Asal-usul Kalideres: Dari Westevrede, Burgvliet, dan Sterke Rivier
- Nama Kalideres muncul setelah pendalaman Mookervaar dari Cengkareng ke Pesing tahun 1732.
- Orang Belanda menyebut kawasan itu Sterke Rivier, yang artinya Kali Deres. Penduduk bilang Kalideres.
JERNIH — Tanyakan kepada penulis toponimi, apa yang mereka ketahui tentang asal-usul Kalideres — salah satu kecamatan di Jakarta Barat.
Siapa pun, termasuk orang Kalideres, akan menjawab — tanpa menggunakan pendekatan apa pun — bahwa Kalideres berasal dari bagian Kali Mookervaart, saluran yang membentang di tengah Kecamatan Kalideres saat ini, yang mengalir deras.
Tidak sesederhana itu. Ada proses panjang, berlangsung puluhan tahun, sampai akhirnya Kalideres menjadi nama wilayah yang kita kenal saat ini. Proses itu tidak dimulai saat kawasan itu kali pertama dibuka untuk perkebunan, atau setelah Kali Mookervaart selesai dibangun.
Proses Menjadi Kalideres
Dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen Vol 6, penulis Andries Teisseire bercerita singkat tentang Kalideres. Menurutnya, saat kali pertama dibuka sebagai landgoed, atau tanah perkebunan, wilayah itu diberi nama Westevrede –- kata dalam Bahasa Belanda yang berarti ujung barat yang damai.
Sekitar tahun 1780, tanah dijual ke Van der Burg – salah satu orang terhormat di Dewan Hindia-Belanda. Dalam peta koleksi Frederick de Haan, nama tanah itu berganti menjadi Burgvliet. Di penghujung abad ke-18, Westevrede atau Burgvliet berpindah ke tangan Pieter van De Weert, sekretaris pertama Pemerintah Hindia-Belanda.
Pertengahan abad ke-18, warga lokal – terutama buruh tani di tanah partikelir sekitarnya – lebih suka menyebut Kalideres untuk tanah partikelir itu. Administratur tanah partikelir menuliskan versinya sendiri, yaitu Calie-dras. Nama ini tertera dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen Vol 3. Sedangkan Teisseire, salah satu landheer, atau tuan tanah, Belanda terbesar di Ommelanden dan raja gula, menulis Kalidras.
Sampai 1865, seperti tertera dalam Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Java yang disusun P Bleeker, Kalidras digunakan sebagai nama resmi landerijen itu, dengan Burgvliet berada di belakangnya. Lebih jelasnya, Kalidras of Burgvliet. Of adalah kata dalam Bahasa Belanda yang berarti ‘atau’.
Dalam beberapa peta tanah partikelir tahun berikut pun, nama Kalidras of Burgvliet masih digunakan. Bahkan sampai tanah partikelir itu kehilangan status. Pertanyaannya, mengapa warga lokal menyebut Kalidras atau Kalideres?
Nama Kalidras atau Kalideres diperkirakan muncul setelah tahun 1732, lebih tepatnya pasca pendalaman Kali Mookervaart atas perintah Gubernur Jenderal Deiderik Durven.
Kali Mookervaart dibangun dua tahap. Pertama, 1678 sampai 1689, untuk mengalirkan air Sungai Cisadane ke Batavia. Saat itu, akibat penggalian yang tidak terlalu dalam, volume air yang masuk ke Kali Mookervaart dan sampai ke Batavia sangat sedikit.
Tahun 1732 Gubernur Jenderal Diederik Durven memerintahkan pendalaman Kali Mookervaart, yang dimulai dari Cengkareng sampai ke Pesing. Setelah pengerjaan pendalaman selesai, bagian arus Kali Mookervaart di sebelah barat Cengkareng menjadi sangat cepat, alias deras. Orang Belanda yang lalu-lalang di bagian Kali Mookervaart menyebutnya Sterke Rivier, artinya Kali Deras.
Di musim kemarau, ketika debit air Sungai Cisadane turun, bagian Kali Mookervaart di Burgvliet mengering. Hanya ada arus kecil sangat cepat dan bebatuan besar. Di musim hujan, Kali Mookervaart di Burgvliet menjadi berbahaya untuk digunakan sebagai tempat mandi warga lokal, karena arus sangat deras.
