Crispy

80 Tahun Pertempuran Stalingrad: Neraka Perang Sempurna Nazi dan Tentara Merah

  • Di Stalingrad, 10 ribu nyawa melayang setiap hari. Setelah 200 hari petempuran, dua juta mayat berserakan di sekujur kota.
  • Stalingrad tercatat sebagai pertempuran paling brutal sepanjang masa.

JERNIH — Sejarawan Perang Dunia II punya banyak cara menggambarkan Pertempuran Stalingrad. Salah satunya, dan paling populer, adalah pertempuran paling brutal sepanjang massa.

Namun, Vasily Grossman — penulis, novelis, dan jurnalis sejarah Stalingrad — punya frasa lebih mecolok, yaitu; “ini seperti Pompeii.” Dalam Life and Fate, Grossman menuliskan semua episode Pertempuran Stalingrad dengan gaya epik Tolstoyan.

Sejarawan Inggris Dominic Sandbrook, dalam podcast The Rest is History, mengatakan bagi orang yang tidak terbiasa dengan detail Perang Dunia II keganasan dan konsekuensi pertempuran ini memberi kata Stalingrad sebuah muatan listrik.

Pertempuran Stalingrad dimulai 23 Agustus 1942, ketika pasukan Adolf Hitler berusaha sekuat tenaga merebut kota yang menyandang nama Joseph Stalin — pemimpin Uni Soviet saat itu. Hitler tahu kejatuhan Stalingrad ke tangan Jerman akan menjadi pukulan psikologis bagi Stalin dan Uni Soviet.

Di sini, pertempuran seperti kekuatan tak terbendung yang bertemu obyek tak bergerak. Uni Soviet akhirnya menang di tengah keadaan tidak manusiawi, membuat panggung untuk momen tiga tahun berikut ketika bendera mereka berkibar di Reichstag, Berlin.

Namun, Pertempuran Stalingrad bukan satu-satunya moment penting pada tahun 1942. Dua lainnya adalah ketika Field Marshal Bernard Montgomery menghancurkan korps Afrika Erwin Rommel dalam Pertempuran El Alamein di Mesir pada Oktober-November

Di Pasifik, AS membalikan keadaan dalam perang melawan Jepang lewat kemenangan pada Pertempuran Midway, Juni 1942. Namun, Pertempuran El Alamein dan Midway tidak cukup beresonansi dibanding Stalingrad.

Alasannya mungkin historis. Bukan kali pertama Stalingrad menjadi ajang pertempuran brutal. Kota di tepi Sungai Volga itu pernah menjadi saksi mengerikan Perang Saudara Rusia, ketika Pasukan Merah dan Putih mengobarkan pertempuran dua tahun untuk menguasai kota yang pernah menyandang nama Tsaristsyn.

Begitu penting kota ini sehingga Bolshevik senior Joseph Stalin dikirim untuk memastikan kemenangan Tentara Merah. Tahun 1919 Tsaristsyn jatuh ke tangan Tentara Putih. Dibantu pasukan dari Moskwa, Tentara Merah melancarkan serangan gencar untuk merebut kembali kota dan membiarkan lawan lintang-pukang ke Kreimea.

Stalingrad, atau Tsaritsyan, memainkan peran kunci dalam kemenangan akhir Bolshevik dalam perang saudara.

Perang Pemusnahan

Tahun 1925, kota itu berganti nama jadi Stalingrad, sebagai penghormatan terhadap Stalin yang memastikan kemenangan. Juni 1941, Hitler menggelar Operasi Barbarosa atau perang pemusnahan.

Nazi tanpa kesulitan merebut sejumlah besar wilayah Uni Soviet dalam waktu singkat, dan mengepung Stalingrad pada September 1941. Oktober 1941 sampai Januari 1942, Nazi mencoba mendekati Moskwa lewat pertempuran ganas.

Sejarawan Richard Overy mengatakan; “Prioritas Hitler bukan Moskwa, tapi sumber daya Ukraina selatan dan minyak wiayah Kaukasus.”

Hitler melawan naluri para jenderalnya, dengan lebih mementingkan sumber-sumber ekonomi. Dalam bayangan Hitler, Jerman akan mendapatkan sumber daya penting, dan Tentara Merah terputus dari produksi minyak. Jika itu terjadi, Uni Soviet dapat dikalahkan dengan mudah.

Stalin yakin Nazi akan menuju Moskwa setelah kegagalan pada perang musim dingin. Jadi, dia memusatkan Tentara Merah di sekitar ibu kota.

Ketika Hitler mengerahkan Wehrmacht ke selatan, Tentara Merah kalah jumlah di Stalingrad. Pada 23 Agustus 1942, Jerman mencapai utara Stalingrad — kota industri berasap yang membentang bermil-mil di tepi Sungai Volga.

Nazi mengubah kota itu menjadi puing. “Namun, tindakan itu menghalangi upaya mereka merebut seluruh kota,” kata sejarawan Prancis Francois Kersaudy. “Sebuah kota yang hancur ternyata lebih mudah dipertahankan.”

Jerman menghadapi kesulitan mengusir Tentara Merah yang bergerak di lanskap puing-puing. Kesulitan itu membuat tentara Jerman frustrasi.

