April 2000, tepat pada hari ulang tahunnya. Para bos di Tempo tampaknya juga baru belakangan ngeuh. Saat itu saya kemudian didapuk menjadi Redaktur Bidang Nasional. Saya mendengar dari IVX bahwa pada awalnya beberapa bos di Tempo tidak terlalu setuju jika saya di posisi itu. Sebab, saya menjadi redaktur bidang termuda di jajaran redaktur bidang, sementara nasional adalah rubrik yang berat. IVX-lah yang meyakinkan mereka bahwa saya mampu dan layak duduk di posisi itu.

Saat itu saya dibantu oleh para redaktur halaman, masing-masing Budi Setyarso di halaman politik, Niniel (ex Forum) di halaman Hukum dan Sosial, Usman Sosiawan, yang kemudian digantikan oleh Thontowi Jauhari, di halaman laporan panjang, serta Wahyudi M Praptopo di halaman Nusa. Sementara reporter di bawah Nasional ada sembilan orang yang berasal dari berbagai media, masing-masing Kurie Suditomo, Oman Sukmana, Fajar Hermawan, Ajat Sudrajat, AM Fikri, Tjandra Dewi, Sukma N Loppies, Jobpie Sugiarto, dan Maria Hasugian.

Bersama-sama kami bahu-membahu membangun Desk Nasional menjadi desk yang kuat. Tak hanya mengandalkan reporter, saya pun menekankan kepada para redaktur halaman maupun kepada saya sendiri untuk selalu memantau lapangan, mencari background dari para narasumber dan juga mendalaminya. Karena itu Desk Nasional paling sering menjadi headline dengan berita-berita eksklusif. Sampai-sampai ada Redaktur Pelaksana yang bertanya ke saya, mengapa tulisan saya tentang Prabowo berbeda dengan media lain. Saya bilang, “Itu cerita dia sendiri, Mas. Saya bisa kontak langsung ke 08. Kalau Mas mau, saya teleponkan dia,” jawab saya. “Oh, oke kalau begitu,” ujarnya.

Rupanya mengelola koran berbeda dengan mengelola majalah, yang sudah puluhan tahun ditangani Tempo. Kami memang sering sekali mendapat berita eksklusif serta kasus-kasus kontroversial yang kemudian menjadi headline dan mempengaruhi kebijakan pemerintah Gus Dur dan Mega. Laporan eksklusif kami pun sering membuat koran lain terkaget-kaget. Tapi ternyata oplah Koran Tempo cenderung stagnan. Dugaan awal karena pemasaran Koran Tempo mirip dengan Majalah Tempo yang mengandalkan pelanggan. Karena itu diupayakan agar penjualan eceran diperbesar.

Tapi di lapangan ada masalah lain. Ternyata pada pagi hari, ketika sampai ke agen, Koran Tempo langsung “diduduki” oleh agen koran, dan baru diedarkan setelah siang. Konon para agen itu diancam untuk tidak menjual Koran Tempo pagi-pagi, dan baru boleh menjual kepada loper setelah pukul 10 pagi atau bahkan pukul 12 siang. Jika melanggar, mereka tidak akan mendapatkan jatah mengedarkan semua koran, tabloid, dan majalah terbitan grup media yang merasa tersaingi Koran Tempo itu. Menanggapi hal ini, IVX hanya berkomentar pendek. “Ini hanya mengunduh karma…” Menurut beberapa wartawan senior Tempo, dulu ketika sebagian wartawan Tempo mendirikan Editor, bagian pemasaran Tempo pun melakukan hal yang sama.

Sayang, IVX tidak lama bersama Koran Tempo. Tak sampai dua tahun dia cabut. Salah satu alasannya, karena manajemen Tempo menetapkan SMM sebagai Redaktur Eksekutif-1, sementara IVX menjadi Redaktur Eksekutif-2, wakil SMM. Sebelum cabut, IVX sempat mengajak saya dan Niniel ngobrol, lalu menjelaskan masalah dan rencananya. “Anda siap kan, kalau saya cabut dari Tempo?” tanyanya, karena menurut dia, kami harus siap dengan segala konsekuensinya.

