D u i t
- Sebagai mata uang paling receh, duit adalah simbol rendahnya tenaga pribumi di era VOC dan Hindia-Belanda.
- VOC mengimpor 1,1 miliar duit sepanjang abad ke-18, dan menjadi salah satu penyebab kebangkrutan perusahaan dagang itu.
JERNIH — Duit itu, dalam pengertian umum, adalah uang. Dalam pemahaman historis, duit — sebutan pendek untuk kata duiten — adalah pecahan terkecil mata uang VOC dan Hindia-Belanda. Jadi, duit itu adalah uang receh yang paling receh.
Jadi kalo saya sebut Si A orang berduit, orang itu nggak perlu bangga. Sebab, yang ada di kantong Si A adalah satuan mata uang paling receh.
Pertanyaannya, mengapa kita — seperti diajarkan orang-orang tua kita turun temurun — menyebut semua uang dengan duit? Sebab, nenek moyang kita, dimulai sejak kedatangan VOC, hanya menerima duit, atau duiten, atau satuan mata uang paling receh.
Duit adalah simbol betapa VOC, dan pemerintah Hindia-Belanda, menghargai tenaga pribumi dengan mata uang paling rendah. Penduduk kulit putih, para bos tanah partikelir dan perkebunan, seolah tidak pernah menghargai tenaga pribumi dengan pecahan di atas duit, yaitu stuiver, apalagi gulden.
Rincinya, satu gulden = 20 stuiver. Satu stuiver = delapan duit. Di masa VOC, duit bergambang lambang perusahaan yang mengawali penjajahan Nusantara. Setelah VOC bangkrut, dan Kerajaan Belanda mengambil alih Nusantara, duit bergambar logo kerajaan.
Menariknya, tidak tertera angka di salah satu sisi duit. Jadi jangan bayangkan duit era VOC dan Kerajaan Belanda seperti uang logam yang kita pegang saat ini, dengan nilai tertera di kedua sisinya. Satu duit artinya satu keping uang logam, begitu pula untuk dua, tiga, dan seterusnya.
Meski mengenal pecahan tertinggi dalam sistem mata uang saat itu, orang Belanda menggunakan kata duit untuk menyebut semua mata uang. Perhatikan ungkapan-ungkapan berikut; Een duit in het zakje doen, yang arti harfiahnya memasukan duit ke dalam saku, dan arti luhurnya; menyumbangkan sesuatu.
Ungkapan lain; Hij is een duitendief. Arti harfiahnya; dia pencuri duit. Namun ungkapan ini kerap digunakan untuk menyebut orang serakah.
Pribumi juga punya ungkapan abadi berkaitan dengan duit, yaitu mata duiten (Jawa) dan mata duitan (Melayu/Indonesia), untuk menyebut orang yang kerap menilai segalanya dengan uang.
Ungkapan-ungkapan itu diperkirakan populer sepanjang abad ke-18. Sebab, menurut Alberto Feenstra dalam Dutch Coins for Asian Growth VOC-duiten to Assess Java’s Deep Monetisation and Economic Growth,1724-1800, VOC mengimpor 1,1 miliar keping duit antara 1724-1795. Rincinya, VOC mengimpor 15 juta keping setiap tahun sepanjang periode itu.
Impor uang receh skala besar oleh perusahaan terbesar di dunia saat itu terasa aneh. Sebab koin-koin itu terlalu kecil untuk membayar perdagangan grosir. Menjadi semakin aneh, menurut Thomas J. Sargent dan François R. Velde, pencetakan koin-koin itu sangat mahal dan tidak menguntungkan.
Namun ada asumsi masuk akal mengapa VOC mengimpor uang receh sedemikian banyak. VOC menargetkan permintaan tertentu untuk uang receh. Di Pulau Jawa, dan sekujur Nusantara, duit digunakan untuk transaksi sehari-hari dan mengubah secara struktural perekonomian di tanah jajahan.
Lewat duit, VOC sukses menggeser pertanian subsisten menjadi ekonomi pasar. Populasi Pulau Jawa dan sekujur tanah jajahan menjadi tergantung pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Volume kebutuhan koin meningkat, dan VOC harus terus mengimpor duit.
Pencetakan duit terus-menerus yang tidak menguntungkan kemungkin menjadi salah satu penyebab melemahnya VOC. Tahun 1795 tidak ada lagi impoir koin tembaga bernama duit dari Belanda. Saat itu VOC berusaha menyelamatkan diri dari kebangkrutan, dan gagal. Empat tahun kemudian perusahaan terbesar di dunia itu menemui ajal.
Djalan Djembatan Satoe Doewit
De Indische Courant edisi 1 Juli 1925 bercerita tentang Djalan Djembatan satoe doewit di Rawa(h) Bangke, kini jadi Rawa Bunga. Pernah ada usulan agar nama jalan itu diganti jadi Pertjastraat, atau Jl Pertja. Pertja adalah nama kuno Sumatera.
Dewan Kota Meester Cornelis menolak usulan itu. Alasannya, nama Djalan Djembatan Satoe Doewit memiliki nilai sejarah. Nama Belanda jalan itu adalah Tolbrugweg, atau Jl Jembatan Tol, sebab ada jembatan tol di sisi jalan.
Kusir delman dan pedagang pribumi yang membawa gerobak penuh komoditi menyebut Jembatan Tol itu Djembatan Satoe Doewit. Sebab, mereka harus membayar tarif resmi sebesar satu duit setiap kali melintas di atas jembatan itu.
Menurut Straatnamen in Batavia vroeger en Jakarta nu, Tolbrugweg atau Jl Djembatan Satoe Doewit kini menjadi Jl Bekasi Timur Raya.
Dulu, hampir semua jembatan di Batavia adalah jembatan tol. Di Jl Daan Mogot saat ini ada Jembatan Pesing. Dulu, jembatan itu bernama Tolbrug Pesing, artinya Jembatan Tol Pesing. Saya tidak tahu berapa tarif resmi melintas di jalan itu.
Tahun 1833, atau tiga tahun setelah Tanam Paksa diberlakukan, Hindia-Belanda menghapus satuan duit. Sebagai gantinya diperkenalkan sen (C). Satu gulden = 120 sen (C). Tahun 1854, satu gulden = 100 sen (C).
Sebagai satuan mata uang, duit lenyap dari kantong nenek moyang kita dan catatan keuangan Hindia-Belanda. Namun sebagai kata untuk menyebut uang, duit abadi.