Strategi Licik Uni Soviet

Wehrmacht menguasai 90 persen Stalingrad, tapi Uni Soviet sukses mempertahankan distrik industri di sebelah utara saat Nazi berjuang dalam perang kota.

“Jerman belum pernah bertempur di kota. Mereka terbiasa bermanuver di medan terbuka,” kata Kersaudy. “Mereka menghadapi dua masalah besar sepanjang pertempuran; Tentara Merah memasok logistik ke posisi pasukan melalui terowongan dan selokan, dan Soviet menyerag posisi Jerman dengan artileri dari sisi Volga, yang tidak dapat dilintasi Wehrmacht.”

Situasi itu menimbulkan penderitaan bagi warga sipil dan tentara. “Warga sipil diungsikan ke desa-desa sekitar Stalingrad, atau berkelompok jalan kaki meninggalkan kota,” kata Overy. “Namun, ketakutan lebih besar menyelimuti pihak Jerman.”

Tentara Merah menyerang pada malam hari, atau menyergap Jerman yang berpatroli. Menurut Overy, Tentara Merah tidak taku pada Jerman. Mereka takut pada diri sendiri jika mereka goyah.

“Di pihak Jerman, tentara melihat diri sebagai penjajah yang terjebak oleh ketidakmampuan strategis jenderal-jenderal mereka,” kata Overy.

Hitler bertahan dengan dorongan untuk mengambil kota yang menyandang nama Stalin, suatu hadiah simbolis sangat besar. Ia tidak melihat Wehrmacht menderita karena koordinasi yang buruk antar unit berbeda dan jalur pasokan yang membentang seribu mil melintasi stepa tak berujung.

November 1942 Soviet menggelar Operasi Uranus yang dipimpin Kepala Staf Tentara Merah Georgy Zhukov dan wakil Menhan Aleksandr Vasilevsky sebagai serangan balasan. Soviet menjepit dan menjebak Wehrmacht di kota yang dihancurkan, mengepung mereka dari barat laut dan tenggara.

Pada 23 November 1942 dua kelompok Tentara Merah bertemu di Kalach, sebelah barat Stalingrad. Tentara ke-6 Jerman pimpinan Jenderal Friedrich Paulus terjebak. Namun, Hitler menolak membiarkan 300 ribu tentara yang kelelahan mundur.

“Mereka ditangkap di Kalach dalam neraka yang mutlak, dalam cuaca dingin,” kata Kersaudy. “Jerman mencoba memasok mereka melalui rute barat, selatan, dan pesawat, tapi gagal.”

Overy mengatakan; “Pertempuran dimenangkan bukan hanya karena Jerman memiliki jalur pasokan yang lemah dan panjang serta kekurangan peralatan, tapi juga kelicikan strategis Soviet.”

Operasi Uranus memotong garis Jerman yang terbentang pada bulan November untuk mengepung Stalingrad. Ini yang pertama Tentara Merah memiliki strategi yang tepat untuk memenangkan pertempuran.

Jerman, dalam cuaca dingin, terlalu lemah untuk merespon dan harus mundur. Jenderal Paulus dibiarkan sendirian tanpa harapan.

Soviet juga banyak meningkatkan penggunaan kekuatan udara dan komunikasi radio, dan mengungguli Jerman. Hitler meremehkan semua itu, dan kerap menganggap Tentara Merah berada di kakinya.

Di Batas Dingin Mematikan

Penulis Jerman Heinrich Gerlach, dalam novel otobiografi The Forsaken Army, mendeskripsikan kondisi terakhir Wehrmacht di Stalingrad.

“Mereka berjalan secara mekanis, seperti hantu, menyusuri perbatasan di udara dingin mematikan,” tulis Gerlach. “Mereka melangkah goyah, jatuh tanpa suara dan mati. Tubuh yang melemah tak kuasa menopang kepala yang berat. Yang lain tersandung mayat rekan sendiri, jatuh, dan tak bangun lagi.”

Namun, meski jalur pasokan yang panjang dan lemah, Wehrmacht masih mampu bertahan dengan ganas. Tentara Merah masih butuh upaya ekstra untuk menghabisi Angkatan Darat ke-6.

Januari 1943, Tentara Merah melancarkan serangan lain. Jenderal Paulus menyerah pada 31 Januari, hanya sehari setelah diangkat sebagai marshal.

Pertempuran Stalingrad selama 200 hari berakhir dan korban kedua pihak dihitung. Tercatat, dua juta nyawa melayang. Artinya, setiap hari — selama Pertempuran Stalingrad — 10 ribu orang tewas.

Di El Alamien, Bernard Montgomery menghancurkan Korps Afrika pimpinan Jenderal Erwin Rommel. Namun, Raja George VI dari Inggris lebih suka mengirim Pedang Stalingrad sebagai penghargaan Inggris atas kemenangan Tentara Merah dalam Pertempuran Stalingrad.

Kersaudy mengatakan Stalingrad unik dalam Perang Dunia II, terutama dalam durasi, tentara yang terbunuh, kegigihan, dan signifikansinya.

“Perang itu menakutkan bagi kedua pihak, yang membuat Nazi dan Tentara Merah menciptakan nerakanya sendiri,” kata Kersaudy.

Back to top button