Tidak hanya penggunaan diksi yang menunjukkan penambahan signifikan, penulisannya pun cenderung lebih lugas dan sederhana. Dalam dunia tulis-menulis, ini sejalan dengan diktum kepenulisan Ernest Hemingway, yang mempercayai bahwa justru “Less is more.” Jangan terlalu cerewet sehingga membuat orang berasumsi bahwa Anda menganggap pembaca bodoh. Yang bodoh, justru penulis yang asyik berputar-putar sendiri. Almarhum Amarzan Ismail Hamid Lubis, pengampu pelatihan menulis di Majalah TEMPO era awal 2000-an, punya kiat yang ditekankannya kepada kami. KISS pun menjadi resep bagaimana menulis baik dan efektif. “Keep It Simple, Stupids!”
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Dunia tampaknya lebih mengenal John Ure sebagai seorang penulis ahli Rusia-Asia Tengah dibanding sebagai seorang diplomat Inggris terkemuka. Jepang kian dikenal dan dimengerti publik internasional lewat rangkaian tulisan Sir Ernest Mason Satow alias Satō Ainosuke, diplomat Inggris yang banyak menulis segala hal tentang Jepang. Sementara, tidak hanya menjadi rujukan generasi muda Jepang saat ini, tulisan-tulisan Lafcadio Hearn (Koizumi Yakumo) tentang folklor mistis Jepang, sampai hari ini menjadi pegangan wajib seluruh warga dunia yang ingin melihat Jepang dari kacamata mistis.
Indonesia sebelumnya mengenal Rais Abin sebagai diplomat cum penulis. Buku-bukunya, antara lain, “Dari Ngarai ke Gurun Sinai” dan “Catatan Rais Abin: Mission Accomplished”, membuat publik lebih mengerti apa yang terjadi di balik berita konflik negara-negara Arab dengan Israel, hingga mengapa sampai Perjanjian Camp David bisa terjadi. Rais Abin, panglima Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Timur Tengah, sekjen KTT Non Blok, serta duta besar di beberapa negara sahabat, ternyata berada di belakang semua itu, dan dia menuliskannya.
“Meski melanggar preseden—karena Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel–tetapi Jenderal adalah pilihan terbaik (untuk posisi Panglima Pasukan PBB). Silakan nikmati tugas Anda,” kata Menteri Pertahanan Israel (saat itu), Shimon Peres. Kepada Rais, Sekjen PBB saat itu, Kurt Waldheim, memberikan penghargaan khusus. Rais Abin juga sempat diminta PBB untuk tugas yang sama di Namibia, hanya ditolaknya.
Di kekinian—boleh dong sesekali ikut gaya milenials–Ambassador Yuddy Chrisnandi tampaknya mengikuti jalan yang tak banyak dijelajahi para diplomat Indonesia itu. Jalan yang telah diretas generasi-generasi diplomat sebelumnya. Jalan kecil yang—sebagaimana Lu Xun bilang, akan menjadi jalan besar bila terus dijejaki generasi selanjutnya. Ernest Satow, yang telah disebut di muka, selain diplomat juga seorang musafir yang energik dan pendaki gunung yang antusias. Sepanjang tugasnya ia telah menulis buku harian, yang 47 buku di antaranya bercerita tentang kehidupan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai diplomat.
Energi besar memang selalu berkobar pada mereka yang penuh motivasi untuk ‘memberi’. Asal tahu saja, beberapa pekan menjelang kepulangannya ke hadlirat Allah di usia 94 tahun, kepada Jusuf Wanandi, alm Rais Abin menelepon untuk membantunya menerjemahkan buku yang ditulis Cecil B. Currey tentang jenderal Vietnam penakluk Prancis di Dien Bien-Phu, Vo Nguyen Giap.
Yuddy memang diplomat yang ‘tahu diri’. Dari apa yang ditulisnya di “Cinta Keduaku Berlabuh di Ukraina”—buku kesembilan yang ditulisnya–, guru besar Universitas Nasional itu tidak hanya memelopori penerbitan “Buku Laporan Tahunan Kerja Dubes”, secara berkala ia pun menerbitkan “Kabar dari Kyiv” sebagai bentuk ‘laporan kerja’-nya kepada publik. Sebagian isi “Kabar” itu yang kemudian dielaborasi lebih dalam lewat buku-bukunya.
Ada banyak hal menarik yang diulas Yuddy dalam buku 350 halaman plusnya ini. Tidak hanya bagaimana Kedubes Kyiv mempertahankan Indonesian Studies dan memelopori pendirian ASEAN Studies di Universitas Nasional Taras Shenchenko, mendirikan taman Indonesia yang antara lain berisikan replica stupa Borobudur, Monas, Masjid Istiqlal, Gereja Katedral dan Pura Besakih di Botanical Garden dan Miniatur Park di Kyiv, Kedubes Ri di masanya juga aktif mendorong diplomasi sosial budaya. Tercatat, Kedubes Kyiv pun banyak mendorong dan mengembangkan kerja sama di berbagai bidang.