Arus kali yang cepat, menurut Teisseire, membuat Burgvliet sangat hidup. Ia menulis:….. en de daar langs stroomende vaart maakt deze plaats zeer levendig en het verblijf op dezelve aangenaam, (…dan kanal yang mengalir deras membuat tempat itu sangat hidup dan menyenangkan untuk didiami). Ia juga menulis tentang bagian Kalidras of Burgvliet yang dipenuhi ratusan ekor sapi, hutan yang kaya dengan pohon palem (Gebang) liar dan berbagai tanaman lain.
Perubahan dari Kalidras of Burgvliet menjadi Kalideres diperkirakan muncul pada paruh kedua abad ke-20. Koloniaal Verslag 1920, misalnya, tidak lagi menyebut Kalidras of Burgvliet tapi Kalideres dalam catatan pajak tanah-tanah partikelir 1918 dan 1919. Tahun 1931, saat dibeli kembali oleh pemerintah Hindia-Belanda, tanah partikelir itu bernama Kalideres.
Penduduk Kalideres
Kalideres, seperti Cengkareng dan tanah-tanah partikelir yang dibuka VOC setelah perjanjian damai dengan Banten, semula bukan wilayah berpenghuni, atau setidaknya jarang penduduk. Menurut Eddi S Ekajati, dalam Sejarah Kabupaten Tangerang, penduduk berdatangan ke sekujur sisi utara Kali Mookervaart seiring kebijakan VOC membuka lahan pertanian partikelir di sebelah barat Ommelanden atau kawasan luar tembok kota Batavia.
Mereka yang kali pertama datang ke Kalideres, dan tanah-tanah partikelir lain di sekelilingnya, adalah mantan prajurit Banten dan Mataram. Lainnya adalah orang-orang Bugis yang dimukimkan di Kalideres setelah keluarnya Resolusi 26 Juni 1686, yang menjauhkan pemukiman etnis dari dekat tembok kota Batavia.
Sejarawan Muhamad Mulki Mulyadi Noor, dalam Peasant and Nationalist Movement: Involvement of Tirtajasa Organization in the Turmoil of Batu Ceper Private Land 1934, memperkirakan penduduk datang ke tanah partikelir untuk mengadu untung di tanah yang mungkin pernah mereka tempati sebelum periode perang yang melelahkan.
Mereka beranak pinak di tanah partikelir, membentuk keluarga-keluarga, dan menciptakan kelompok-kelompok pemukim di sepanjang Kali Mookervaart, atau jauh dari tepi kali. Sebagian besar membuka lahan persawahan, dan bekerja di tanah perkebunan milik para tuan Belanda. Mereka, dari satu ke lain generasi, menjadi saksi tanah partikelir yang mereka tempati berpindah dari satu ke lain pemilik.
Sampai 1867, menurut Nieuwe Bijdragen tot de Kennis der Bevolkingstatistiek van Java yang disusun P Bleeker, Kalideres memiliki 16 kampong atau desa dengan jumlah penduduk 2.424 jiwa. Terdiri dari tiga warga Eropa, 89 Tionghoa, dan selebihnya inlander, atau pribumi.
Dalam Staat der Partikuliere Landereijen Op Java Over 1865, Kalideres — yang membentang 1.902 bouw, atau 1.407 hektar — adalah produsen padi dan kelapa. Saat itu, Kalideres dikelola dua administratur Tionghoa; Tan Kang Thaij dan Lim Sang Liong, yang membawahi satu cutak atau camat dan beberapa mandor.
Kampung-kampung, atau desa, di Kalideres sebelum memasuki abad ke-20 diperkirakan tidak padat. Jika satu kampung berpenduduk cukup banyak, pengelola tanah partikelir akan menempatkan satu mandor. Jika sebaliknya, satu mandor bisa saja mengawasi tiga sampai empat kampung atau desa.
Mandor bertugas memungut tjuke, atau belasting, atau pajak tanah yang dibebankan pemilik tanah partikelir kepada penduduk, dan mengontrol kompenian – atau keharusan kerja bagi penduduk tetap di perkebunan milik landheer.
