Puasa menanamkan sikap ugahari, tahu kapan merasa cukup. Tak begitu memikirkan apa yang diinginkan; dan menyadari benar apa yang tak dibutuhkan. Tak begitu terobsesi dengan legasi perseorangan bila harus dibayar mahal oleh penderitaan dan beban berkelanjutan banyak orang. Menyadari benar kapan hasrat berkuasa dan mengendalikan partai harus berhenti; hingga batas mana akumulasi kekayaan dan peluang usaha pantas diraih.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, puasa melatih cara beragama secara dewasa. Beribadah bukan karena apa kata orang, tetapi apa kata nurani sendiri.
Bermoral bukan karena paksaan dari luar, melainkan karena pancaran ketulusan dari dalam. Puasa melatih daya transendensi dari gravitasi syahwat bumi. Puasa yang masih terintimidasi makanan di warung atau melancarkan “balas dendam” dengan rakus makan saat berbuka, pertanda jiwa kekanak-kanakan yang masih melekat pada materi sebagai budak nafsu.
Puasa mendekatkan hubungan personal pada Sang Khalik dengan mengeratkan tali kasih terhadap sesama makhluk. Puasa adalah cara meraih rahmat Tuhan dengan menempuh jalan rahmatan lil alamin dalam kehidupan.
Puasa menanamkan kejujuran untuk berani berkata benar pada orang lain dengan keteguhan integritas untuk berani berkata benar pada nurani sendiri. Kukuh menjalankan kebenaran dan kebaikan dengan sikap ihsan. Sekalipun kita tak melihat Tuhan, sesungguhnya Tuhan senantiasa hadir dalam setiap dengus nafas kita.
Puasa menanamkan sikap ugahari, tahu kapan merasa cukup. Tak begitu memikirkan apa yang diinginkan; dan menyadari benar apa yang tak dibutuhkan. Tak begitu terobsesi dengan legasi perseorangan bila harus dibayar mahal oleh penderitaan dan beban berkelanjutan banyak orang. Menyadari benar kapan hasrat berkuasa dan mengendalikan partai harus berhenti; hingga batas mana akumulasi kekayaan dan peluang usaha pantas diraih.
Puasa mengingatkan kita tentang hukum keseimbangan. Manakala relasi kuasa berjalan timpang, yang membuat arus balik terus dibendung, maka air yang tak menemukan saluran lama-lama akan meninggi. Dengan satu tiupan topan, gelombang tsunami anarki akan meluluhlantakkan segala dinding keserakahan.
Puasa mengingatkan keharusan berbagi dalam distribusi harta, kesempatan, dan status kehormatan; juga dalam peran dan tanggung jawab mengelola urusan hidup bersama.Tak sepatutnya otoritas tertentu mengintervensi bidang lain di luar kapasitas kewenangannya.
Dengan puasa sejati, derajat manusia ditinggikan melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta dan memperluas pengaruh tak pernah puas kecuali dengan “puasa”. Jeda Ramadhan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas. [ ]