AS Bersiap Hadapi Aksi Kekerasan Pasca Pemilu
- Di media sosial, pendukung Partai Demokrat mengatakan orang Partai Republik akan ngamuk jika Donald Trump kalah.
- Donald Trump mengipasi api politik dengan menolak transisi damai jika dia kalah.
- Jajak pendapat kerap menepatkan Biden di atas Trump, yang membuat Partai Demokrat percaya diri akan menang.
New York –– AS bersiap menghadapi kemungkinan kerusuhan sipil ketika pertarungan pemilihan presiden paling kontroversial antara Donald Trump dan Joe Biden menghasilkan pemenang.
Kekerasan diperkirakan sebagai spin-off kerusuhan dan aksi protes sejak 31 Mei, setelah kematian George Floyd. Saat itu, kerusuhan berlangsung beberapa minggu, dengan ribuan bisnis hancur, ratusan toko dijarah, dan mobil-mobil dibakar.
Kini, beberapa jam sebelum tempat pemungutan suara dibuka, toko-toko di Washington DC, New York, Los Angeles, dan Chicago, ditutup. Pusat perbelanjaan meliburkan karyawan, dan menyelamatkan seluruh barangnya ke penyimpanan.
Walikota Chicago Lori Lightfoot mengatakan pihaknya mempersipkan kemungkinan kekerasan selama berbulan-bulan pasca pengumuman pemenang pemilu. Ia juga mengimbau kepada warganya, yang kecewa karena jagonannya tak menang, untuk berdemonstrasi dengan damai dan produktif.
Di Taman Orland, pinggiran Chicago, polisi memasang barikade untuk mencegah akses massa ke tengah kota. Pusat Perbelanjaan Orland Park dengan 150 bisnis dibiarkan bebas berdagang sampai Selasa, dan polisi masih memberikan akses. Namun, pemilik bisnis besar itu akan menutup seluruh akses setelah pemilihan umum selesai.
Di New York, tim konstruksi di kawasan bisnis Manhattan sibuk menutup toko, dan memasang pelindung di bagian depan toko. Saat kerusuhan April 2020 lalu, 12 bisnis milik Arab-Amerika dijarah dan dibakar. Kini, pemilik bisnis tidak ingin pengrusakan terjadi lagi.
US Marshals Services (USMS) mengeluarkan pernyataan tentang potensi kekerasan, dengan mengatakan; “Meski USMS tidak membahas penegakan hukum, kami dapat menginformasikan bahwa wakil polisi AS siap menanggapi tindakan kekerasan dan pembangkangan sipil di lokasi mana pun di AS.”
Arab News memberitakan AS juga berencana mengunci Gedung Putih, dan menempatkan 250 personel garda nasional, plus ratusan polisi setempat.
Sebagian ketakutan akan kekerasan dipicu postingan di media sosial yang belum dikonfirmasi, bahwa pendukung Partai Republik akan ngamuk jika pemilu presiden tidak dimenangkan. Postingan itu dikabarkan berasal dari orang-orang Partai Demokrat, yang yakin Joe Biden akan mendepak Donald Trump dari Gedung Putih.
Menurut pendukung Partai Demokrat, pendukung Donald Trump telah memperlihatkan ulah buruknya ketika mencoba memblokir bus kampanye Joe Biden saat tur di Texas. Partai Republik mengklaim Partai Demokrat menyia-kan lebih banyak kekecauan berkedok protes Black Lives Matter, jika Trump memenangkan jabatan kedua.
Media memicu narasi kekerasan, dengan memberitakan bahwa Trump mengipasi api politik melalui retorika kampanye. Outlet media Spectrum News NY1 menulis; “Situasi yang gelisah adalah tuduhan preemptive Presiden Doland Trump, tanpa bukti, tentang penipuan pemilih yang meluas dan penolakannya terhadap transisi damai jika dia kalah.”
Jajak pendapat yang digelar Universitas Suffolk dan dirilis USA Today menunjukan 75 persen orang AS khawatir tentang kekerasan pasca pemilu. Jajak pendapat YouGov juga menunjukan 56 persen orang AS takut akan menyaksikan peningkatan kekerasan sebagai hasil pemilihan presiden.
Yang juga jadi masalah adalah hampir setiap jajak pendapat media berita kerap menempatkan Biden di atas Trump. Jika Trump menang, ekspektasi pendukung Biden hancur, dan itu artinya kekerasan.