Minyak Makan Merah dan Perbaikan Pasar Minyak Goreng
Sudah dipastikan minyak makan merah ini aman untuk dikonsumsi, bergizi dan bermutu. Dengan demikian, hambatan sebelumnya terkait SNI yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit telah terpenuhi.
Oleh : Muhammad Nalar Al Khair
JERNIH– Pemerintah berniat melakukan ground breaking pembangunan pabrik minyak makan merah pada minggu ke-3 atau ke-4 Oktober 2022 di tiga wilayah, yaitu Kabupaten Deli Serdang, Asahan, dan Langkat. Piloting ini merupakan kerja sama antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan PT Perkebunan Nusantara III. Langkah ini diharapkan dapat menjadi angin segar bagi konsumen karena harga jual minyak makan merah bakal lebih rendah dibandingkan minyak goreng sawit pada umumnya.
Minyak makan merah adalah turunan produk sawit dan merupakan hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Produk ini dapat dikonsumsi sebagai minyak goreng. Proses produksi memakai teknologi sederhana sehingga dapat diterapkan petani sawit rakyat dalam skala Usaha Kecil dan Menengah.
Pengadaan minyak goreng merah diharapkan juga bisa menjadi antisipasi atas kemungkinan bakal kembali langka dan mahalnya harga minyak goreng sawit seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Kita ingat, tingginya harga minyak goreng terjadi hampir setahun lamanya, sejak pertengahan 2021 hingga puncaknya pada April 2022.
Pada Juni 2021, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, harga rata-rata minyak goreng kemasan sederhana di pasar tradisional mencapai Rp 15.850/ liter dengan aturan harga acuan penjualan yang ditetapkan pemerintah saat itu sebesar Rp 11.000/liter, atau lebih tinggi 44 persen. Kemudian harga tertinggi terjadi pada April 2022, di level harga Rp 26.550/liter, yang membuat masyarakat semakin tertekan di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang belum pulih.
Bukan hanya harga yang tinggi, komoditas minyak goreng juga sempat menghilang di pasaran. Spekulasi pun muncul terkait penyebab kondisi ini. Dari penimbunan oleh pihak tertentu, distribusi yang ditahan produsen, dan juga prioritas ekspor minyak sawit ketimbang memasok pasar dalam negeri karena harga dunia yang tinggi pada saat itu.
Pada minggu ketiga Oktober 2022, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memulai sidang majelis pemeriksaan pendahuluan untuk perkara minyak goreng yang dihadiri 27 terlapor terkait pelanggaran pasal penetapan harga dan pembatasan peredaran barang. Semoga saja, dengan langkah KPPU ini, penyebab kasus tingginya harga dan hilangnya minyak goreng di pasaran beberapa waktu lalu dapat terungkap.
Tidak itu saja, semoga pula ikhtiar KPPU ini tidak mendapati aral melintang. Bukan apa-apa, sebelumnya KPPU juga pernah bertindak tegas terhadap produsen minyak gireng nakal. Pada Mei 2010, KPPU pernah memvonis 20 perusahaan minyak goreng yang dinilai melakukan praktik kartel kesepakatan harga. Sayangnya vonis tersebut dibatalkan oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat. Begitu pula dengan Mahkamah Agung yang menolak kasasi KPPU.
Nah, mudah-mudahan langkah hukum yang dilakukan KPPU kali ini bisa berjalan lebih efektif dan bisa lebih menyehatkan kondisi pasar minyak goreng di Indonesia—yang memang terlihat sangat tidak sehat. Kajian KPPU pada awal tahun 2022 menggambarkan bahwa 56,3 persen pasar minyak goreng hanya dikuasai oleh lima perusahaan seperti Sinarmas, Asian Agri, Musim Mas, Wilmar, dan Salim/Indofood. Struktur ini mengarah kepada pasar Oligopoli di mana terdapat ruang yang besar untuk mengatur harga juar produknya di pasaran.
Itu sebabnya, struktur pasar komoditas ini harus diubah menjadi pasar yang lebih sehat. Stiglitz (2017) mengungkapkan bahwa kekuatan pasar sering kali dikaitkan dengan penciptaan hambatan untuk masuk dan juga ketidaksetaraan dalam penguasaan sumber daya.