Kami merasa sedih ketika IVX menceritakan bagaimana tanggapan salah satu bos Tempo saat dia meminta waktu untuk berpamitan, “Lebih cepat lebih baik,” ujarnya. Kami tahu, IVX sangat terluka dengan jawaban itu.

But live must go on. Saya tetap menjadi Redaktur Bidang Nasional, dan bersama kawan-kawan reporter dan redaktur halaman menghasilkan berita-berita eksklusif, dalam, dan berdampak. Tapi, gara-gara isu Nasional yang ditulis Koran Tempo muncul lebih dulu dari pada di Majalah Tempo, beberapa gesekan sempat terjadi. Beberapa kali kami dianggap mencomot ide Laporan Utama majalah. Sementara itu, karena koran terbit harian dan kami memunculkan perkembangan isu itu setiap hari, maka bagi majalah, isu itu keburu basi. Kalaupun mereka masih memunculkan isu itu, mereka dituduh hanya sekadar merangkum dari koran. Akhirnya, setelah tiga tahun menjadi Redaktur Bidang di Koran Tempo, saya digeser ke Majalah Tempo, sepulang tugas belajar ke ABC Australia selama tiga bulan.

Saat itu, beberapa hari setelah pulang dari Australia, saya kaget karena saat masuk kantor, di meja saya di pojokan lantai 3 Velbak, sudah duduk Johan Budi SP, koordinator TNR setelah Widjajanto, yang langsung bercerita, “Han, lo ke majalah. Gua yang disuruh gantiin lo…” Saya pun terperangah. Sebab, saya mengira Johan hanya sementara menggantikan posisi saya sebagai Redaktur Bidang Nasional, selama saya tugas belajar ke Australia. Saya kemudian menanyakan hal itu kepada SMM, dan ternyata benar. Saya harus ke Proklamasi dan mengikuti program M3, Magang Redpel.

Di kantor Tempo Proklamasi, awalnya saya menjadi Jabrik Hukum di bawah Redaktur Pelaksana (Redpel) Sudarsono, kawan lama di Forum Keadilan. Beberapa bulan kemudian saya bergeser menjadi Jabrik Nasional di bawah Redpel Arif Zulkifli. Dari Arif Zulkifli saya banyak belajar tentang menulis indah ala Jurnalisme Sastrawi. Nah, berhubung saya menjadi Jabrik Nasional yang magang M3, maka selama dua tahun pertama di Majalah Tempo, hampir setiap minggu saya kebagian jadi penanggung jawab sekaligus penulis Laporan Utama. Sementara saya adalah seorang redaktur yang sering tidak puas dengan liputan reporter, sehingga merasa harus reporting langsung ke lapangan untuk mendapat daging berita.

Sampai-sampai Bang Amarzan Lubis, mantan wartawan Harian Rakyat yang kemudian menjadi salah satu guru menulis kami di Tempo, pernah berkomentar kepada saya, “Kenapa kamu sekarang makin kucel saja, Han…?” Setelah menceritakan duduk masalah yang saya hadapi kepada Bang Amarzan, kemudian saya mulai merasakan pergiliran yang lebih longgar untuk menggarap laporan utama. Sebagai penanggung jawab laporan utama saya kadang diselingi Agung Ruliyanto, Nezar Patria, atau Wenseslaus Manggut

Ketika saya M3 di Majalah Tempo, IVX justru semakin mendalami jurnalistik televisi. Dia bergabung dengan RCTI sebagai wakil pemimpin redaksi. Kami sempat bertemu dan ngobrol panjang tentang perkembangan situasi saat diajak Kak Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Seokernoputri, meninjau dampak Bom Bali 1. Saat itu IVX sempat dijanjikan oleh pemilik RCTI, Hari Tanoesoedibjo (HT), untuk menduduki kursi pemimpin redaksi RCTI. Mobil Audi seri terbaru pun sudah disiapkan untuknya.

