Crispy

7 Nopember, Mengenang Rendra dalam Hari Kebudayaan Nusantara

Dalam pandangan Lekra, seni, sastra, dan secara umum kebudayaan harus terarah untuk perubahan nasib rakyat (art for people), dan bukan untuk seni dan sastra itu sendiri (art for art).

Jernih — 7 November sebelas tahun silam, sejumlah seniman dan budayawan mendeklarasikan Hari Kebudayaan Nusantara (HKN) di Gedung Indonesia Menggugar (GIM), Kota Bandung, Jawa Barat. Tanggal tersebut dipilih sebab merupakan tanggal lahirnya seorang budayawan sekaligus pemikir, penyair, dan dramawan kesohor yang menjadi inspirasi HKN, Wahyu Sulaiman Rendra atau yang lebih umum dikenal W.S. Rendra.

Di tahun itu pula, tepatnya 6 Agustus 2009, budayawan yang berjuluk Burung Merak itu wafat. Ia meninggal di usia 73 tahun akibat sakit yang dideritanya. Gagasan pendeklarasian HKN lahir setelah Rendra wafat dari beberapa kawannya sesama budayawan, di antaranya Herry Dim, perupa cum budayawan yang bermukim di Bandung.

Dalam unggahan Facebook-nya pada hari Sabtu (7/11/2020), Herry Dim menulis sebuah catatan berjudul “11 Tahun ‘Hari Kebudayaan Nusantara’”. Salah satu yang ditulisakannya dalam catatan itu adalah prihal latar belakang lahirnya gagasan HKN.

Herry Dim, dalam catatan itu, menulis bahwa yang menjadi landasan deklarasi HKN adalah sebuah esai karya Rendra berjudul “Mempertimbangkan Tradisi” yang ditulisnya tahun 1971 dan dimuat di majalah Basis di tahun yang sama.

Esai tersebut mengkritisi tradisi yang beku, yang tidak dinamis sehingga tak mampu menjawab tantangan zaman atau dalam bahasa Sunda, tak mampu “miindung ka waktu mibapa ka jaman (beribu pada waktu berayah pada zaman)”. Tradisi yang tak mampu lagi melayani daya cipta manusia di zaman itu, yang jumud dan beku, itulah tradisi yang kritisi Rendra.

Dalam sebuah kesempatan, sebelum Rendra menurunkan esai kebudayaannya yang monumental itu, ia menyampaikan ceramah di Gedung Pers Univeritas Gajah Mada (UGM). Dalam ceramahnya, Burung Merak itu menyebut “kebudayaan Jawa adalah kebudayaan kasur tua”. Herry Dim menulis bahwa pernyataan itu sontak membuat publik yang mendengarnya kaget, terlebih ungakapan tersebut disampaikan oleh seorang seniman teater yang belum lama pulang menuntut ilmu drama dan seni pertunjukan dari Amerika Serikat (AS).

Putu Wijaya, sebagaimana yang dituliskan Herry Dim, menulis di akun Facebook-nya pada 10 September 2018 sebuah kenangan akan peristiwa yang ia saksikan sendiri itu.

“Banyak orang tersinggung dan marah. Tapi karena yang mengucapkan orang Jawa dan penyair terkenal, ya aman-aman saja. Saya yang ada malam itu dalam gedung, ikut terkejut. Apakah Amerika sudah mengarbit Burung Merak itu membenci tradisi?,” tulis Putu Wijaya.

Namun, Putu tak habis sampai di sana. Ia juga menulis bahwa Rendra sebenarnya “memulyakan”  tradisi. Salah satu indikator yang menunjukan hal tersebut, menurut Putu, adalah estetika teater yang  dikembangkan Rendra dalam karya-karya pertunjukannya berakar dari dramaturgi ketoprak atau wayang.

Yang dibenci Rendra adalah “orang yang memberhalakan tradisi”. Putu menambahkan bahwa dalam tradisi banyak juga “titipan liar dari kekuasaan, penguasa masa lalu atau dari musuh dalam selimut, sehingga esensi kearifan lokal dalam tradisi [menjadi] error.”

Mengutip Rendra, Herry Dim juga menyebut, “tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidup.” Perupa pemilik Studio Pohaci ini juga menapaki jejak perdebatan mengenai kebudayaan dari masa-masa awal kemerdekaan, bahkan dari masa sebelumnya.

Pada tanggal 2 Agustus 1935, Poedjangga Baroe menerbitkan tulisan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang memantik polemik berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia”. Sebagaimana yang umum diketahui, STA memandang bahwa jika bangsa Indonesia ingin maju, kebudayaan Barat-lah yang harus jadi teladan.

