Solilokui

Airlangga Hartarto, Pesulap Merah dan Trik Palsu Politik

Karenanya, mempercayai lembaga survey bisa jadi hukumnya sama dengan meyakini para dukun yang triknya dibongkar oleh Pesulap Merah. Jika memang lembaga survey itu bisa dipercaya, lebih baik hapuskan saja Pemilu, gunakan saja hasil lembaga survey untuk menentukan pemenang Pemilu. Jika terjadi, entah berapa triliun penghematan yang bisa dilakukan negara.

Oleh   : Rezha Nata Suhandi

Belakangan, Pesulap Merah sering menjadi trending topic di banyak pemberitaan, termasuk konten-konten media sosial. Aksi dingin pria berperawakan tinggi ini, yang mampu membongkar kebohongan para dukun dianggap sebagai ilmu, metode dan trik progresif masa kini.

Tidak sedikit pihak yang mencibir lantaran periuk nasinya terganggu, tetapi lebih banyak yang memuji dan mendukung aksinya. Netizen Indonesia merasa, Pesulap Merah berada pada jalan yang benar. Bahkan, Pesulap Merah menjadi idola banyak warganet, terutama kaum muda yang kebanyakan tidak mempercayai jalan keajaiban yang dilakoni para dukun ini.

Rezha Nata Suhandi

Lalu apa pula hubungannya antara Airlangga Hartarto dan Pesulap Merah? Mengapa judul tulisan ini melekatkan keduanya? Tentu ada hubungannya, bukan hubungan saling kenal, tetapi lebih ke hubungan makna antar keduanya.

Airlangga Hartarto sebagaimana kita ketahui merupakan ketua umum Partai Golkar, serta pengusaha di berbagai bidang. Tentu kedua dunia yang digeluti Airlangga Hartarto tidak ada hubungannya dengan dunia sulap yang menjadi bidang pekerjaan Pesulap Merah.

Kesamaan ada pada keajaiban-keajaiban yang dibuat oleh keduanya. Bagaimana tidak ajaib? Airlangga bukan figur unggulan sebagai bakal ketua umum Partai Golkar sewaktu gelaran Musyawarah Nasional Luar Biasa yang diadakan di Bali, 2016 lalu.

Nama Airlangga mulai terdengar ketika mendapat tempat dalam kabinet Jokowi-Jusuf Kalla pada tahun yang sama sebagai menteri perindustrian. Padahal, berdasar isu yang berkembang saat itu, Airlangga bukanlah figur yang mendapat prioritas untuk direkomendasikan sebagai menteri dari Partai Golkar.

Menjalani karir sebagai menteri perindustrian, Airlangga berperan sangat baik. Gaung revolusi industri 4.0 yang ia suarakan bergema, Indonesia mulai menyadari betapa pentingnya dunia digital yang menjadi motor industri.

Entah bagaimana ceritanya, tanpa trik, tanpa mantra, Airlangga kemudian bisa menduduki tampuk kepemimpinan tertinggi di Partai Golkar. Melalui Munaslub 2017, Airlangga ditahbiskan para pemilik suara saat itu memimpin lajunya partai mengarungi sisa periode untuk menghadapi Pemilu 2019.

Pada Munas 2019, ajaibnya Airlangga berhasil terpilih kembali untuk kedua  kali sebagai ketua umum DPP Partai Golkar. Mengapa ajaib? Karena jika mengingat sejarah, Airlangga merupakan satu-satunya ketua umum pasca-Reformasi yang memimpin partai beringin selama dua periode berturut. Ajaib bukan?

Di sini, Airlangga dan Pesulap Merah terlihat memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama menjalani keajaiban, tentu keajaiban yang lahir dari perjalanan mereka bisa dijelaskan secara logika, bukan berdasar jampi dan mantra.

Trik Pesulap Merah dan Kuning

Pesulap Merah yang membongkar trik perdukunan sebagai sebuah metode sulap dianggap sebagai pencerahan oleh publik. Ia membongkar kepercayaan orang lain akan sebuah keajaiban mantra dan bacaan-bacaan yang dianggap sakti.