Tapi tiba-tiba ada orang lain yang dipasang menjadi pemred RCTI.  Konon orang itu membawa katebeletje Kak Taufiq Kiemas. Sebenarnya IVX masih diminta HT untuk tetap menjadi wapemred plus fasilitas pemred yang dijanjikan HT. Tapi IVX sudah terlanjur patah. Dia mundur dari RCTI, dan kemudian kembali membantu Bang Karni Ilyas di Jakarta Lawyers Club dan kemudian juga di SCTV.

ANTV

Saya dan IVX kemudian bekerja sama lagi ketika Bang Karni Ilyas diminta Pak Nirwan Bakrie untuk menjadi pemimpin redaksi ANTV ketika Star TV masuk, pada tahun 2006. Saat itu sebenarnya saya tinggal menunggu waktu untuk dinyatakan lulus M3 dan menjadi Redpel di Tempo. Saat itu Nugroho Dewanto, Redaktur Ekonomi Tempo, menyarankan agar saya tetap di Tempo. “Di tempat lain kita tidak mendapatkan suasana seperti di Tempo. Sementara di Tempo, posisi kamu sudah jelas, dan tidak perlu cape-cape lagi seperti sebelumnya. Kamu lebih bisa jaga kesehatan,” ujarnya. Rupanya dia memperhatikan saya yang langganan kena typus selama di Tempo.

Tapi tekad saya sudah bulat. Setelah diberitahu IVX bahwa Bang KI membutuhkan saya untuk memperkuat tim liputan harian di ANTV, saya sudah siap meninggalkan Tempo. Memang, jika pindah ke ANTV, saya harus memulai dari level Assignment Producer atau Koordinator Liputan, yang masih setingkat Redaktur di  Tempo. Untuk Redaktur Pelaksana di majalah, level yang sejajar adalah Produser Eksekutif di televisi. IVX sudah menjelaskan pula tentang hal itu. Tapi saya memang ingin belajar tentang jurnalistik televisi, sehingga bagi saya tidak ada masalah jika saya harus memulai dari level itu. Sementara, fasilitas dan imbalan yang akan saya dapat menurut saya cukup.

Dorongan utama kepindahan saya dari media cetak ke televisi adalah setelah membaca pendapat konglomerat media dunia Ruppert Murdoch. “Masa depan media massa adalah televisi. Media cetak sebentar lagi akan menjadi masa lalu,” ujarnya. Alasan yang lain, saat itu saya mendapat informasi yang kurang nyaman, soal saya yang dianggap terlalu dekat dengan militer dan intelijen oleh seorang bos di Tempo. “Hanibal itu gayanya keintel-intelan, dan terlalu dekat dengan tentara,” ujar sang Bos sebagaimana diceritakan oleh seseorang yang mendengar langsung ucapan itu.

Padahal, hubungan saya dengan para jenderal dan petinggi intelijen itu karena tugas saya sebagai penanggung jawab Rubrik Nasional yang sering menulis tentang mereka. Saya selalu menjaga hubungan dengan mereka agar tetap profesional, dan tidak terkooptasi dengan mereka. Salah satunya dengan selalu mengajak Niniel, atau staf redaksi yang lain tiap kali bertemu dan mewawancarai para jenderal dan tokoh intelijen itu. Justru dari beberapa perwira tinggi militer sumber saya, saya mendapat informasi tentang kedekatan salah satu petinggi Tempo itu dengan kalangan intelijen dan militer.

Di ANTV, saya menjadi koordinator liputan, sementara IVX menjadi GM Current Affairs. Di hari pertama masuk ke ANTV, KI memanggil saya di ruangan kerjanya. “Levelmu seharusnya sudah prodeks, tapi kamu di Korlip dulu sambil belajar televisi sama Ivan, ya,” ujar KI dengan suara seraknya yang khas. Saya pun siap.

Maka, di ANTV selain menata dan mengendalikan tim liputan harian, saya juga hampir selalu mengikuti pelatihan CA yang dipandu IVX bersama Amanullah “Pak Uwoh” Hasan, dan Alam Burhanan. Di Korlip saya bahu membahu bersama Mas Machsus Thamrin, Cak Muchlis Ainurrafiq, Chairul Achir, dan Muhammad Ridwan. Saya juga pernah merekrut Sukma N Loppies, staf redaksi saya di Koran Tempo yang jago liputan hukum untuk menjadi asisten korlip. 

