Solilokui

Pembelian Jet Mirage dan Perencanaan Matang Pengadaan Alutsista

Dengan masa pakai yang singkat ini (10-15 tahun) plus jumlah yang sedikit (12 pesawat) secara cost benefit pun sangat tidak menguntungkan, terutama dalam alokasi dana pelatihan teknisi dan pilotnya. Masa operasional yang singkat itu selain membebani APBN, juga tidak berpengaruh banyak bagi kemampuan pertahanan.

Oleh   :  Beni Sukadis

JERNIH–Pemerintah Indonesia akhirnya memberikan konfirmasi tentang renca-na pembelian pesawat jet tempur Mirage 2000-5 yang merupakan pesawat tempur bekas milik Qatar. Pesawat Mirage ini ongkosnya diperkirakan sebesar 800 juta dolar AS dengan skema pinjaman luar negeri (loan). Tahun lalu memang sempat ada informasi tentang rencana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) tempur ini, namun baru terkonfirmasi tahun ini.

Beni Sukadis

Alasan pemerintah membeli 12 jet tempur ini antara lain kebutuhan mendesak untuk mengganti pesawat tempur lama seperti F5 dan Hawk 100 yang sudah pensiun. Langkah ini dianggap sebagai cara cepat untuk memperkuat armada tempur TNI AU sesuai dengan rencana strategis yang ada. Diketahui sasaran Renstra 2019-2024 masih belum tercapai, artinya pembelian ini untuk memenuhi interim readiness (kesiapan sementara), yang menjadi salah satu solusi jangka pendek Kementerian Pertahanan. 

Selanjutnya pemerintah berargumen inilah cara efektif dalam mendapatkan pesawat secara cepat dan praktis ketika sanksi internasional terhadap Rusia makin meningkat setelah Rusia menyerang Ukraina tahun 2022. “Indonesia membutuhkan pesawat tempur yang dapat segera dikirimkan untuk mengatasi penurunan kesiapan tempur dalam armada Angkatan Udara Indonesia,” kata Edwin Adrian, juru bicara Kementerian Pertahanan.

Di lain sisi, banyak pihak mengecam pembelian pesawat bekas ini. Antara lain anggota DPR RI, TB Hasanudin, yang menyatakan tidak ada kebutuhan mendesak untuk beli pesawat tempur yang tua ini karena saat ini tidak ada perang.

Pesawat Mirage 2000-5 pertama kali dibeli Qatar pada tahun 1997 dan pernah digunakan dalam kampanye menghadapi perlawanan di Yaman. Artinya, dari segi umur saat ini akan memasuki usia operasional 26 tahun, atau usia yang cukup tua. Memang secara praktik biasanya jika sudah mencapai 40 tahun sudah harus diganti atau mencapai pensiun yang disebut Total Lifelong Expiry (TLLE). Karena bisa saja spare part sudah jarang diproduksi atau bahkan tidak diproduksi lagi, sehingga biaya pemeliharaan menjadi sangat mahal.

Yang menarik sebenarnya Indonesia pernah ditawarkan pesawat tipe sama oleh Qatar secara hibah pada tahun 2009, tapi saat itu Menhan Juwono Sudarsono menolak dengan alasan biaya pemeliharaan dan perawatan akan sangat mahal. Dengan kata lain, ini merupakan pesawat yang pernah ditawarkan Qatar dulu. Kalau dulu dengan alasan pemeliharaan akan menjadi mahal walaupun hibah, kenapa saat ini dibeli lagi dengan pinjaman luar negeri?

Untuk menanggapi perdebatan ini, sebaiknya pemerintah melihat beberapa hal yang mendesak untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam pembelian alutsista di masa depan. Pertama, pesawat tua jenis apa pun seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam pembelian alutsista di masa depan. Pesawat Mirage yang nanti dikirimkan berusia antara 29-30 tahun, akan menjadi barang tua dalam 10-15 tahun ke depan dan tentu memiliki risiko kerusakan mesin dan framenya karena kita tidak mengetahui proses pemeliharaan selama dipakai user pertama. Padahal dalam waktu yang hampir sama tahun 2026, jet tempur Rafale Dassault juga akan dikirim ke Indonesia.

Kedua, ketersediaan spare part Mirage mungkin 10-15 tahun ke depan semakin langka, sehingga dapat membuat biaya perawatan dan pemeliharaan (MRO) mahal. Tentu ini akan memberatkan anggaran belanja negara yang harus mengeluarkan hanya untuk 10-15 tahun, sampai pesawat akhirnya di-grounded. Itu karena pesawat sudah tidak diproduksi lagi oleh OEM (Original Equipment Manufacture/produsen).

Ketiga, dengan masa pakai yang singkat ini (10-15 tahun) plus jumlah yang sedikit (12 pesawat) secara cost benefit pun sangat tidak menguntungkan, terutama dalam alokasi dana pelatihan teknisi dan pilotnya. Masa operasional yang singkat itu selain membebani APBN, juga tidak berpengaruh banyak bagi kemampuan pertahanan.

Keempat, perencanaan yang matang dalam setiap pembelian alutsista tentu harus terjadi dengan proses diskusi yang terbuka dan bertanggungjawab yang melibatkan pihak ketiga seperti Parlemen, akademisi dan masyarakat sipil lainnya. Dan proses ini tampaknya tidak terjadi dalam pengadaan alutsista ini, artinya ini merupakan keputusan sepihak (Kemhan) tapi dapat merugikan semua pihak baik pemakai dan juga rakyat Indonesia.

Akhir kata, sebagai negara besar di Asia Tenggara dengan lingkungan strategis tidak menentu dan sangat tidak bisa diprediksi, terutama di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, maka peningkatan kemampuan pertahanan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Artinya pengelolaan dan perencanaan pengadaaan alutsista harus melalui prinsip demokratis dan transparan. Pengadaan alutsista baru sebagai investasi masa depan bagi pengembangan pertahanan adalah keniscayaan. Apalagi, kita baru saja memperingati 25 tahun Reformasi, yang intinya menuntut negara agar bertanggung jawab dalam penyelenggaraan negara, khususnya pengembangan kapasitas pertahanan negara. [  ]

*Beni Sukadis adalah peneliti senior LESPERSSI, Jakarta.  

Back to top button