Geliat Merdeka Seniman di Awal Kemerdekaan*
Orang Jepang di belakang POSD bernama Hinatu Eitaro, tetapi sesungguhnya dia orang Korea. Sesudah proklamasi kemerdekaan dia tidak mau menyerah kepada Sekutu, tetapi menyingkir ke Yogya. Setelah penyerahan kedaulatan dia kembali ke Jakarta dan ia terjun di bidang pembuatan filem. Namanya berganti jadi Dr. Huyung. Dalam sejarah perfileman Indonesia Dr. Huyung adalah sutradara pertama yang membuat adegan ciuman pada awal 1950-an, tetapi adegan ciuman ini tidak diloloskan oleh Badan Sensor.
Oleh : Rosihan Anwar
JERNIH—Kami berkumpul di ruangan bawah di Bagian Seni Suara gedung Pusat Kebudayaan di Rijswijk (kini Jalan Ir. H. Juanda) di samping Hotel de Galleries. Ini pertemuan penghabisan kali sebelum Pusat Kebudayaan bubar. Jepang sudah kalah, Sekutu sudah mendarat. Tiada gunanya melanjutkan kegiatan Pusat Kebudayaan yang pada hakikatnya sebuah badan ciptaan Pemerintah Balatentara Dai Nippon. Namanya dalam bahasa Jepang: Keimin Bunka Sidoosho.
Pusat Kebudayaan mulai melangkah tanggal 1 April 1943. Upacara pembukaannya dilakukan oleh Gunseikan, kepala Pemerintah Balatentara Dai Nippon, tanggal 18 April. Ia mempunyai lima bagian: 1. Kesusastraan, 2. Kesenian, Lukisan dan Ukiran, 3. Musik atau Seni Suara, 4. Sandiwara dan Tari-menari, 5. Filem.
Sudah barang tentu pemimpin bagian-bagian itu orang Jepang, Pemimpin Bagian Musik ialah Nobuo lida, seorang dirigen yang sering memimpin konser musik Radio Jakarta dan di Decca Park; pemimpin Bagian Sandiwara K. Yasuda; pemimpin Bagian Kesusastraan Rintaro Takeda. Sungguhpun demikian orang Indonesia cukup memegang peranan.
Seorang tokoh Indonesia di Pusat Kebudayaan ialah penyair Sanusi Pane. Tentu ia harus mengindahkan maksud Jepang mengadakan Pusat Kebudayaan yaitu mengerahkan tenaga ahli kebudayaan dan seniman Indonesia untuk keperluan tujuan peperangannya. Toh dalam serba keterbatasan itu dia berusaha melaksanakan pendiriannya sebagai budayawan Indonesia. Dalam majalah “Djawa Baroe” tanggal 15 Juni 1943, Sanusi Pane berbicara tentang mengembalikan Kebudayaan Timur. Ia berkata: “Semangat Barat-Baratan itu kelihatan jelas dalam sikap ’kaum terpelajar’ sebagian besar terhadap ciptaan-ciptaan dahulu, dalam caranya berbicara, dalam kehidupannya, dalam musik, sandiwara, kesusastraan, dalam pertentangan-pertentangan di lapangan politik dan pergaulan . . . Karena itu mengembalikan Kebudayaan Timur di Indonesia ialah keperluan dan pekerjaan yang amat sangat pentingnya.”
Armijn Pane, adik Sanusi, pengarang novel “Belenggu” menjadi wakil kepala Bagian Kesusasteraan di Pusat Kebudayaan. Di bagian ini bekerja pula pengarang novel “Andang Teruna” Sutomo Djauhar Arifin, Usmar Ismail, Inu Kertapati, Amal Hamzah. Di Bagian Seni Suara ada Cornel Simanjuntak, di Bagian Sandiwara Suryo Sumanto dan D. Djajakusuma, di Bagian Seni lukis S. Sudjojono dan Agus Djayasuminta. Kegiatan di bidang filem dipusatkan di studio di Bidara Cina, Jatinegara. Sutradara Jepang yang menonjol ialah Bunjin Kusata. Dalam bulan September 1943 dia membuat filem “Berjuang” yang melukiskan semangat tentara Heiho. Sutradara Indonesia: R. Arifin dan R. Inu Perbatasari. Penulis skenario: R. Kusuma dan Rustam St. Palindih. Aktor-aktor: Astaman, Kartolo, Nofiar, Mochtar, Sambas, Abubakar dan Chatir Harro. Aktris-aktris: Rukiah, Dhalia, Surip dan R. Pulunggana.