Dari pelatihan yang dirancang IVX saya mengenal soal berbagai aktivitas pre-production dan post-production, apa saja yang perlu disiapkan dalam liputan audiovisual. Berbagai istilah media televisi dan perlakuannya seperti Set Up Sequential Shoot atau SUSS, Out of Vision alias OOV, SYNC, SCENE, dan sebagainya, baru saya dapat dari dia. Juga soal mengoptimalkan operasi camera, ide serta alasan pengambilan gambar dari berbagai angle dan ukuran sehingga menghasilkan beauty shoot. Begitu pula presenting, dan penulisan naskah Audio-Visual yang berbeda dengan tulisan di koran atau majalah.

Sebagai korlip saya juga biasa membantu menulis berita untuk program-program di shift pagi hingga sore seperti Topik Siang dan Topik Petang. Tapi, sebagai bekas wartawan Tempo yang biasa menulis laporan utama berlembar-lembar, kemudian menulis berita bulletin televisi yang paling hanya lima sampai enam alinea, awalnya saya memang sempat stress juga.

“Masa cuma begini saja harus diberitakan,” pikir saya ketika itu. Nah, saya kemudian baru merasakan keasyikannya di jurnalisme televisi ketika membuat laporan indepth untuk program-program CA sepanjang minimal 30 halaman.

Karena itu, agar semakin memahamkan saya tentang liputan indepth televisi, dalam posisi tetap menjadi Korlip, saya sempat meminta ke IVX agar boleh magang di CA. Saat itu saya mengerjakan berbagai proyek indepth reporting di mana saya menjadi reporter sekaligus produser. Beberapa indepth reporting yang saya buat saat itu diantaranya kasus korupsi mantan Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, Jamaah Islamiyah pasca penangkapan Oni Syahroni dan kawan-kawan, Pembubaran NAMRU, serta Pembebasan Ustadz Abu Bakar Baasyir.

Di ANTV saya juga belajar teknis siaran televisi dan penataan program Manager News Gathering, Kang Endang Suryana, serta beberapa prodeks dan program director di ANTV. Untuk pengiriman gambar via BGAN, RBGAN, steraming, feeding, dan SNG, saya pelajari dari Koordinator Cameraman ANTV Sang Nyoman Sidan, atau kawan-kawan cameraman yang mendampingi saya di lapangan. Sementara, liputan perang sebagai wartawan televisi saya lakukan saat meliput Perang Gaza Desember 2008 – Januari 2009.

Dua tahun berjalan, mulai muncul beberapa perbedaan pendapat antara Bang KI sebagai pemimpin redaksi ANTV dengan manajemen Star TV. “Saya kan Pemred di sini, tapi nggak boleh bergerak, buntut saya dipegangin melulu. Bujet dibatasi,” ujar Bang KI kepada saya suatu ketika. Saya ingat beberapa bulan sebelumnya, ketika saya ditugasi untuk meliput Pilkada pertama di Aceh tahun 2006, bujet liputan saya dan tim tidak segera turun sehingga Bang KI merogoh kocek dari kantongnya sendiri untuk mengirim saya dan tim ke Aceh.

Maka, ketika Grup Bakrie mengakuisis Lativi, Bang KI sempat memanggil saya dan IVX. Bang KI menawari kami untuk ikut pindah ke TVOne seperti beberapa kawan dari SCTV yang ikut pindah. Tapi saat itu saya yang baru dua tahun belajar jurnalisme televisi dan masih asyik membangun tim news gathering, masih agak ragu. IVX yang sedang asyik-asyiknya membangun tim CA juga masih agak berat melepas ANTV. “Ya sudah nggak papa, kalian di sini dulu, kalau ada apa-apa kalian tinggal telpon saya saja kalau mau bergabung ke Pulogadung,” ujarnya.