Keberhasilannya di sisi tersebut, tampaknya, yang membuat Ukraina di sisi lain memberikan banyak penghargaan buat Yuddy. Di sana Yuddy tak hanya mendapatkan “Honorary Professor” dari Polissia National University, Kyiv. Ia pun sempat menerima gelar “Diplomat of The Year” dari Pemerintah Ukraina. Beberapa bulan menjelang kepulangannya ke Tanah Air, bersama Panglima Besar Soedirman, Yuddy dan Soedirman masing-masing diterbitkan sebagai perangko nasional di negara yang kini tengah menghadapi percobaan penjajahan oleh Rusia itu.
Dalam pengamatan saya yang membaca hampir semua tulisan Yuddy, “Cinta Keduaku..” menunjukkan bahwa penulisnya cukup banyak mengalami perkembangan dari sisi kepenulisan. Tidak hanya penggunaan diksi yang menunjukkan penambahan signifikan, penulisannya pun cenderung lebih lugas dan sederhana. Dalam dunia tulis-menulis, ini sejalan dengan diktum kepenulisan Ernest Hemingway, yang mempercayai bahwa justru “Less is more.” Jangan terlalu cerewet sehingga membuat orang berasumsi bahwa Anda menganggap pembaca bodoh. Yang bodoh, justru penulis yang asyik berputar-putar sendiri. Almarhum Amarzan Ismail Hamid Lubis, pengampu pelatihan menulis di Majalah TEMPO era awal 2000-an, punya kiat yang ditekankannya kepada kami. KISS pun menjadi resep bagaimana menulis baik dan efektif. “Keep It Simple, Stupids!”
Wajar bila banyak akademisi mengacungkan jempol mereka untuk buku ini. Direktur Pasca Sarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dedi Djubaedi, menyebut buku mutakhir Yuddy itu menarik bagi banyak kalangan. “Ini persoalan kemanusiaan universal, soal cinta. Pengalaman yang penulis ungkapkan dalam buku ini bisa menjadi hikmah dan pembelajaran bagi kita semua,” kata Prof Dedi, dalam bedah buku tersebut, Jumat (15/7) lalu.
“Tulisan Prof.Yuddy ini layak dijadikan referensi, secara akademik ini sudah memenuhi syarat sebagai karya ilmiah, alur tulisan yang ditulis oleh penulis sangat runtut dan sistematis,”kata akademisi IAIN Syekh Nurjati, Achmad Choliq, yang hadir dalam acara tersebut.
Dalam endorsement buku itu sendiri, Guru Besar Ilmu Politik UI, Prof. Maswadi Rauf, menilai “Cinta Keduaku..” buku yang tidak hanya berguna buat para diplomat muda dan peminat studi hubungan internasional. “Buku ini akan memberikan pelajaran dan pengetahuan yang berguna tidak saja bagi para diplomat, tetapi juga bagi para pembaca umum yang berminat dalam masalah-masalah internasional,”kata Prof Maswadi.
Buku itu pun, kata Guru Besar Ilmu Komunikasi UI, Prof Ibnu Hamad, bisa membuka wawasan semua kalangan pembacanya. “Dengan membaca buku ini, kita memperoleh gambaran yang gamblang mengenai jabatan seorang duta besar, sejak proses pengangkatan hingga pelaksanaan tugas di negara di mana ia ditempatkan,”kata Prof Ibnu.
“Penulis melalui buku ini memberikan gambaran tentang Ukraina secara utuh, objektif sekaligus penuh keindahan. Melalui buku ini para peminat studi Hubungan Internasional diberikan perspektif penting tentang sejarah diplomasi dalam hubungan internasional yang jarang dibahas olch para scholar lainnya,” kata Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, R. Widya Setiabudi Sumadinata.
Sementara, Duta Besar Ukraina Untuk Republik Indonesia, Vasyl Hamianin, mengapresiasi tinggi apa yang dilakukan Yuddy Chrisnandi selama bertugas di negaranya. “Beliau menjadi inspirasi saya,”kata Vasyl. “Saya akan melakukan sebaik mungkin hal yang sama di Indonesia. Saya sudah mengibarkan bendera Merah Putih Indonesia di Ukraina, dan saya ingin mengibarkan bendera Ukraina di Indonesia, ingin lebih dekat dan mencintai Indonesia,”ujar Vasyl. [dsy]