Bagian Sandiwara Pusat Kebudayaan mempunyai kegiatan yang agak khas yaitu. menyelenggarakan sandiwara keliling yang dipimpin oleh Suryo Sumanto. Mereka mempunyai sebuah truk yang memuat penyanyi keroncong, pemain alat musik dan badut. Mereka mengunjungi pabrik-pabrik dan kebun-kebun dan dengan berdiri di atas truk mereka memberi pertunjukan hiburan kepada buruh dan tani.
Walaupun saya wartawan “Asia Raya”, namun saya sering pergi ke Pusat Kebudayaan dan di sana bersama Usmar Ismail mementaskan lakon sandiwara satu babak. Setelah memperoleh lebih banyak keterampilan, kami kemudian mendirikan sebuah berkumpulan sandiwara amatir atau penggemar yang berada di luar lingkungan Pusat Kebudayaan, Namanya “Maya” yang didirikan dalam tahun 1944 bulan Juli. Saya ketua perkumpulan ’Maya”, Masmimar Makah penulis merangkap bendahara.
Tetapi sesungguhnya motor penggerak “Maya” ialah kakak beradik dr. Abu Hanifah dan Usmar Ismail. Dengan nama samaran El Hakim, Abu Hanifah menulis lakon-lakon yang dipertunjukkan oleh ’Maya’’, sedangkan Usmar Ismail menyutradarainya.
Lakon pertama yang dipertunjukkan oleh “Maya” di Siritu Gekizyoo (di zaman Belanda gedung Schouwburg; di zaman Republik Gedung Kesenian; kini City Theatre di Pasar Baru) bernama “Taufan di Atas Asia”, gubahan El Hakim. Dalam pertunjukan itu saya memegang peranan utama, karena harus menggantikan tempat Zainal Abidin (kini pemimpin PT Pabrik Obat Tunggal) yang tiba-tiba tidak bisa main. Begitu juga dr. Ali Akbar sekonyong-konyong harus naik ke pentas memainkan peranan seorang kiayi. Dua gadis Betawi turut sebagai pemain yaitu Mien Sanawi (yang kemudian jadi Ny. Usmar Ismail) dan Ida Sanawi (yang kemudian jadi Ny. Rosihan Anwar).
Sebuah lakon sandiwara karangan Usmar Ismail, ”Liburan Seniman” dipentaskan oleh ’Maya’” dan pemegang peranan utamanya ialah H.B. Jassin. Lakon lain karangan Usmar Ismail “Mutiara dari Nusalaut” juga mulanya dipertunjukkan oleh ”’Maya’’. Lakon pujangga Norwegia Henrik Ibsen, “Kleine Eyolf” yang disadur oleh Karim Halim menampilkan Purnomo atau Mas Pung. Tanggal 9 Februari 1945 “Maya” mempertunjukkan gubahan El Hakim, “Intelek Istimewa”. Pada perayaan ulang tahun kesatu “Maya” menghidangkan “Dewi Reni” gubahan El Hakim. Gadis-gadis yang menjadi sri panggung dalam sandiwara penggemar ’Maya” adalah Tien Mamahit dan Rukmini Singgih. Tidak selalu lakon sandiwara yang dipertunjukkan oleh ”Maya”.
Pada tanggal 28 Juli 1945 acara “Maya” ialah Malam Seni Rhapsodie. la mempertunjukkan Korser Indonesia dipimpin oleh Kusbini dan Opera Madah Kelana oleh Cornel Simanjuntak. Penulis perkumpulan “Maya” Masmimar Makah masih ingat bahwa seorang pemain biola dalam pertunjukan itu adalah pelajar muda yang mengenakan celana pendek. Namanya: Asrul Sani.
”Maya” di zaman Jepang merupakan sebuah wadah tempat pemuda-pemuda Indonesia yang tidak mau diatur mentah-mentah saja oleh Jepang mengembangkan bakat seniman dan daya cipta mereka. “Maya’’ berbeda dengan rombongan sandiwara bayaran. Ia berani merintis cara-cara baru dalam permainan pelaku, peraturan lampu, pembuatan dekor. Sandiwara bayaran seperti ’Cahaya Timur’, “Bintang Surabaya” dan ’Pancawarna” terkadang memakai cara Stambul lama. Pemainnya bebas berucap di atas panggung, tidak terikat kepada isi lakon yang tertulis. Sedangkan dalam ”Maya” pemainnya harus menghapalkan luar kepala segala teks percakapan.
Fifi Young, aktris sandiwara “Bintang Surabaya” pernah melihat saya main dalam lakon “Intelek Istimewa”. Ia menulis sepucuk surat kepada saya: “Sebagai orang yang sudah belasan tahun di atas panggung saya menyatakan di sini betapa saya puas dengan permainan Saudara.”’