Saat itu saya merasa ANTV telah menjadi rumah baru, tempat saya belajar jurnalisme televisi. Saya pun sedang asyik membangun tim liputan. Saya yang ketika masih menjadi redaktur di Tempo sangat individual dan sering tidak puas dengan liputan reporter sehingga selalu turun ke lapangan sendiri, ketika di ANTV saya harus bisa mengarahkan reporter dan cameramen seperti yang saya inginkan. Apalagi usulan saya agar tim news gathering dibagi berdasarkan kompartemen diterima. Sebagai Prodeks Liputan, saya berusaha mengajak semua kru, baik yang disebut sebagai orang ANTV lama maupun orang baru, untuk bekerja sama dengan kompak.

Meskipun bukan televisi berita, saat itu ANTV memiliki tim news gathering yang kuat. Untuk tim Jakarta, di shift subuh ada dua tim ENG (Electronic News Gathering), di shift pagi ada 12 tim ENG, di siang ada 8 tim ENG, sementara di malam ada dua ENG.

Belum lagi para kontributor Jabodetabek yang selalu saya absen tiap pagi ketika saya dalam perjalanan ke kantor. Karena itu tiap hari selalu ada liputan utama yang saya siapkan untuk tayang di Topik Petang yang diliput dua hingga tiga tim ENG. Alhamdulillah, meski bukan televisi berita, saat itu berita ANTV diakui kredibilitasnya. Di antaranya ketika kami leading dalam berbagai berita penanggulangan terorisme termasuk menampilkan berbagai kejanggalannya, pembubaran NAMRU, meninggalnya Pak Harto, dan sebagainya.

Suatu saat, menjelang Pemilu 2009, saya ditelepon anak buah Menteri Sekretaris Negara, Letjen Sudi Silalahi. Ia mengaku diperintah oleh Pak Sudi untuk meminta saya masuk ke Istana, menjadi staf khusus. Memang, sejak menjelang pemilu 2004, ketika saya M3 di Majalah Tempo, saya cukup dekat dengan SBY. Beberapa kali pula saya mewawancarai SBY langsung, tanpa perlu bolak-balik editing seperti kawan-kawan wartawan yang lain. Saat pertama kali masuk istana sebagai Presiden, saya pun mendapat kesempatan meliput hari pertama SBY di Istana Merdeka. Setelah itu saya diminta Ibu Anni Yudhoyono untuk mengurus ID card Istana. Beberapa kali saya pun ikut kunjungan SBY ke berbagai negara.

Saat itu saya hanya bercerita kepada Pemred ANTV Mbak Uni Lubis dan kemudian ke IVX tentang tawaran itu. Mbak Uni bilang,“Sayang karir wartawanmu, Han…” Sementara IVX hanya tersenyum-senyum saja mendengar cerita saya. “Terserah sampeyan, sih, Han,” ujarnya. Saat itu saya sempat bertanya kepada utusan Pak Sudi itu, “Mengapa saya, bukan kawan saya yang lain seperti Imelda Sari yang lebih dekat dengan Pak SBY.” Kata dia, “Kami tahu anda yang sebenarnya lebih nyambung dengan beliau.” Pada akhirnya saya memilih untuk tetap jadi wartawan. Meskipun demikian, saat itu saya bisa menelpon dan SMS langsung dengan Pak SBY maupun Ibu Ani.

Beberapa bulan kemudian, di tengah serunya mengelola tim gathering, saya mendapat kabar bahwa IVX terkena hepatitis. Saya kurang jelas bagaimana asal muasalnya, tapi kondisi IVX menjadi lemah. Apalagi sebelumnya dia juga sudah menderita diabetes. Setelah menjalani pengobatan yang cukup panjang akhirnya IVX diyatakan sembuh dari hepatitis. Namun, diabetes yang diidap sebelumnya menjadi semakin berat. Karena kesehatannya, IVX kemudian digeser ke posisi Manager News Development yang merancang program-program baru dan melatih para reporter dan cameraman baru. Sementara itu, selama tujuh tahun saya bolak balik dari Prodeks Liputan, lalu ke Prodeks CA, kemudian Prodeks Liputan lagi, dan kembali ke Prodek CA lagi, sebelum dipromosikan menjadi Manager News.

