Spiritus

Setetes Embun: Gembala yang Baik

Dia (Paus Yohanes XXIII) ingin mengembalikan hakekat Gereja sebagai tempat perlindungan bagi yang menderita, tempat menimba air sejuk bagi yang kehausan, dan pelarian bagi mereka yang miskin. Dia ingin melihat lagi para pemimpinnya sebagai gembala yang sejati; yang bukan hanya memikirkan kenyamanan dirinya sendiri tetapi mengutamakan domba-domba diatas segalanya.

Penulis: P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Penggunaan istilah “Gembala” mungkin terasa asing bagi dunia modern yang kebanyakan hidup di kota. Gambaran ini lebih mudah dipahami dalam dunia masyarakat tradisional yang masih hidup dalam dua dunia saja; pertanian dan peternakan. Kitab Suci pada umumnya ditulis dengan latar belakang semacam ini. Itulah sebabnya istilah “Gembala” sangat populer dalam dunia Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Dalam Perjanjian Lama, gambaran Gembala sering diterapkan kepada Allah dan juga kepada para pemimpin umat. Kitab Keluaran beberapa kali menggambarkan Yahweh sebagai Gembala. Nabi Yesaya dan Yehezkiel membandingkan pemeliharaan dan perlindungan Yahweh atas umat-Nya dengan seorang gembala. Yehezkiel mewakili Tuhan sebagai Gembala yang penuh kasih yang mencari domba yang hilang dengan rajin.

Mazmur 23 adalah gambaran terkenal Daud tentang Tuhan sebagai Gembala yang Baik: “Tuhan adalah gembalaku; Aku tidak akan kekurangan”

Dalam Perjanjian Baru Yesus memperkenalkan dirinya sebagai Gembala yang Baik bagi kawanannya. Yesus membuat beberapa karakter Gembala dalam Injil hari ini.

Dia tahu domba-dombanya dan domba-dombanya mendengar suaranya. Dia memberikan hidup yang kekal kepada dombanya. Dia melindungi domba-dombanya dengan menempatkan mereka di tangan kasih Bapa-Nya yang Mahakuasa.

Dia pergi mencari domba-domba yang tersesat dan menyembuhkan yang sakit. Dia bahkan mati bagi domba-domba-Nya untuk membebaskannya dari dosa-dosa serta memberinya hidup baru.

Ada sebuah kisah. Konon, pada malam sesudah mengumumkan diadakannya Konsili Vatikan II, Paus Yohanes XXIII tidak bisa tidur. Dia lalu mengingatkan dirinya sendiri dengan berkata: “Angelo, mengapa engkau tidak tidur? Siapakah yang memimpin Gereja; engkau atau Roh Kudus? Tidurlah.” Dengan kata-kata ini lalu dia bisa tertidur nyenyak.

baca juga: Setetes Embun: Tetap Bernilai di Mata Tuhan

Benar atau tidaknya kisah ini kurang penting. Tapi mengingat pribadi seorang Angelo Roncalli, nama asli dari Paus Yohanes XXIII, yang terkenal dengan segala kerendahan hati dan kesederhanaannya, bukan mustahil hal semacam ini terjadi.

Berangkat dari kegemarannya turun melihat realitas umat sampai pada level yang paling rendah, dia merasa Gereja harus berubah total. Sebagai gembala yang baik dia ingin melihat Gereja dalam wajah yang baru: padang gembala yang subur, yang membuat umat menemukan sukacita dan kegembiraan, harapan dan kesegaran.

Dia ingin mengembalikan hakekat Gereja sebagai tempat perlindungan bagi yang menderita, tempat menimba air sejuk bagi yang kehausan, dan pelarian bagi mereka yang miskin. Dia ingin melihat lagi para pemimpinnya sebagai gembala yang sejati; yang bukan hanya memikirkan kenyamanan dirinya sendiri tetapi mengutamakan domba-domba diatas segalanya.

baca juga: Setetes Embun: Divine Mercy

Meski ini semua datang dari pikirannya, Paus Yohanes sungguh sadar bahwa Yesus, melalui Roh Kudus adalah yang tetap menggembalakan domba-dombanya yakni Gereja. Yesus menyebut dirinya Gembala yang baik. Dia tak tergantikan atau terlampaui.

Tetapi Yesus juga berpesan: gembalakanlah domba-dombaku. Ketika mengatakan hal ini, Yesus bahkan belum memikirkan para pastor dalam gereja melainkan gembala dalam arti luas.

Mereka yang diberi kepercayaan untuk memelihara, menjaga, menuntun, dan melindungi, mengenal dan mencintai bahkan rela mati demi dombanya, termasuk dalam kategori gembala yang baik.

Kepada merekalah panggilan Allah itu datang dan karenanya panggilan itu berlaku bagi siapa saja seperti dilukiskan dengan indah oleh Paus Fransiskus dalam kotbahnya hari ini, hari minggu panggilan.

“Michelangelo Buonarroti pernah mengatakan bahwa setiap balok batu berisi patung di dalamnya, dan terserah bagaimana sang pematung untuk mengungkapnya. Jika itu benar bagi seorang seniman, apalagi bagi Tuhan!

Dalam diri wanita muda Nazaret, Dia melihat Bunda Allah. Dalam diri Simon si nelayan, Dia melihat Petrus, si batu karang tempat dia akan membangun Gereja-Nya. Dalam diri Lewi pemungut cukai, Dia mengenali rasul dan penginjil Matius, dan pada Saulus, seorang penganiaya yang kejam terhadap orang-orang Kristen, Dia melihat Paulus, rasul orang-orang bukan Yahudi. Tatapan kasih Tuhan selalu menjumpai kita, menyentuh, membebaskan  dan mengubah kita, serta menjadikan kita pribadi baru.”

Relakanlah diri kita dibentuk oleh Tuhan dan kita bisa menjadi GEMBALA dimana saja kita berada dan berkarya.

(Setetes Embun, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Biara Novena Maria “Madre del Perpetuo Soccorso”, Kalembu Ngaa Bongga (KNB), Weetebula Sumba tanpa Wa).

Back to top button