Dengan teratur sekali dua bulan Maya’ mengadakan pertunjukan. Karena orang tidak suka menonton bioskop yang filemnya kebanyakan propaganda Jepang, maka Gedung Kesenian Pasar Baru menjadi daya tarik bagi pecinta sandiwara penggemar “Maya”. Karcis selalu terjual habis. Jepang tidak begitu senang melihat hal ini. la lantas menyelenggarakan sendiri pertunjukan sandiwara. Usaha ini dilakukan oleh ’’Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa” (POSD).
Sebuah iklan berbunyi:
POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) menyambut perayaan Hari Peringatan Laut mempersembahkan dari tanggal 18 sampai tanggal 27 – 7 – 2605
TURUT SAMA AMAT
(4 Babak) di beberapa kota dengan serentak: Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogya, Bondowoso dan Situbondo.
Majalah Djawa Baroe tanggal 15-7-2605 menulis: “POSD menyelenggarakan “Hantu Perempuan” dan “Jembatan Garuda”, karangan Armijn Pane yang dimainkan oleh Bintang Surabaya dan Pancawarna.”
Orang Jepang di belakang POSD bernama Hinatu Eitaro, tetapi sesungguhnya dia orang Korea. Sesudah proklamasi kemerdekaan dia tidak mau menyerah kepada Sekutu, tetapi menyingkir ke Yogya. Setelah penyerahan kedaulatan dia kembali ke Jakarta dan ia terjun di bidang pembuatan filem. Namanya berganti jadi Dr. Huyung. Dalam sejarah perfileman Indonesia Dr. Huyung adalah sutradara pertama yang membuat adegan ciuman pada awal 1950-an, tetapi adegan ciuman ini tidak diloloskan oleh Badan Sensor.
Hinatu Eitaro juga mengarang syair lagu. Lagu “Kirikomi no Uta” adalah hasil karya bersama Kusbini (lagu) dan Hinatu Eitaro (syair). Mungkin sekali syair dibuatnya dulu dalam bahasa Jepang, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bantuan salah seorang pegawai di kantor POSD. Seorang Indonesia yang bekerja di POSD bernama Idrus yang kemudian terkenal sebagai penulis cerpen pembawa prosa gaya baru.
Syair Kirikomi no Uta berbunyi:
Ber-kirikomi kita gempur
Belanda, Inggeris dan Amerika
Nippon-Indonesia sepakat
Kemenangan harus kita rangkuh.
Lagu dan syair yang keluar dari dapur Pusat Kebudayaan sudah barang tentu berbau propaganda Jepang. Sebuah contoh ialah “Asia Berpadu”, hasil bersama Cornel Simanjuntak (lagu) dan Usmar Ismail (syair):
Teguh kukuh berlapis baja
rantai semangat mengikat padu,
Tegak benteng Asia Raya
tengah badai berpadu satu.
Berpadu Asia, sumpah yang setia
semati kita runtuh, sehidup jaya.
[pasca-kemerdekaan lagu itu berubah judul dan syair menjadi “Teguh Kukuh Berlapis Baja”—red]
Akan tetapi Cornel dan Usmar tidak semata-mata membikin barang propaganda untuk keperluan Jepang. Mereka juga menciptakan lagu-lagu yang sampai kini dinyanyikan oleh generasi muda seperti “Citra”.
Cornel Simanjuntak membentuk sebuah Koor Pusat Kebudayaan yang sering memberikan pertunjukan. Harry Singgih, seorang pencipta lagu, ikut dalam koor itu sebagai penyanyi. Begitu juga Hadjari Singgih, Surini Singgih, Kartini Suria Nata Atmaja, Mieke Deeng. Dan sekedar untuk memperoleh pengalaman saya juga turut dalam koor itu.
Sudah barang tentu Bagian Kesusastraanlah yang paling banyak saya kunjungi. Secara teratur kami mengadakan diskusi atau perbincangan tentang kesusastraan. Kami membentuk Sastrawan Angkatan Baru. Kami menyelenggarakan malam deklamasi sajak-sajak. H.B. Jassin adalah seorang deklamator sajak yang baik.
Pada suatu kali dideklamasikan sajak penyair-penyair Pujangga Baru: Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane. Sehabis pembacaan sajak-sajak, Chairil Anwar berdiri dan dengan tegas mengemukakan sajak-sajak tersebut sudah usang. Ia berbicara tentang sajak yang bernafaskan daya hidup dan pandangan baru. “Saudara-saudara mau contoh?” tanya Chairil Anwar. Maka ia pun membacakan sajaknya sendiri yang digubahnya dalam bulan Maret 1943:
SEMANGAT
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau!
