Crispy

Berdasarkan Bukti Baru, Para Ilmuwan Peringatkan COVID Berpotensi sebabkan Kerusakan Otak

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) lebih dikenal dengan nama virus corona. Karena bentuk virus tersebut yang menyerupai mahkota (crown). Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019), karena kasus pertama ditemukan pada tahun 2019, di Wuhan, Cina.

Virus korona adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan dan umumnya dari  kasus yang ditemukan  menyebabkan infeksi pernafasan ringan seperti flu. Akan tetapi virus ini juga dapat menjadi biang kerok infeksi pernafasan berat seperti infeksi paru-paru (pneumonia).

Gejala umum yang muncul dari Covid-19 adalah batuk kering, demam mencapai lebih dari 38 derajat celcius, dan sesak nafas. Bagi beberapa orang muncul gejala lain seperti diare, ruam pada kulit, hilang kemampuan pada indra pengecap, sakit kepala, konjungtivitas. Dan yang sangat jarang terjadi adalah penggumpalan darah, hingga membuat penderita menjadi lumpuh.

Reuters melaporkan,  Pada hari Rabu (8/7/2020) Ilmuwan memperingatkan tentang kemungkinan gelombang kerusakan otak terkait virus korona. Ketika bukti baru menunjukkan COVID-19 dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang parah, termasuk peradangan, psikosis dan delirium.

Sebuah studi oleh para peneliti di University College London (UCL), menggambarkan 43 kasus pasien dengan COVID-19 yang menderita disfungsi otak sementara, stroke, kerusakan saraf atau efek otak serius lainnya.

Penelitian ini menambah studi terbaru yang menemukan Covid 19 dapat merusak otak.

“Apakah kita akan melihat fenomena kerusakan otak dalam skala besar terkait dengan pandemi – mungkin mirip dengan wabah ensefalitis lethargica pada 1920-an dan 1930-an setelah pandemi influenza 1918,” kata Michael Zandi, dari UCL’s Institute Neurologi, yang ikut memimpin penelitian.

COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh coronavirus baru, sebagian besar adalah penyakit pernafasan yang mempengaruhi paru-paru, tetapi ahli saraf dan dokter spesialis otak mengatakan bukti yang muncul tentang dampak pada kerusakan otak sangat memprihatinkan.

“Kekhawatiran saya adalah bahwa kita memiliki jutaan orang dengan COVID-19 sekarang. Dan jika dalam waktu setahun kita memiliki 10 juta orang yang pulih, dan orang-orang itu memiliki defisit kognitif, maka akan mempengaruhi kemampuan mereka. Kemampuan untuk bekerja dan kegiatan dalam aktifitas sehari-hari,” kata Adrian Owen, seorang ahli saraf di Universitas Barat di Kanada.

Dalam studi UCL, yang diterbitkan dalam jurnal mengenai otak, sembilan pasien yang mengalami peradangan otak didiagnosis dengan kondisi langka yang disebut ensefalomielitis diseminata akut (ADEM/ acute disseminated encephalomyelitis), yang lebih sering terlihat pada anak-anak dan dapat dipicu oleh infeksi virus.

Tim mengatakan, biasanya mereka akan melihat sekitar satu pasien dewasa dengan ADEM per bulan di klinik spesialis mereka di London, tetapi kasus tersebut telah meningkat, setidaknya satu minggu selama masa studi, sesuatu yang mereka gambarkan sebagai ‘peningkatan yang mengkhawatirkan’.

“Mengingat penyakit ini baru ada selama beberapa bulan, kita mungkin belum tahu apa yang bisa menyebabkan kerusakan jangka panjang COVID-19,” kata Ross Paterson, yang ikut memimpin penelitian ini. “Dokter perlu mewaspadai kemungkinan efek neurologis, karena diagnosis dini dapat memperbaiki kondisi pasien dengan lebih baik.”

Owen mengatakan bukti yang muncul menunjukan perlunya penelitian besar dan terperinci serta pengumpulan data global untuk menilai seberapa umum komplikasi neurologis dan psikiatrik tersebut.

Dia menjalankan proyek penelitian internasional di covidbrainstudy.com, di mana pasien dapat mendaftar untuk menyelesaikan serangkaian tes kognitif untuk melihat apakah fungsi otak mereka telah berubah sejak terinfeksi COVID-19.

“Penyakit ini memengaruhi banyak orang,” kata Owen. “Itu sebabnya sangat penting untuk mengumpulkan informasi ini sekarang.”  [ ]

Back to top button