Meski kondisi sudah tidak fit, saat mengajar IVX seolah melupakan semua sakitnya. Dia bisa tahan berjam-jam saat menerangkan tentang jurnalisme televisi, mengoperasikan camera, merencanakan cerita, menggali ide, teknik pengambilan gambar, hingga menulis naskah. Ia pun kuat mendampingi anak-anak praktikum liputan dengan segala standard liputan CA yang diperkenalkan IVX, yang sangat perfeksionis. Tak jarang para reporter dan cameraman sampai gemetaran karena bolak-balik mengulang adegan dan pengambilan gambar setelah didamprat IVX karena salah mulu.

IVX pun tahan melek sampai larut malam saat mengajar. Kalau sudah begitu, hanya saya yang berani mengingatkan IVX kalau hari sudah larut malam, dan dia harus segera istirahat.

Perfeksionisme IVX dalam soal jurnalisme televisi, menyebabkan dia kemudian diminta untuk menyusun modul Uji Kompetensi Jurnalistik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (UKJ-IJTI). Dengan didukung beberapa kawan dari stasiun televisi lain, IVX berhasil menyelesaikan modul UKJ IJTI pada tahun 2015. “Hampir semua isi modul UKJ IJTI adalah buah pikiran Ivan,” kata Kang Banoe, salah satu anggota tim penyusun UKJ-IJTI.

Dengan modul UKJ-IJTI itu standardisasi kemampuan para jurnalis televisi diseragamkan. Sementara, setelah lulus UKJ dan menjadi Jurnalis Utama, saya pun ikut masuk sebagai tim uji kompetensi bersama IVX dan kawan-kawan jurnalis senior lainnya.

Di luar urusan kantor, saya masih sering jalan bareng IVX untuk ketemu narasumber, menumpang Jimny biru four wheel drive-nya, atau Si Gempa –Land Rover Devender Merahnya–, atau kadang juga menumpang Ford Everest merahnya. Bahkan hampir setiap malam, saya pulang bareng IVX sampai ke Antam sebelum nyambung naik taksi ke rumah, karena IVX tinggal di Jalan Sirsak, Srengseng, sementara saya di Cibubur. Kadang kami mampir makan di MM Juice Blok M, atau di Café Papyrus di TB Simatupang, atau salah satu tempat makan di dekat Tanjung Barat yang saya lupa namanya. Setiap kali makan, IVX yang selalu buka dompet. Dia tak mau dibayarin. Gantian bayarin pun dia tidak mau. “Jangan Han, aturan premannya, boss yang harus bayarin, hehehe…,” ujarnya suatu ketika.

Walaupun suka ngomel-ngomel saat mengajar dan menghadapi reporter atau cameraman yang lelet mikir, IVX sebenarnya orang yang sangat sabar. Kadang-kadang, ketika jalan pulang bersama IVX sementara hari sudah larut malam dan saya sudah kecapean karena selalu menyempatkan diri ketemu narasumber dulu sebelum balik ke kantor lalu pulang. Kadang saya terkantuk-kantuk di jok samping, sementara IVX mengendarai Jimny birunya. Kadang obrolan soal situasi terakhir sempat jalan sebentar, tapi kemudian tanpa balasan, karena saya sudah keburu molor. Biasanya menjelang Antam, IVX selalu membangunkan saya. Dengan tergeragap saya bangun dan langsung meminta maaf kepadanya karena ketiduran. IVX pun selalu hanya tertawa, sambil berkata, “Iya Han, nggak papa… tenang saja.”

Tahun 2016, Pak Ardi Bakrie dan Bang KI memanggil saya ke Pulogadung, dan saya tak bisa menolaknya. Tak lama kemudian IVX pensiun dini dari ANTV karena kondisi kesehatannya semakin kurang menggembirakan. Saat itu dia harus menjalani hemodialisa dua kali sepekan, sementara katarak karena diabetesnya pun mengganggu matanya. Kami masih terus kontak-kontakan, dan dua kali sempat menengoknya di Jalan Sirsak. Seperti biasa IVX tampak gembira saat ngobrol dan seolah melupakan sakitnya, sehingga saya yang memang gembeng pasti berkaca-kaca melihatnya. Namun saya juga merasa sangat gembira ketika IVX bercerita bahwa dia sudah rajin shalat lima waktu.