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Di Pusat Kebudayaan, yang walaupun ciptaan Jepang, terjadi pertemuan antara seniman, sastrawan muda yang penuh dengan idealisme, hidup untuk cita-cita. Di situ ditempa ikatan persahabatan. Di situ dikokohkan tekad untuk bekerja dan berjuang melaksanakan cita-cita Indonesia Merdeka.
Semua pengalaman di masa lampau ini melintas lagi di layar ingatan kami, tatkala kami berkumpul untuk penghabisan kali, sebelum Pusat Kebudayaan bubar. Indonesia Merdeka sudah diproklamasikan. Apakah berikutnya yang akan kami kerjakan? Keadaan di Jakarta mulai tegang. Tentara Belanda dan Inggris sudah berada di tengah kami. Masing-masing kami mengikuti pikiran sendiri seraya duduk dalam ruangan gedung Pusat Kebudayaan. Tiada banyak yang kami perkatakan lagi.
Tiba-tiba Nyonya Bintang Sudibyo atau Ibu Sud yang sering melatih pemuda dan pemudi bernyanyi di Bagian Seni Suara bangkit dari kursi, dan menyanyikan lagu ”Tanah Airku Indonesia”. Dan ketika dia sampai pada bait:
“Melambai-lambai/Nyiur di pantai”, maka semua yang hadir turut bernyanyi. Dengan tiada sadar airmata membasahi pipi saya…
Tidak lama sesudah itu gedung Pusat Kebudayaan diduduki oleh tentara Sekutu. Kawan-kawan yang tadinya menginap di situ seperti Sumanto, Djayakusuma harus meninggalkannya. Tetapi mereka membawa truk kepunyaan Bagian Sandiwara yang dulu dipakai oleh rombongan sandiwara keliling.
Kami bersama membentuk rombongan Seniman Merdeka. Anggota-anggotanya ialah Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak, Suryo Sumanto, D. Djayakusuma, Sudjojono S, Basuki Resobowo, Rosihan Anwar, Sarifin, Rasjidi, Suhaimi, dan satu-satunya gadis yakni Malidar Malik (kini Ny. Hadiyuwono yang bergerak di bidang produksi filem).
Dengan menggunakan truk tadi Seniman Merdeka berkeliling di Jakarta untuk membakar semangat rakyat menentang kaum penjajah. Di atas truk terbuka mereka berdiri. Suhaimi membunyikan akordeon, seorang kawan memetik gitar, Sarifin, Rasjidi dan Malidar bergiliran bernyanyi. Lalu seorang kawan berdiri, berpidato singkat menganjurkan kepada rakyat yang mengerumuni truk supaya berjuang terus membela kemerdekaan.
Disusul oleh nyanyian bersama, kemudian seorang kawan membacakan berita-berita terakhir tentang keadaan di Tanah Air. Rombongan Seniman Merdeka mengunjungi rakyat di berbagai tempat: Penjaringan, Kebayoran Lama, Manggarai, Senen, Kebon Kosong, dan lain-lain.
Di Penjaringan rombongan kami dikejar oleh serdadu-serdadu Sekutu. Rakyat memberitahukan kepada kami ”Tentara Ubel-ubel” menuju truk kami. Dengan cepat kami meninggalkan tempat itu. Djaduk Djajakusuma tinggal di Kepu. Ia selalu membawa pestol dan ia sudah pergi ke Banten mencari “ijazah” dari seorang kiayi, supaya kebal dan tahan peluru. Tetapi rupa-rupanya tidak mempan juga.
Berondongan senapan serdadu-serdadu NICA di Jakarta makin keras, hingga rombongan Seniman Merdeka terpaksa menghentikan kegiatannya. Ia tiada dapat lagi menyanyikan di atas truk terbuka:
Darah rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim.
Keadaan tidak mengizinkannya, karena semakin banyak bagian kota Jakarta yang berubah jadi medan perstempuran bersenjata. Dan Seniman Merdeka tidak punya senjata bedil. ’’Senjatanya” hanyalah akordeon, gitar, suara dan semangat juang.
Cornel Simanjuntak sudah meninggalkan rombongan Seniman Merdeka. Ia berada di daerah Tanah Tinggi, berjuang sebagai anggota lasykar rakyat. [ INILAH.COM]
*Judul aslinya : Seniman Merdeka, dari “Kisah-kisah Jakarta Setelah Proklamasi”