Diponegoro Menulis, Kita Membaca: Filsuf, Sufi, Penyair

oleh : IRZI Risfandi
Sabtu siang, di sebuah ruang seminar Galeri Nasional yang tenang, diskusi tentang Pangeran Diponegoro berlangsung seolah membuka kembali pintu lama yang sering hanya kita lihat dari jauh. Gus Nas, HM. Nasrudin Anshoriy, berbicara dengan ritme yang pelan tetapi penuh intensitas, tentang tiga warisan sang pangeran: filsafat, spiritual, dan sastrawi. Di sampingnya, R. Rahadi Saptata Abra, ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro, memberi lapisan suara keluarga, darah, dan garis keturunan. Dio Pamola C., sebagai moderator, menjaga benang merah agar percakapan tidak tercerabut dari tanahnya. Dari percakapan itu, sosok Diponegoro muncul bukan hanya sebagai pahlawan yang nama dan wajahnya dipaku di buku pelajaran sejarah, melainkan sebagai manusia kompleks, sufi-pejuang, filsuf yang terasing, sekaligus penyair yang menuliskan kegelisahannya dalam aksara Arab Pegon. Dalam satu ruangan itu, tiga warisan Diponegoro tak lagi hanya catatan masa lalu, melainkan gema yang terasa mendesak, meminta kita untuk menimbang apa artinya hidup di tahun 2025 dengan ingatan semacam itu.
Filsafat menjadi warisan pertama yang dibicarakan Gus Nas, tentang dialektika keselarasan dan keterasingan. Dalam tradisi Jawa, harmoni adalah fondasi: manunggaling kawula Gusti—penyatuan hamba dengan Tuhan, cermin kosmos di bumi. Keraton adalah pusat cahaya, mandala tempat wahyu keprabon turun, melegitimasi kekuasaan, menjaga keseimbangan jagat. Tetapi di mata Diponegoro, harmoni itu sudah retak. Cahaya keraton meredup, terhisap dalam bayang-bayang kolonialisme dan nafsu duniawi. Para punggawa, yang seharusnya jadi penjaga paugeran, justru tergelincir dalam anomie, kekacauan nilai. Diponegoro memilih meninggalkan keraton, bukan sekadar secara fisik menuju Tegalrejo, tetapi juga secara filosofis: ia memilih keterasingan demi kesetiaan pada nurani. Pilihan ini bukan kelemahan, melainkan keberanian yang radikal—sebuah pesan bagi kita hari ini, ketika harmoni sering dipakai sebagai topeng untuk menutupi kompromi dan korupsi. Dalam keterasingan, Diponegoro justru menemukan keselarasan yang lebih murni.
Dimensi kedua yang lebih dalam adalah warisan spiritual. Pangeran Diponegoro menganut Tarekat Syattariyah, sebuah tarekat sufi yang ia pelajari sejak muda ketika diasuh oleh Ratu Ageng di Tegalrejo. Dari sinilah ia belajar pengendalian diri, kesabaran, serta pengabdian kepada keadilan. Tarekat ini, dengan zikir dan laku riyadahnya, menjadi landasan seluruh perjuangannya. Ia tidak hanya seorang pangeran yang kecewa pada keraton, melainkan seorang sufi yang menjadikan perlawanan sebagai bagian dari jihad akbar: melawan penjajah sekaligus melawan dekadensi moral bangsanya sendiri. Ia belajar dari banyak ulama dan kiai, termasuk KH. Baidlowi Bagelen dan KH. Hasan Besari Tegalrejo, tetapi Syattariyah tetap menjadi tarekat yang dominan, memberi warna pada seluruh langkahnya. Di gua-gua sunyi dan medan perang, ia melakukan amalan tarekat, zikir, puasa, meditasi, mencari makrifatullah. Dari sanalah ia menerima wangsit, bisikan ilahi yang meneguhkan bahwa dirinya adalah alat Tuhan, mungkin bahkan Ratu Adil, sang pembawa cahaya untuk meluruskan tatanan yang bengkok. Warisan ini terasa penting bagi kita di 2025, ketika politik kerap kehilangan ruh dan agama sering dilepas dari keberanian sosial. Diponegoro mengingatkan: spiritualitas sejati bukan lari dari dunia, melainkan keberanian untuk menata ulang dunia dengan hati yang bersih.