Tulisan ini memancing sastrawan angkatan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane, menulis “Persatuan Indonesia” yang dimuat di Suara Umum edisi 4 September 1935. Saudara Armijn Pane ini menyatakan bahwa zaman yang dilakoni kini adalah “terusan zaman dahulu”. Ia mengusulkan agar tradisi atau kebudayaan lama berperjumpakan dengan kebudayaan baru yang notabene berasal dari Barat.

Pada masa pra kemerdekaan, sebagaimana digambarkan singkat dalam tulisan Herry Dim, perdebatan kebudayaan terfokus pada tradisi versus kebudayaan modern (Barat). Sebagian membela dan memilih tradisi seraya anti-Barat. Sebagian lain condong ke Barat dan mengatakan tradisi sudah usang dan tak relevan. Sementara sebagian lainnya, seperti pandangan Sanusi Pane, memilih jalan tengah.

Perdebatan mengenai identitas budayaan bangsa Indonesia ini tak terjadi di tahun itu saja. Polemik mengenai kebudayaan ini semakin keras dan meruncing setelah sejumlah seniman, sastrawan, dan budayawan menandatangi Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963.

Kala itu, ada sebuah lembaga kebudayaan bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang cenderung berhaluan realisme-sosialis dalam konteks seni dan sastra. Lekra disebut-sebut berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam pandangan Lekra, seni, sastra, dan secara umum kebudayaan harus terarah untuk perubahan nasib rakyat (art for people), dan bukan untuk seni dan sastra itu sendiri (art for art).

Lekra merasa tidak cocok dengan kelompok seniman dan budayawan penandatangan Manifesto Kebudayaan karena mereka disebut mengusung ideologi humanisme universal, hal yang bertentangan dengan realisme-sosialis. Sebagian pengamat memandang bahwa pertentangan ini merupakan bentuk lain perang ideologi antara komunisme v.s. kapitalisme, antara AS dan negara-negara komunis seperti Uni Soviet.

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, pertentangan Lekra dan Manifesto Kebudayaan ini sering disebut Polemik Kebudayaan.

Renungan atas hal-hal itu, dan terutama esai “Memepertimbangkan Tradisi” karya Rendra, memantik gairah Herry Dim bersama Aat Soeratin, Tompel Witono, dan sejumlah nama lainnya untuk mendeklarasikan HKN sebagai upaya peneguhan budaya sebagai akar kehidupan manusia.

Deklarasi HKN sendiri merupakan salah satu mata acara dalam rangkaian acara Bandung Mengenang Rendra yang dilaksanakan nyaris selama satu bulan penuh pada Oktober-November 2009.

Berbagai acara yang mengisi kegiatan tersebut, di antaranya seminar dan diskusi, pementasan drama “Kisah Perjuangan Suku Naga” karya W.S. Rendra, pemutaran film, pameran lukisan, dan lain sebagainya.

Secara lengkap, teks deklarasi HKN adalah sebagai berikut:

Hari Kebudayaan Nusantara

Wahai, para leluhur Nusantara, hari ini di sini kami bersaksi, bahwa:
7 November adalah “Hari Kebudayaan Nusantara”

7 November adalah suatu hari saat berkumpulnya energi kebudayaan yang bersandar kepada kemanusiaan, perdamaian, dan kecendekiaan demi mendorong daya hidup bagi 364 hari lainnya agar segenap insan berfikir dan bertindak dengan landasan manusia berkebudayaan.

7 November adalah saat bagi kita untuk senantiasa menyadari bahwa geo-budaya itu berbeda dengan geo-politik. Bahwa di dalam geo-budaya kita senantiasa menjalani hubungan antar-manusia itu sebagai fitrah semesta alam untuk saling menyapa, saling bertukar, saling membentuk diri, dan saling membahagiakan di dalam dimensi kemanusiaan.

7 November adalah saat negara maupun masyarakat madani mengalihkan daya dan upaya untuk kepentingan seni, budaya, hak azasi manusia, lingkungan hidup, solidaritas sosial, serta sains dan teknologi.

7 November adalah saat bagi kita berjuang membagun respek antar-budaya tanpa membedakan ras, suku, agama, ataupun keyakinan politik bahkan geo-politik masing-masing insan.

7 November adalah saat bagi kita untuk menghargai tokoh-tokoh seni/kebudayaan; baik yang telah wafat atau pun yang terus aktif berjuang.

7 November adalah saat kita menyadari bahwa kepentingan umat manusia itu seharusnya menuju kepada pencerahan, kecendekiaan, kesetaraan yang berkeadilan dan berperi kemanusiaan.

Dideklarasikan di Gedung Indonesia Menggugat
Bandung, 7 November 2009

Back to top button