Tentu saja, upaya menyehatkan pasar minyak goreng di Indonesia tidak bisa semata mengandalkan pendekatan hukum belaka. Perlu juga pendekatan ekonomi yang lebih menjamin ketersediaan pasokan komoditas tersebut bagi masyarakat konsumen. Apalagi International Energy Agency (2021) mengungkapkan bahwa permintaan global untuk biofuel akan tumbuh sebesar 41 miliar liter atau 28 persen selama tahun 2021 – 2026. Dengan demikian gejolak harga akan mungkin terjadi kembali pada waktu mendatang akibat kondisi ini mengingat sawit merupakan salah satu bahan baku untuk biofuel.
Di sinilah relevansi kehadiran minyak makan merah menjadi terasa. Minyak makan merah diharapkan mampu menjadi alternatif barang substitusi bagi minyak goreng sawit. Dengan begitu, akan tercipta struktur pasar yang lebih baiki serta iklim usaha yang lebih sehat.
Pembangunan pabrik minyak makan merah juga membutuhkan investasi yang tidak terlalu besar. Di daerah Pagar Merbau Deli Serdang, misalnya, dana yang dibutuhkan untuk investasi pabrik minyak makan merah hanya sekitar Rp 14,85 miliar dengan kapasitas produksi 10 ton per hari. Dana investasi tersebut akan digelontorkan melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang disalurkan kepada Koperasi Pujakesuma Sumut.
Investasi yang masuk dalam rangka pembangunan pabrik minyak goreng merah ini diharapkan akan mampu mendorong peningkatan ekonomi petani sawit dan masyarakat sekitarnya. Masyarakat juga memiliki pilihan untuk membeli minyak makan merah yang di klaim pemerintah akan lebih murah dari minyak goreng saat ini.
Produk ini juga telah mengantongi dokumen Standar nasional Indonesia (SNI 9098:2022) yang diserahkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) membuat. Sehingga sudah dipastikan minyak makan merah ini aman untuk dikonsumsi, bergizi dan bermutu. Dengan demikian, hambatan sebelumnya terkait SNI yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 46 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan SNI Minyak Goreng Sawit telah terpenuhi.
Pemerintah tetap harus memberikan perlindungan terhadap usaha kecil dan menengah yang menjalankan usaha pabrik minyak goreng merah ini. Jika dilepas begitu saja, potensi pasar produk ini suatu saat akan dapat diambil alih oleh perusahaan besar. Sehingga harapan untuk memperbaiki pasar minyak goreng dari program ini menjadi pupus. Padahal, dalam kasus minyak goreng ini, kebutuhan akan terciptanya pasar yang sehat dan persaingan yang adil—bukan persaingan bebas—sangat lah mendesak. Klaus Decker et al (2019) mengungkapkan, persaingan yang adil dapat menjadikan alokasi yang efisien, produktif, serta mampu menciptakan peluang ekonomi.
Untuk itu pemerintah perlu membatasi pihak-pihak yang boleh memproduksi minyak makan merah. Misalnya hanya usaha skala kecil dan menengah saja yang boleh memproduksinya dengan syarat pabrik tersebut dikelola oleh koperasi petani sawit. Seperti halnya di era Presiden Soeharto yang menghususkan produksi telur ayam hanya boleh dilakukan oleh masyarakat dengan skala usaha tertentu.
Selain itu pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi terkait produk ini. harus disampaikan ke masyarakat terkait informasi akan produk ini, karena merupakan barang baru yang akan di jumpai masyarakat. Jangan sampai masyarakat enggan membeli produk ini karena kurangnya informasi.
Permasalahan minyak goreng yang melanda masyarakat Indonesia harus menjadi pelajaran besar bagi Pemerintah dan kita semua. Memperbaiki struktur pasar dengan menumbuhkan pemain baru minyak goreng menjadi salah satu solusinya. Memperkuat KPPU juga merupakan langkah yang dapat ditempuh pemerintah. Memberikan keleluasaan kepada KPPU dalam menyelidiki kasus persaingan usaha tidak sehat dan wewenang untuk dapat menyita barang bukti juga hal yang penting. Mari kita kawal dan dukung program ini demi terciptanya struktur pasar yang sehat untuk komoditas ini. [ ]
* Peneliti Sigmaphi