Airlangga pun serupa. Anggaplah ia kini sedang menghadapi trik-trik perdukunan yang dilakukan oleh banyak lembaga survei. Sebab, sejak dulu lembaga survei seringkali dipercaya sebagai pihak yang patut dipercaya prediksinya atas kontestasi politik. Sebelum pertarungan politik digelar, lembaga survey melalui penalaran dan metode ilmiah mencoba membongkar raihan tingkat keterpilihan calon politik.

Tetapi secara tidak langsung, hasil penalaran ilmiah itu kemudian menjadi propaganda bagi publik agar mempercayai siapa calon yang akan memenangkan kontestasi. Alhasil publik kehilangan kepercayaan pada pilihannya dan mulai tergiring untuk memilih calon yang mendekati angka kemenangan berdasar lembaga survei.

Airlangga, berkenaan dengan hajatnya sekarang sebagai calon presiden dari Partai Golkar, namanya selalu ditempatkan paling belakang. Dianggap bukan calon favorit dan tidak memiliki elektabilitas yang unggul. Anehnya, sosialisasi masif yang dilakukan Partai Golkar dan Airlangga sendiri tidak memberikan efek simultan terhadap perkembangan elektabilitas dirinya.

Elektabilitas Airlangga seolah dibuat stagnan, jika pun bergerak, lembaga survei hanya menempatkan pada kisaran 2-5 persen. Tidak pernah lebih. Bahkan ada yang menempatkan elektabilitas Airlangga di kisaran 0 koma sekian persen.

Patutkah dipercaya?

Bagaimanapun lembaga survey telah melakukan tugasnya untuk melaksanakan riset secara ilmiah berdasar metode yang bisa dipertanggungjawabkan. Kesalahannya, terkadang kesimpulan angka ilmiah itu dinarasikan sesuai dengan kepentingan masing-masing lembaga, bahkan secara meyakinkan sudah mengeluarkan jsutifikasi terhadap hasil sebuah kontestasi politik.

Tentu kita masih ingat keajaiban yang dibuat Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Saat itu hampir 80 persen lembaga survey menempatkan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama sebagai pemenang Pilkada DKI Jakarta. Nyatanya setelah Pemilu digelar, Anies-Sandi saat itu menang telak atas Ahok. Maka runtuhlah elektabilitas dan kredibilitas lembaga survey yang menjagokan Ahok.

Bisa jadi lembaga survey itu telah berkhianat terhadap ilmu pengetahuan yang mereka kuasai dan memilih untuk melakukan propaganda terhadap calon yang didukung.

Karenanya, mempercayai lembaga survey bisa jadi hukumnya sama dengan meyakini para dukun yang triknya dibongkar oleh Pesulap Merah. Jika memang lembaga survey itu bisa dipercaya, lebih baik hapuskan saja Pemilu, gunakan saja hasil lembaga survey untuk menentukan pemenang Pemilu. Jika terjadi, entah berapa triliun penghematan yang bisa dilakukan negara.

Sayangnya lembaga survey pada hakikatnya hanyalah tools pembantu bagi para calon, tim dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan politik sebagai tambahan informasi. Bukan elemen penggerak suara rakyat, apalagi tools yang sah sebagai penghitung hasil pemilihan suara masyarakat. Hasil final tetap harus berpegang pada keputusan KPU RI.

Yang paling meyebalkan adalah para pengamat politik yang menggunakan hasil survey untuk mengamputasi calon lain. Berdasarkan pengamatan kami, cukup banyak pengamat politik yang mendiskreditkan serta mengkerdilkan keberadaan Airlangga sebagai calon presiden.

Mereka memperkuat argumennya dengan hasil survey, bahkan ada sebagian yang menganggap lebih baik Airlangga membatalkan niat untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Para pengamat ini pun serupa, trik bersilat lidah dan memainkan data mereka mirip seperti dukun.

Andai Pesulap Merah ada di dunia politik, dia pasti akan sangat kesal dengan kelakuan pegiat survey dan pengamat yang menjual jasanya secara subjektif. Dalam persoalan ini, kami percaya bahwa Airlangga adalah pesulap kuning, ia akan membongkar trik para pegiat survey dengan mementahkan hasil prediksi mereka terhadap elektabilitas capres dengan cara memenangkan Pilpres 2024. [ ]

*Redaktur Situs Golkarpedia

Back to top button