POTPOURRI

Harta Karun Mazni  Harun

“Saya sudah 13 kali pindah rumah sepanjang karier, bahkan pernah jadi ‘kontraktor’ betulan. Mengontrak rumah. Sudah berkeluarga dan punya anak. Nekadnya waktu mau mengontrak itu dan sudah sepakat besaran uang kontrak dengan pemilik rumah sebesar Rp 400 ribu, ternyata uang saya tak cukup. Saya berdoa kepada Allah. Alhamdulillah hari itu juga saya dapat tugas dinas ke luar pulau dengan pesawat. Saya putuskan naik bis dan berhemat selama perjalanan dan bertugas, ternyata bisa menghemat uang sebesar biaya kontrakan yang dibutuhkan. Pas.”

Oleh  : Akmal Nasery Basral

JERNIH—Masih ingat nama Rifo Darma Saputra? Kisah penggagas program Sejuta Sajadah dan Sejuta Bibit Tanaman Buah ini saya tulis sebagai topik SKEMA (Sketsa Ramadhan) lima hari lalu (Rabu, 6/4).

Setelah tulisan itu menggelinding di dunia daring, sejumlah komentar dan tanggapan positif datang beriring. Respon dari penyair kawakan D. Zawawi Imron dan Brigjen (Purn) Mazni Harun merupakan dua japri terpenting.

Abah Zawawi—begitu saya biasa menyapa penyair Madura ini—mengirimkan sebuah sajak rancak berjudul “Sajadah Rifo”. Karya itu saya teruskan kepada pemilik nama, membuat Rifo terkesima, tak menyangka seorang penyair besar menulis sajak khusus baginya.  (Puisi Abah Zawawi saya tampilkan utuh di akhir tulisan agar bisa dinikmati pembaca lebih luas lagi). 

Sementara Mazni Harun, 73 tahun, mengomentari: “Masya Allah, ada anak muda yang luar biasa. Sudah saya sebarkan,” tulis mantan Komandan Kontingen Garuda XIV/4 yang bertugas di Yugoslavia sebagai pengamat militer dalam UNPROFOR ( The United Nations Protection Force), 1994-1995. Chat kami melesat, saling berbalasan selama beberapa saat, sebelum kesimpulan akhir diikat: rencana buka puasa bersama pada Ahad. Kebetulan sejak pandemi menggulung dunia, kami belum pernah bertemu muka untuk bertukar cerita.

Maka kemarin (10/4) di tengah rinai gerimis, sejak jam 2 siang saya sudah duduk di ruang tamu rumah beliau di kawasan Cimanggis. Saya tidak sendiri, melainkan bersama Rifo dan Ricardi S. Adnan, Associate Professor Sosiologi UI, yang memperkenalkan Rifo kepada saya sejak awal tahun. Dalam sekejap teranyam bincang akrab. Apalagi setelah terdeteksi seorang paman Ricardi adalah kakak kelas Pak Mazni saat keduanya menjadi siswa SMP di Sumatra Barat. Keajaiban video call mewujudkan komunikasi kedua senior citizens yang sudah lama tak terbuhul. Berkah Ramadan di era digital yang mengagumkan betul.

Obrolan selanjutnya mengancik ke topik utama. Saya menyilakan Rifo menjelaskan latar belakang gagasan program Sejuta Sajadah dan Sejuta Bibit Tanaman Buah yang sudah dijalankan untuk masjid dan musala di Sumbar dalam setahun terakhir dan program perdana di Nusa Tenggara Timur (Kab. Alor) bulan lalu.

“Saya ingin melihat sajadah-sajadah baru yang bersih dan wangi di rumah ibadah, sementara lingkungannya hijau nyaman dengan tanaman lemon California, kelengkeng dan mangga yang punya nilai ekonomi tinggi setelah berbuah sehingga bisa menambah kas mereka selain dari infak dan sedekah yang biasa diberikan jamaah,” ujar Rifo.

