Saat saya masih kuliah S2 di STF Driyarkara, Bu Francisia Ery Seda dalam mata kuliah “Masyarakat dan Perubahan Sosial” sempat menyatakan, kebanyakan orang Indonesia melanjutkan kuliah S2 bukan karena dorongan mencari ilmu, tetapi karena tidak mendapat pekerjaan. Mereka berharap, dengan ijazah S2, nilai tawarnya di dunia kerja lebih meningkat. Ini selaras dengan perkataan Jeffrey A. Winters, bahwa di Indonesia, jumlah doktor meningkat banyak, tapi jumlah ilmuwan — mohon maaf — sama sekali tidak.
Oleh : Alfathri Adlin*
JERNIH– Belasan tahun yang lalu, sahabat saya mengikuti tes untuk masuk Petronas. Saat tes hendak dimulai, para peserta diberitahu bahwa untuk posisi yang ditawarkan, bagi lulusan S1 dan S2 ‘diperlakukan’ sama, maksudnya, gaji dan lain sebagainya sama saja. Salah seorang peserta bertanya: Kenapa? Dijawab, “Kalian kan kuliah S2 karena nggak mendapat pekerjaan…”
Ini sama dengan hasil sebuah penelitian di sebuah surat kabar yang kemudian disampaikan Bu Francisia Ery Seda dalam mata kuliah “Masyarakat dan Perubahan Sosial” pada saat saya masih kuliah S2 di STF Driyarkara. Bahwa kebanyakan orang melanjutkan kuliah S2 bukan karena dorongan mencari ilmu, akan tetapi karena tidak mendapat pekerjaan, serta berharap bahwa dengan ijazah S2 maka nilai tawarnya di dunia kerja lebih meningkat.
Mendengar hal itu, saya lalu berkata kepada teman sekelas yang nota bene adalah mahasiswa S3 di STF Driyarkara, “Wah, kalau yang S2 keadaannya seperti itu, apalagi yang S3, ya?” Dan kami pun ngakak bersama. Ini selaras dengan perkataan Jeffrey A. Winters, bahwa di Indonesia, jumlah doktor meningkat banyak, tapi jumlah ilmuwan — mohon maaf — sama sekali tidak.
Dalam salah satu kuliahnya, Pak Bambang Sugiharto bercerita bahwa bangsa ini lebih dikenal sebagai bangsa bricoleur, alias tukang yang terampil, pinter ngoprek berbagai hal teknis, pinter ngakalin hal-hal teknis. Makanya jangan heran bahwa di Indonesia cukup banyak orang yang pinter ngoprek komputer tapi tidak fasih berbahasa Inggris, padahal nyaris semua program itu berbahasa Inggris.
Karenanya jangan heran, kebanyakan anak bangsa ini, ketika harus bersaing dengan bangsa maju, terutama Barat, dalam hal ngoprek perkara teknis dan skill teknis, memang tidak kalah jago. Namun, kalau harus bersaing di wilayah ilmu-ilmu murni, teoretik dan dasar, bisa dibilang tak berkutik.
Dari sekitar 270 juta rakyat Indonesia, rasanya belum pernah lahir filsuf sekaliber Foucault misalnya, atau fisikawan sekaliber Feynman. Banyak akademisi yang kuliah hingga S3 di luar negeri, namun saat pulang ke Indonesia, malah menyibukkan diri mengejar jabatan jadi ketua jurusan, dekan, senat guru besar, rektor lalu menteri. Atau tak sedikit yang bahkan mengerahkan anak buahnya untuk mengerjakan semua tugas kuliah hingga tugas akhir demi gelar akademik bergengsi yang dibanggakannya sebagai politikus.
Seolah karier tertinggi seorang akademisi adalah terjun ke dunia politik serta menduduki suatu jabatan, dan bukannya mengembangkan keilmuannya. Atau kalau pun tidak, status dosen tersebut hanya dipakai untuk mempermudah agar bisa mendapat proyek, sekali pun proyek tersebut tidak sejalan atau tidak mengembangkan disiplin keilmuan yang digelutinya.
Saat masih menjadi editor penerbit Jalasutra, saya sangat sering bertemu penulis yang menawarkan naskahnya. Namun ada sebagian dari mereka menawarkan naskah dengan mentalitas megalomania. Mereka menuntut agar naskahnya diperlakukan dengan terhormat: didahulukan, sebab isinya adalah pemikiran dia yang akan mengguncang serta mengubah dunia untuk sekali dan selamanya. Jadi, ketimbang bertemu para calon pemikir dunia, saya malah beberapa kali bertemu para magalomania yang merasa seluruh dunia ada di kepalanya dan dia tahu solusinya, yaitu pemikiran dalam bukunya.
Mengutip perkataan Sang Iblis yang diperankan oleh Al Pacino dalam film “Devil’s Advocate”, bahwa “Vanity is definitely my favorite sin”…[ ]