POTPOURRI

Dua Puluh Novel Politik Indonesia Versi Saya

Makna “politik” di sini saya artikan secara luas sebagai gambaran satu periode tentang dinamika masyarakat Indonesia yang tersusun dari, namun tidak terkotak-kotak pada, elemen spesifik sosial, budaya, hukum, tradisi, termasuk politik dalam arti khusus

Oleh  : Akmal Nasery Basral*

JERNIH– Seorang kawan yang berprofesi sebagai ilmuwan ilmu politik (doktor dari Universitas Indonesia) bertanya kepada saya, “Kalau menurut Bang Akmal, 20 novel politik yang bisa menggambarkan Indonesia sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang, apa saja?”

Wah, ini pertanyaan pendek yang sulit dijawab karena novel bermuatan pesan politik itu sungguh tak sedikit jumlahnya. Sedikitnya ada ratusan judul.  Apalagi saya juga belum baca semua genre ini yang pernah (atau sedang) beredar.

Belum sempat saya menjawab, kawan ini melanjutkan lagi, “Dalam daftar itu harus ada karya Bang Akmal Presiden Prawiranegara, karena menurut saya ini salah satu novel politik yang dikemas dengan bagus,” lanjutnya.

Nah, ini jadi semakin sulit. Tetapi menimbang saat ini  bulan kemerdekaan, permintaan sang kawan  saya coba wujudkan melalui daftar di bawah ini tanpa melalui riset ketat selain mengandalkan ingatan/kesan pembacaan saya yang sangat subyektif sifatnya.

Pun, makna “politik” di sini saya artikan secara luas sebagai gambaran satu periode tentang dinamika masyarakat Indonesia yang tersusun dari, namun tidak terkotak-kotak pada, elemen spesifik sosial, budaya, hukum, tradisi, termasuk politik dalam arti khusus. Semua faktor bisa berkelindan dalam membangun “aftertaste” pada indra literasi saya setelah halaman terakhir novel tuntas dibaca.

Nomor urut pada daftar tidak menunjukkan peringkat (nomer kecil lebih baik dari nomer sesudahnya) melainkan berdasarkan tahun terbit karya yang disebut.

Tambahan catatan: untuk tetralogi Pulau Buru dari Pramoedya Ananta Toer meski empat buku, saya anggap sebagai satu kesatuan.

Inilah daftar “20 Novel Politik Indonesia” versi saya:

1. Max Havelaar (Douwes Dekker, 1859).

2. Merantau ke Deli (Buya HAMKA, 1941)

3. Surabaya (Idrus, 1946)

4. Senja di Jakarta (Mochtar Lubis, 1963)

5. Saraswati: Si Gadis Dalam Sunyi (A.A. Navis, 1970)

6. Royan Revolusi (Ramadhan KH, 1970)

7. Harimau! Harimau! (Mochtar Lubis, 1975)

8. Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca (Pramoedya Ananta Toer, 1980-1988)

9. Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, 1981)

10. Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, 1982)

11. Canting (Arswendo Atmowiloto, 1986)

12. Para Priyayi (Umar Kayam, 1992)

13. Berjuta-juta dari Deli: Satoe Hikajat Koeli Contract (Emil Aulia, 2006)

14. September (Noorca M. Massardi, 2006)

15. Mawar Hitam Tanpa Akar (Aprila Wayar, 2009)

16. Entrok (Okky Madasari, 2010)

17. Lampuki (Arafat Nur, 2011)

18. Presiden Prawiranegara (Akmal Nasery Basral, 2011)

19. Negeri Para Bedebah (Tere Liye, 2012)

20. Laut Bercerita (Leila S. Chudori, 2017).

Silakan dikomentari, dibandingkan dan ditambahkan dengan versi teman-teman. Semoga menjadi utas yang bermanfaat bagi kita bersama.  Salam literasi. [ ]

PS: Cerpen atau kumpulan cerpen yang membawa gagasan politik–cukup banyak jumlahnya dengan kualitas bagus–dengan sangat terpaksa tidak saya masukkan ke dalam daftar ini yang hanya menyorot format novel saja.

Back to top button