Setetes Embun: Memilih Diutus
Yesus memilih kedua belas rasulnya tanpa diskusi dan tanpa persyaratan khusus (Mat 10,1-8). Dia memilih mereka karena mengenal siapa mereka, dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Para murid mengambil keputusan menjawab YA karena tahu apa yang direncanakan untuk mereka. Mereka dipilih untuk DIUTUS.
Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR
JERNIH-Di negara modern, dalam upacara pernikahan para tamu undangan biasanya ditanya: “Sahabat mempelai pria atau wanita”. Biasanya tamu menjawab salah satunya lalu diarahkan ke tempat duduk yang sudah disediakan. Suatu ketika seorang tamu masuk Gereja. Dia ditanya: “Anda sahabat mempelai pria atau wanita”. Tamu itu menjawab: “Sahabat keduanya”. Penerima tamu bingung: “Tak ada tempat yang netral disini. Anda harus memilih salah satunya”.
Dalam arti tertentu begitulah Yesus memilih para muridnya, dan begitu pula para murid mengambil keputusan. Yesus memilih mereka dan mereka memutuskan menerima pilihan itu. Dengan kata lain, mereka memilih Yesus dengan segala konsekwensinya.
Dalam Injil hari ini, Yesus memilih kedua belas rasulnya tanpa diskusi dan tanpa persyaratan khusus (Mat 10,1-8). Dia memilih mereka karena mengenal siapa mereka, dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Para murid mengambil keputusan menjawab YA karena tahu apa yang direncanakan untuk mereka. Mereka dipilih untuk DIUTUS.
Menariknya, di Indonesia digunakan istilah “Misi” dari bahasa Latin oleh Gereja Katolik, dan “Zending” dari bahasa Belanda oleh Gereja Protestan. Keduanya mempunyai arti yang sama “perutusan”.
Dasar perutusan itu adalah belaskasihan Yesus kepada orang-orang Israel yang bagaikan “domba tanpa gembala” dan “tuaian yang banyak”. Setelah kembali dari pembuangan Babel (538 SM), bangsa Israel tidak lagi mempunyai pemimpin sejati. Hidup mereka bergantung pada keputusan-keputusan para tokoh agama seperti Imam Agung dan para Saduki, kemudian para orang Farisi. Orang-orang kecil kebanyakan sering dianggap sebagai obyek manipulasi dan pemerasan.
baca juga: Setetes Embun: The Real Presence
Kontras dengan istilah “panenan berlimpah” di mata Yesus, bagi para tokoh agama, orang-orang kecil dianggap seperti jerami yang bisa dihancurkan dan dibakar. Sebagai “domba tanpa gembala” mereka rawan dieksploitasi dan diserang oleh para binatang buas yang harusnya bisa melindungi mereka. Itulah alasan mengapa Musa dulu mengangkat Yosua sebagai penggantinya (Bil 27,17).
Itulah sebabnya perutusan pertama para rasul terpilih adalah kepada “domba-domba yang hilang dari umat Israel”.
Mengapa pertama-tama kepada orang Israel? Karena para murid tidak atau belum dipersiapkan untuk pewartaan Kerajaan Allah kepada orang kafir. Lebih mudah mewartakan Kerajaan Allah kepada mereka yang sudah punya pemahaman yang sama. Sebagai guru yang bijaksana Yesus juga perlu membatasi tujuannya supaya pekerjaan jangan sia-sia.
Dalam tugasnya para murid memegang etika dasar: memberi secara cuma-cuma. Ini adalah etika seorang Rabbi Yahudi yang tidak boleh memungut bayaran dalam pengajaran Kitab Taurat, karena Kitab itu diterima Musa secara cuma-cuma dari Allah. Meski para Rabbi tidak memungut bayaran, tetapi adalah kewajiban umat juga untuk mendukung kebutuhan material seorang Rabbi.
Dalam arti ini Yesus menegaskan bahwa seorang pewarta tidak boleh dikuasai oleh harta kekayaan. Dia harus menjadi pribadi yang bebas dari segala tuntutan material.
Yesus hanya menganjurkan agar seorang utusan tinggal pada “seorang yang layak”. Artinya, seorang utusan harus hidup sedemikian rupa sehingga tidak melalaikan tugasnya yang utama: mewartakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang sakit membangkitkan orang mati, mentahirkan orang kusta dan mengusir setan-setan.
baca juga: Setetes Embun: Misteri Trinitas
**
Dalam buku “Happy Hypocrite” karya Max Beerbohm, seorang pria jahat mengenakan topeng orang suci untuk merayu wanita suci yang dicintainya. Bertahun-tahun kemudian seorang wanita yang pernah dia buang menemukan tipuannya dan menantangnya untuk melepas topengnya di depan kekasihnya agar dia tahu kebenaran tentang dia. Dia melakukannya dan ternyata, di balik topeng seorang suci ada wajah aslinya yang telah menjadi seorang suci.
Saat kita hidup untuk Kristus, saat kita melakukan kebaikan setiap hari, saat kita menghabiskan waktu terus-menerus bersama Kristus, pada akhirnya dan secara bertahap kita menjadi seperti Kristus, orang yang berubah.
(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa)