Bom Astana Anyar: Saatnya Bersatu Menutup Celah Rawan
JERNIH–Kasus Bom Astana Anyar Bandung yang terjadi pada Rabu (7/12) lalu menegaskan terjadinya celah kerawanan (window of vulnerability) dalam penanganan terorisme. “Pelaku sudah pernah dipenjara untuk kasus serupa, ketersediaan program deradikalisasi ada, aparat keamanan yang menangani ada, intelijen ada. Tapi pelaku mengulang dengan bom bunuh diri. Ini mesti ada celah penanganan yang rawan!”, demikian dikatakan Robi Nurhadi, pengamat terorisme dari Universitas Nasional.
Menurut Robi, mesti ada penguatan aspek legal yang memungkinkan negara mewajibkan para napiter mengikuti program deradikalisasi yang kalau menolak maka mendapat konsekuensi tertentu. “Pelaku Bom Astana Anyar merupakan napiter yang menolak program deradikalisasi, sementara kebijakan yang sekarang menempatkan program tersebut dalam kerelaan napiter untuk ikut atau tidak. Jadi, pelaku merupakan contoh penting akan perlunya menutup celah kerawanan penanganan terorisme”, tambah Robi Nurhadi, yang juga kepala Pusat Penelitian Pascasarjana (P3M) UNAS itu.
Robi juga menegaskan tentang pentingnya semua unsur terlibat dalam menutup celah kerawanan di tingkat implementasi. “BNPT itu memperkenalkan Stategi Pentahelix dalam kebijakan deradikalisasinya, yang melibatkan negara (aparat, birokrat), akademisi, kelompok masyarakat, media dan kalangan usahawan. Semua unsur harus memberi “jalan kembali” kepada para napiter agar tidak mengulangi. Jangan jadikan para mantan napiter seperti sampah masyarakat atau hal lainnya. Jangan. Beri mereka jalan kembali! Kontribusikan apa yang kita bisa beri. Agar mereka tidak melakukan bom bunuh diri”, ujar Robi. [rls]