Pandemi covid selama dua tahun ini membuat saya tak berani menengok IVX. Selain karena sempat terjangkit covid dari 12 September hingga 28 Oktober 2020, saya pun takut kedatangan saya hanya akan menulari IVX yang tak mungkin divaksin, sementara dia punya komorbid. Akhirnya kami hanya kontak-kontakan lewat telefon, karena kataraknya membuat dia tak mungkin membaca teks WA. Sebulan lalu, ketika Pak Uwoh meninggal, saya sempat memberitahu dia. Rupanya dia sudah mendapat kabar meninggalnya Pak Uwoh dari kawan yang lain. “Kaget juga. Ga pernah tahu Uwo ada penyakit jantung,” ujarnya via WA.

Saya merasa senang karena IVX bisa membalas WA saya dengan teks. Sebab hal itu berarti penglihatannya sudah membaik. Karena itu saya pun berencana untuk menengok IVX jika pandemi covid mulai mereda. Maka, ketika pada 1 Maret lalu saya mendapat kiriman WA dari Muhammad Husni, bekas reporter Forum yang kini menjadi eksekutif di salah satu perusahaan sawit, tentang kondisi IVX yang sedang dirawat di RSUD Pasar Minggu dan dalam kondisi memburuk, saya pun terperanjat. Husni mengaku mendapat kabar itu dari grup ILUNI FISIP UI yang diikutinya.

Ketika kabar wafatnya IVX sampai di WA saya, pada Rabu Siang 2 Maret lalu, tak terasa air mata meleleh di pipi. Saya tak bisa berkata-kata, pamit dari kantor, dan langsung berangkat ke Pemakaman Karet Bivak, peristirahatan terakhirnya.

                                                   ++

Alunan suara tarhim dari masjid-masjid dan mushala di sekitar kompleks pemakaman Karet Bivak, sudah mulai terdengar sayup-sayup, ketika peti putih itu diturunkan dari ambulans hijau tentara yang membawanya dari RSUD Pasar Minggu, Rabu Sore, 2 Maret lalu. Saya dan beberapa kawan yang hadir di pemakaman tua itu pun sontak berdiri, menyambut kehadiran jenazah sahabat kami, Mas Ivan Haris Prikurnia. Jazadnyalah, yang terbungkus dalam peti putih itu, setelah paginya ia berangkat menemui Sang Khaliq.

Perlahan peti jenazah itu dipanggul beberapa petugas berpakaian APD lengkap, mendekati liang kubur yang telah terbuka, dengan dikawal Fatah, anak lelaki IVX. Sore itu jenazah lelaki kelahiran Banjarmasin, 2 April 1965 itu hendak dimakamkan dengan protokol covid, di atas pekuburan ibu dan ayahnya, Hj Leily Mahanum Suleiman, dan Ir H Suleiman Said, di Blok AAI, Blaad 006, Petak 0057, Pekuburan Karet Bivak.

Sekitar seperempat jam kemudian, barulah Mbak Cyta, isteri Mas Ivan, dan Melati, putri bungsunya tiba. Rupanya mobil mereka ketinggalan konvoi ambulans yang membawa jenazah Mas Ivan dari RSUD Pasar Minggu. Sementara Melur, putri sulungnya, masih harus isolasi mandiri karena terpapar covid. Maka, saat alunan adzan Maghrib mulai memenuhi langit Jakarta, peti jenazah Mas Ivan pun diturunkan dengan perlahan-lahan ke dalam liang kubur, disertai bisikan tahlil. “Laa ilaha illa-Llah… Muhammadur-rasulullah…”

Cahaya merah jingga di langit mulai lindap dan gelap malam pun semakin merasuk, ketika sebungkah demi sebungkah tanah merah ditimbunkan kembali kuburan Mas Ivan berserta Ibu dan Ayahnya. Bunga mawar dan kenanga ditaburkan, dan  doa-doa keselamatan pun didaraskan. Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun… Allahummaghfirlahu, warhamhu, waafihi wafuanhu, waj’alil jannata matswahu. Selamat jalan, Mas Ivan.[ ]

Back to top button