Banyak Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan, Kini Tinggal 112 Orang
Para pengungsi Rohingya sengaja kabur dari kamp di Aceh karena Indonesia bukan menjadi negara tujuan akhir.
JERNIH-Lembaga PBB yang mengawasi pengungsi, UNHCR, melaporkan hilangnya pengungsi Rohingya yang berada di Lhokseumawe, Aceh. Jumlah mereka saat ini tinggal 112 orang.
Tahun lalu, hampir 400 warga Rohingya diselamatkan pihak Indonesia dan ditampung di kamp pengungsian khusus warga Rohingnya yang dikelola UNHCR. Mereka diselamatkan di lautan sebanyak dua gelombang.
Direktur organisasi non-pemerintah Arakan Project, Chris Lewa menyebut, para pengungsi Rohingya ini ingin ke Malaysia.
“Indonesia bukanlah negara tujuan. Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia,” kata Lewa melalui sambungan telepon, Senin (25/01/2021).
Pernyataan Lewa disampaikan, setelah mengetahui pengungsi Rohingya meninggalkan kamp mereka dan hanya tersisa 112 orang.
Lewa juga menyebut peran jaringan penyelundup untuk membawa para pengungsi Rohingya ke Malaysia.
“Terlihat polanya sama persis sama, meski sedikit berbeda, para penyelundup atau orang-orang yang terlibat dalam memfasilitasi ini tahu bahwa mereka sekarang tidak bisa masuk ke Thailand. Karena dalam beberapa tahun terakhir, sudah ada beberapa kapal kecil yang masuk ke Thailand dan ditahan di sana,”.
Lewa juga menyebut dalam rombongan pengungsi Rohingnya yang tiba di Aceh tahun lalu, lebih banyak perempuannya, dibandingkan gelombang pengungsi sebelumnya. Perempuan-perempuan ini banyak yang kemudian dijodohkan dan dinikahkan dengan warga Rohingya di Malaysia.
“Jelas sekali tujuan mereka adalah Malaysia. Biasanya uang untuk seluruh perjalanan dibayar oleh kerabat di Malaysia, atau suami atau tunangan, atau apa pun yang telah diatur.”
“Jadi ya, mereka mencoba memindahkannya perlahan melalui penyelundup dari Aceh, mungkin melalui Medan, ke Malaysia,” kata Lewa menambahkan.
Selama ini hanya Indonesia yang bersedia menampung pengungsi Rohingya. Kapal-kapal yang membawa pengungsi Rohingya sering kali ditolak di negara-negara lain, menurutnya.
“Pushbacks (penolakan) kapal yang mengalami kesulitan di laut serta penolakan penurunan dari kapal adalah ilegal, termasuk menurut Hukum Laut Internasional. Sebagai aktivis hak asasi manusia dan hak pengungsi, kami menyerukan kepada negara-negara di kawasan untuk terlibat dalam pencarian dan penyelamatan, dan mengizinkan pendaratan,” kata Lewa menjawab pertanyaan sikap negara-negara yang menolak menolong para pengungsi di lautan.
Ditempat terpisah Public Relations Officer Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Mitra Suryono, mengeluhkan sulitnya penanganan pengungsi karena membutuhkan koordinasi antara pihak Pemerintah, UNHCR, dan mitra kerja lainnya.
“Pengurangan jumlah pengungsi dalam tempat penampungan [karena kepergian pengungsi] terjadi meskipun kami telah dan secara terus menerus meningkatkan kesadaran para pengungsi akan bahaya dan risiko dari aktivitas penyelundupan dan perdagangan manusia,” kata Mitra kepada BBC melalui pesan tertulis, (25/01/2021).
Mitra menyebut, pihaknya telah berulang memberi konseling pada para pengungsi untuk tidak kabur. Di samping itu kamp pengungsian juga dilengkapi penjaga.
“Hal ini kami lakukan secara rutin melalui berbagai sesi Focus Group Discussion (FGD) dan konseling yang kami berikan bagi para pengungsi. Selain itu, kami juga memiliki team penjaga yang menangani keamanan di lokasi tinggal para pengungsi.
Namun pada kenyataannya, para pengungsi banyak yang meninggalkan kamp pengungsian dan tak terlacak keberadaannya. Mitra menyayangkan sikap para pengungsi yang disebut Mitra sebagai mencari masa depan yang lebih baik.
“Pengungsi Rohingya adalah etnis minoritas yang paling teraniaya di seluruh dunia, dan karenanya banyak di antara mereka yang akan selalu berupaya untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarga mereka,”. (tvl)