Sesekali Pak Mazni yang kelahiran Bukittinggi menanyakan satu-dua hal untuk memperdalam informasi kepada Rifo. Setelah itu jemari tangan mantan Komandan Resimen Arhanud 1 tersebut menari-nari di atas tuts ponsel. Pandangannya tertuju pada layar gawai selama mengetik, sebelum akhirnya menatap kami bertiga. “Saya baru kabari Pak Doni Monardo dan Pak Burmalis Ilyas tentang program Rifo ini, semoga mereka mendukung. Pak Doni punya bibit tanaman yang banyak dan Pak Burmalis sebagai tokoh Diaspora Minang bisa menggerakkan para perantau Minang untuk berpartisipasi dalam setiap program yang membangun kampung halaman,” katanya.

Letjen (Purn.) Dr. (H.C). Doni Monardo adalah purnawirawan TNI yang moncer saat menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di awal pandemi. Lelaki berdarah Tanah Datar ini selalu menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi dengan banyak menanam pohon.  Misalnya dalam program penguatan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami berbasis vegetasi di wilayah Pantai Cemara Sewu, Cilacap, Jawa Tengah, pada April 2021. Mantan Danjen Kopassus itu menanam tiga bibit pohon istimewa—butun, palaka, dan pule—yang cocok untuk kawasan pantai dan dibawa dari Pulau Seram.

“Kita tidak mungkin pindah ke bulan atau planet lain. Selain itu, kita juga tidak boleh egois. Sebab bumi yang kita pijak adalah milik generasi anak cucu kita. Jadi, menanam pohon hari ini, kita dedikasikan untuk anak cucu kita,” katanya.

Sementara Burmalis Ilyas sebagai direktur eksekutif Minang Diaspora Global Network (MDGN) sudah menunjukkan tajinya dalam merenda persaudaraan perantau Minang. Salah satunya mewujudkan keinginan masyarakat Minang di Sydney, Australia, dalam membeli bangunan seluas 450 meter persegi di daerah industri di Gartmore Ave Bankstown. Properti itu dibeli seharga 1,5 juta dolar Australia itu (sekitar Rp 15 miliar) dan sejak 27 Januari 2021 resmi bernama—dan difungsikan sebagai–Surau Sydney Australia.

Ini bukan tugas mudah karena banyak pihak terlibat. Di Sydney saja  ada tim pengurus yang diketuai Novri Latif dan koordinator fundraising Nirwan Kamaruddin. Sementara dari Indonesia melibatkan sejumlah tokoh nasional seperti Profesor Fasli Jalal, Profesor Jurnalis Udin, sampai Sandiaga Uno–untuk menyebut beberapa nama. Dengan bekerja sama tak ada yang tak bisa dicapai bahkan di saat pandemi membadai.

Kembali ke sosok Mazni Harun, respon cepatnya menyangkut kepedulian sosial dan kemanusiaan itu sesungguhnya bukan hal baru. Hal itu diungkap Tuan Guru Syekh Haji Ismail Royan dari Pesantren Babussalam—salah satu pesantren tertua—di Pekanbaru, Riau. “Pak Mazni Harun adalah Danrem pertama yang masuk ke Babussalam saat beliau menjabat. Beliau bersilaturahmi dengan para santri dan majelis guru. Sikap beliau ini dicontoh dan dilanjuti oleh para Danrem selanjutnya sampai sekarang,” ujar Tuan Guru Royan kepada wartawan saat kunjungan Danrem Brigjen M. Syech Ismed, Januari 2022. Mazni Harun  menjadi Danrem 031/Wirabima di tahun 1999-2001 atau dua dekade lalu.

Kepedulian itu juga terjadi di keluarga besar ketika adik iparnya ikut tinggal bersama di paruh pertama tahun 80-an. “Pangkat saya waktu itu kapten, sudah bertugas sekitar 7-8 tahun. Adik ipar saya lulus SMA dan melamar kerja ke Pusri. Ada kejadian lucu. Begitu adik ipar diterima, ternyata gajinya lebih besar dari gaji saya sebagai kapten. Dia kaget, saya kaget, istri kaget, kami semua kaget. Begitu beratnya hidup sebagai prajurit,” ungkap Mazni mengenang seraya tertawa kecil.

Jalan hidup alumnus SMAN 1 Bukittinggi ini sebagai prajurit memang tak semudah menggeser tumit.