Yang tidak diketahui, akibat tidak banyak para landheer Tionghoa yang mencatat, adalah komposisi penduduk tetap dan memaron atau bujang sawah. Di Kalideres, seperti di tanah partikelir lain, penduduk menetap bisa lebih sedikit dibanding para bujang sawah – golongan ketiga dalam masyarakat petani di tanah partikelir yang sepenuhnya bekerja kepada para landheer seperti tertera dalam Staatsblad 1912 No. 422, Pasal 3. Bujang sawah tidak menetap. Mereka bisa pergi kapan saja dari tanah kongsi, apalagi jika bagi hasil dianggap tidak menguntungkan.
Memaron atau bujang sawah mengerjakan tanah kongsi, istilah untuk tanah yang diusahakan sendiri oleh landheer. Sistem yang diterapkan di tanah kongsi adalah bagi hasil panen. Tuan tanah menerima dua perlima hasil panen, plus cuke atau pajak yang dibayarkan penghuni tanah partikelir kepada tuan tanah.
Jika menyediakan bibit dan peralatan penggarap seperti hewan, tuan tanah menerima seperlima lagi. Jadi total yang diterima tuan tanah bisa mencapai tiga perlima hasil panen. Semua ini dikontrol ketat para mandor, yang dengan kewenangan penuh bisa melakukan apa saja.
Hasil kerja para mandor diukur dari sukses masing-masing menarik tjuke. Tidak heran jika kekerasan kerap mewarnai penarikan pajak. Mandor berhak mengintimidasi, mempersekusi, menyita hasil panen petani, atau tindakan apa pun yang membuat petani membayar pajak. Mandor punya kewenangan melakukan semua itu, karena mereka diangkat tuan tanah atas restu Wedana dan Residen.
Di Kalideres, seperti di tanah partikelir lainnya, penduduk mengalami semua itu sampai abad ke-20. Bahkan, ketika padi dan kelapa bukan lagi komoditas andalan di pasar Batavia, Kalideres – menurut Koloniaal Verslaag 1920 – menjadi penghasil singkong. Tahun 1918, misalnya, Kalideres – bersama Cengkareng dan Tegalaloer – menghasilkan 1.600.000 kilogram singkong. Tahun berikut, Kalideres dan tanah partikelir lain menghasilkan komoditas lain tak bernilai tinggi di pasar Batavia.
Situasi ini membuat penduduk Kalideres mengalami kesulitan hebat. Di sisi lain, landheer Kalideres hanya mengharapkan penghasilan dari tjuke yang dibayarkan petani, bukan komoditas yang dihasilkan kebun-kebun mereka. Kalideres relatif tidak punya keunggulan lain dibanding tanah partikelir Batuceper, misalnya. Tanah Batuceper mengandung kaolin tinggi, yang membuat Tan Liok Tiauw, landheer paling populer di Ommelanden saat itu, mendirikan industri genteng.
Akhir Status Partikelir
Memasuki dekade pertama abad ke-20, sebagai akibat ketegangan sosial di hampir seluruh tanah partikelir, pemerintah Hindia-Belanda mengambil kebijakan membeli kembali tanah-tanah partikelir di sekujur Ommelanden. Namun, kebijakan ini berjalan lambat. Tanah-tanah partikelir sekujur Ommelanden tidak dalam waktu cepat dibeli kembali, karena keterbatasan anggaran pemerintah Hindia-Belanda.
Penduduk Kalideres setidaknya harus menunggu dua dekade untuk terbebas dari cekikan landheer. Tahun 1931, pemerintah Hindia-Belanda membeli tanah partikelir Kalideres dan Cengkareng seluas 4.198 hektar. Keduanya menjadi tanah milik pemerintah kota Batavia, dan berada di bawah Afdeeling Tangerang. Tidak ada lagi kompenian yang mencekik petani. Tjuke berganti nama menjadi pajak atas tanah.
Situasi ini menimbulkan kegundahan penduduk di tanah partikelir tidak jauh dari Kalideres, yaitu Batuceper. Tahun 1934, muncul kerusuhan tak berdarah di Batuceper, yang dipicu penolakan seorang petani bernama Inang bin Limun untuk membayar pajak hasil bumi dan denda kompenian. Kerusuhan terakhir di Ommelanden itu relatif tidak meluas, karena tanah partikelir sekitar telah dibeli kembali oleh pemerintah Hindia-Belanda dan menjadi landsdomein atau tanah milik negara.