Warisan ketiga adalah sastrawi, dan di sinilah Diponegoro menunjukkan kemampuannya yang jarang dibicarakan. Ia menulis Babad Diponegoro dengan aksara Arab Pegon, bukan hanya sebagai catatan perang, tetapi sebagai otobiografi penuh metafora, simbol, dan emosi. UNESCO bahkan mengakuinya sebagai warisan dunia, karena teks itu bukan hanya milik bangsa Jawa atau Indonesia, melainkan bagian dari pusaka umat manusia. Dalam babad itu, kita membaca seorang pangeran yang menulis dengan kepedihan sekaligus kebijaksanaan: tentang pengkhianatan keluarga, tentang pengasingan, tentang keraton yang kehilangan cahaya, tentang hutan dan gua yang menjadi tempat tafakur, tentang perlawanan yang lahir dari kesepian. Ia menulis bukan sebagai jenderal yang ingin dikenang, melainkan sebagai manusia yang mencari makna di tengah badai. Bahasa babad, dengan gaya macapat dan tembang, adalah elegi sekaligus epik. Ia menjadikan sastra sebagai jalan untuk melawan penghapusan—menolak ditulis oleh kolonial, memilih menulis dirinya sendiri. Dan di situlah letak relevansi bagi kita hari ini: apakah kita berani menulis babad kita sendiri, ataukah kita hanya membaca narasi orang lain?
Yang terasa dari diskusi itu adalah bagaimana ketiga warisan ini saling bertaut. Filsafat keterasingan Diponegoro menemukan kekuatan dalam tarekat Syattariyah yang ia jalani, dan spiritualitasnya menemukan keabadian dalam Babad Diponegoro. Ia bukan hanya pahlawan yang berperang di medan fisik, tetapi juga filsuf yang merenung, sufi yang berzikir, penyair yang menulis. Kompleksitas ini sering hilang dalam buku pelajaran sejarah yang menyederhanakannya menjadi sekadar ikon perang. Tetapi sore itu, di Galeri Nasional, sosok Diponegoro tampak hidup, berjalan di antara kursi-kursi, menyapa generasi yang dua ratus tahun lebih muda darinya.
Keluar dari ruangan itu, saya merasa tiga warisan Diponegoro lebih menyerupai tiga cermin. Cermin filsafat memperlihatkan bahwa harmoni tanpa kejujuran hanya fatamorgana. Cermin spiritual mengingatkan bahwa kekuatan politik tanpa ruh hanyalah kekerasan yang kering. Cermin sastra menanyakan apakah kita masih punya keberanian menulis luka kita sendiri. Semua cermin itu, bila dipakai bersama, menuntun kita pada bentuk keberanian yang lebih utuh. Dalam dunia yang penuh paradoks seperti tahun 2025—teknologi yang melesat, politik yang rapuh, moral yang retak—cermin ini bukan sekadar nostalgia, tetapi kebutuhan.
Dan mungkin, itulah warisan paling penting dari seorang pangeran yang lahir di keraton tetapi memilih hidup di gua: bahwa kita selalu bisa memilih jalan keterasingan demi keselarasan, bahwa spiritualitas sejati bisa menyalakan keberanian sosial, dan bahwa bahasa adalah senjata terakhir yang menyelamatkan ingatan kita dari penghapusan. Seperti aksara Arab Pegon yang ia pakai untuk menulis babadnya—aksara yang pada masanya dipandang tidak resmi, bahkan minor—justru di situlah tersimpan kekuatan terbesar: suara yang otentik, suara yang menolak tunduk. Diponegoro, pada akhirnya, bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah pertanyaan yang masih menempel di kulit kita hari ini: apakah kita cukup berani menjadi perintis, ataukah kita hanya ingin jadi pewaris?