Begitu lulus SMA di tahun 1968, ibunda tak setuju dengan keinginan Mazni yang mendaftar jadi tentara. Apalagi ketika trauma luka PRRI belum sepenuhnya pupus dari ingatan masyarakat Minang. Selain itu ada faktor lainnya: Mazni punya abang yang sedang kuliah di Tokyo, Jepang. Sang abang diselundupkan ayah mereka ke Jakarta saat PRRI membara agar tak ikut berperang. Penyelundupan bukan hanya berjalan sempurna bahkan sang abang bisa mendapatkan beasiswa ke negeri orang.

Singkat cerita, Mazni diharapkan orang tuanya mengikuti jejak sang abang. Keinginan mereka tercapai. Mazni mendapat kesempatan menimba ilmu di Negeri Sakura. Di tahun 1970, Mazni dapat kerja sambilan sebagai penjaga stan Indonesia di Expo Tokyo. Di stan itu tersedia beberapa koran bahasa Indonesia terbaru. Salah satu iklan membuat darah mudanya kembali menggelora: pembukaan pendaftaran calon tentara!

Kali ini diubahnya strategi. Tak lagi minta izin orang tua melainkan langsung pada abangnya. Taktiknya jitu, sang abang memberikan restu. Maka, Mazni kembali ke Jakarta meski urusannya di belum selesai.  “Sebetulnya berisiko sekali karena saat itu saya belum tentu diterima sebagai calon prajurit,” tuturnya. “Bagaimana kalau saya tak diterima? Sementara peluang di Jepang sudah hilang.”

Obrolan kami terinterupsi azan ashar yang menyelinap masuk ke ruang tamu, nyaring terdengar. Pak Mazni mengajak kami menunaikan salat fardu sore hari itu di musala yang letaknya berselang beberapa rumah dari kediamannya. Musala yang tak terlalu besar namun nyaman dengan karpet empuk, bersih, dan aroma harum di dalam ruangan. 

Ba’da ashar kami kembali ke rumahnya, melanjutkan pembicaraan tentang seorang pemuda nekat yang meninggalkan masa depan di Negeri Matahari Terbit demi keinginan mengabdi pada tanah air sebagai prajurit.  “Ujian pertama di Jakarta saya dapat nomer peserta 353. Lolos. Untuk ujian kedua di Bandung, saya dapat nomer peserta 58. Melihat nomer peserta yang turun jauh, kepercayaan diri saya makin penuh. Saya yakin bakal diterima.”

Intuisinya benar. Dia berhasil masuk Akmil tahun 1971 dan lulus 1974. Satu angkatan dengan Sjafrie Sjamsoeddin, Ryamizard Ryacudu dan Prabowo Subianto, “Alhamdulillah mimpi saya tercapai,” katanya.

Tersebab waktu buka puasa semakin dekat, pembicaraan di Cimanggis berpindah tempat ke RM Simpang Raya di Jalan Margonda Raya, Depok, yang sudah dipenuhi pengunjung. Istri Pak Mazni yang asli Bali, memilih tetap di rumah.

Untunglah, meja kami sudah dibooking beliau sehari sebelumnya.  Menu tersusun dengan tampilan menggoda. Ternyata Pak Mazni memesan meja untuk lima orang. Jika kami berempat, lantas siapa orang kelima? “Supir saya. Dia sudah ikut saya lama sekali,” tuturnya. “Sudah seperti saudara.”

Satu bukti lain bagaimana jiwa prajurit sejati yang tak silau jabatan. Atasan dan sopir makan di meja yang sama dengan menu tak berbeda.

Azan maghrib berkumandang. Kami berbuka puasa di tengah kesibukan pelayan yang lintang pukang. “Saya tak punya pantangan makanan, tetapi membatasi menu. Yang paling saya kurangi adalah daging,” katanya. Prof. Ricardi membuka pisin berisi jariang (jengkol) balado yang masih ditutup plastik. Saya ambil satu biji. Pak Mazni menolak ketika ditawari. “Saya lebih suka petai,” katanya. Sayang, stok petai sudah habis akibat pengunjung yang ramai. (Bagi Anda yang alergi petai dan jengki, harap maklum, salah satu kuliner favorit masyarakat Minang adalah dua menu di atas yang aduhai ).

Usai bersantap, terdengar notifikasi pesan masuk di gawai Pak Mazni yang berderap. Beliau membaca sebentar. Wajahnya berseri-seri dan memperlihatkan isi pesan kepada kami. “Dari Pak Doni Monardo dan Pak Burmalis Ilyas. Mereka bersedia membantu. Silakan Rifo follow-up  mereka,” ujarnya kepada penggagas program Sejuta Sajadah dan Sejuta Bibit Tanaman Buah di depannya.

“Siap, Pak. In syaa Allah sehabis isya nanti saya langsung hubungi. Terima kasih atas bantuan Pak Mazni,” jawab Rifo antusias. Saya pun lega karena hasil silaturahmi melebihi perkiraan sebelumnya. Maka obrolan pun saya arahkan untuk menggali hikmah kehidupan dari ayah tiga anak dan kakek empat cucu ini dengan melempar pertanyaan. “Jika melihat lagi ke belakang perjalanan hidup Bapak, hikmah apa yang didapatkan?”

“Kadang perjalanan hidup tak seperti yang kita rencanakan,” jawabnya. “Saya sudah 13 kali pindah rumah sepanjang karier, bahkan pernah jadi ‘kontraktor’ betulan. Mengontrak rumah. Sudah berkeluarga dan punya anak. Nekadnya waktu mau mengontrak itu dan sudah sepakat besaran uang kontrak dengan pemilik rumah sebesar Rp 400 ribu, ternyata uang saya tak cukup. Saya berdoa kepada Allah. Alhamdulillah hari itu juga saya dapat tugas dinas ke luar pulau dengan pesawat. Saya putuskan naik bis dan berhemat selama perjalanan dan bertugas, ternyata bisa menghemat uang sebesar biaya kontrakan yang dibutuhkan. Pas.”

Fenomena maraknya penipuan investasi belakangan ini tak luput dia cermati. “Saya sering mendapat tawaran investasi robotrading yang selalu dijamin untung.  Saya tak pernah tertarik. Kalau semuanya untung, siapa yang menanggung rugi? Mana ada bisnis riil yang untung terus menerus?”

Waktu bersijingkat mendekati jam 8. Ruangan VIP tempat kami bersantap melengang karena pengunjung berkurang. Kami sepakat untuk berpisah setelah enam jam obrolan yang penuh kepingan hikmah.

Di halaman parkir rumah makan, setelah Pak Mazni tinggalkan lokasi, saya melihat beliau sebagai salah seorang pemilik harta karun kehidupan sejati: umur panjang dengan kesehatan terjaga, karier anak-anak melesat, cucu-cucu tumbuh sehat, istri yang penuh perhatian, memiliki jaringan luas pertemanan yang siap mendukung program positif bagi masyarakat, serta harta karun yang tak kalah penting: selalu senang membantu orang lain, bahkan terhadap generasi muda seperti Rifo yang baru dikenalnya dan berusia lebih muda dibandingkan anak bungsunya.

Ditambah dengan ketakwaan menjalani kehidupan sederhana tak serakah, Pak Mazni menjadi salah seorang sosok inspiratif di bulan suci penuh berkah. [  ]

*Sosiolog. Penulis 24 buku. Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

—–            

[Lampiran]

D. Zawawi Imron

SAJADAH RIFO

Sajadah dari Rifo beterbangan di angkasa, mencari dahi-dahi orang yang akan sembahyang. Tapi yang dicari sebenarnya hati yang ingin bersujud kepada Tuhan. Bukan karena Tuhan yang punya segala, tapi Tuhan memang Maha Segala. Pesantren dibuka berupa alam semesta, alam terkembang jadi guru, agar kita tak hanya tahu belalai dan gading gajah  tapi tahu juga kelepak kupu-kupu yang hinggap di pundak anak yatim yang tak pernah menikmati senyum ayahnya. Derita menjadi duka semesta, dan bulan dalam jiwa adalah penghapus semua dahaga, serta matahari tetap mengajar berdiri di atas bakiak sendiri. Tanah sendiri. Tak ada waktu untuk merengut, tak ada jeda untuk cemberut, kita saksikan lantunan sajadah berhinggapan pada alamat-alamat yang siap untuk membangun jembatan yang bukan impian. Kita beriman karena Tuhan menakdirkan kita menjadi kenyataan. Sedang sajadah yang beterbangan adalah kenyataan. Bukan impian.

Madura, 6-4-2022

Back to top button